Ibu menangis dalam pelukanku. Ia sangat terpukul mengetahui cucu yang dinantikan kehadirannya telah tiada. Ya, anakku dalam kandungan Erika ternyata sudah meninggal, dan Erika tidak menyadarinya. *** "Anak bapak-ibu berkelamin laki-laki, ya." Bibirku mengulas senyum saat mendengarnya. Padahal sudah tahu dari USG lima bulan lalu yang dilakukan Erika. Itu adalah momen pertama dan terakhir menemaninya periksa. Seketika kening dokter di depanku ini mengernyit. Ia sangat serius menatap layar monitor. "Detak jantungnya tidak terdeteksi. Suaranya pun tidak terdengar." Matanya masih fokus ke layar segi empat tersebut."Frekuensi denyut jantung tidak terlihat di layar," lanjutnya lagi."Bahkan janin Ibu tidak bergerak. Lihatlah?" Dokter di depanku yang bernama Dokter Risa ini menunjuk gambar janin yang hanya diam tanpa gerakan apapun. Aku dapat melihatnya. Deg. Dadaku terasa nyeri."Dok, tolong cek lagi. Siapa tahu alatnya yang rusak!" Perasaanku sudah tidak enak. Aku harap alatnya meman
Motor segera kutepikan di parkiran khusus roda dua setelah memasuki halaman rumah sakit. Berjalan dengan langkah cepat menuju ruangan perawatan Erika. Belum juga hilang rasa lelah yang mendera, ada lagi yang menambahkan, Erika. Entah kenapa istriku itu selalu membuat masalah. Tidak bisakah ia tenang sebentar tanpa membuat kehebohan. Mengamuk? Apa lagi yang harus diamukkan? Mataku memicing melihat pemandangan di depan mata ketika membuka pintu kamar inap. Erika, ia tertidur lelap dengan Mama Sisil yang duduk di sebelahnya. Tidak ada keributan yang dibuat istriku seperti yang diberitakan Ibu, lalu apa maksudnya meneleponku seperti itu hingga membuatku terdesak menuju kemari? Mataku juga mengerling ke arah Ibu mencari jawaban. Ia menganggukkan kepala seakan paham dengan apa yang kumaksud. "Kita bicara di luar, Jak," ajaknya. Kuikuti langkahnya yang lebih dulu berjalan keluar dan duduk di kursi yang berada di depan ruangan Erika. "Tadi Erika ngamuk teriak-teriak nggak bisa ditenangka
"Anaknya siapa?" ulangku lagi masih dengan suara lantang bertanya, ditambah tatapan tajam yang kuhunuskan ke arah mereka. Kedua ibu-anak yang berada di hadapanku ini berpegangan tangan dengan wajah pucat pias. Erika bahkan tidak berani menatapku. "Ehm … anak a--apa Jak. Kamu salah dengar. Maksud Erika itu." Dengan tergagap Mama Sisil menjawab. Gerak matanya tak fokus. Aku tahu ia gugup. "Saya tidak tuli Ma, saya masih bisa mendengar!" Selaku memotong ucapannya dengan suara tegas. Aku mendekat dan duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan keduanya. Kulonggarkan dasi yang semakin menjerat leher setelah mengetahui pembicaraan rahasia mereka. Mama Sisil tampak menyenggol lengan Erika, dia bahkan melempar kode lewat tatapan matanya. Kenapa hal seperti ini ia tampakkan? Bukankah malah membuat kecurigaanku semakin nyata. "Ka--kami ta-di bicara tentang anaknya temanku. Dia sudah bercerai dan suaminya tidak tahu kalau anaknya telah meninggal. Makanya tadi kubilang dia berhak tahu ke
Jam sebelas malam baru pulang ke rumah. Aku yang awalnya ingin pulang cepat, berubah pikiran karena tahu pasti Ibu akan memarahiku panjang lebar saat tiba. Kuputuskan berkeliling jalan raya dulu, mengulur waktu pulang. Keadaan rumah sepi saat kumasuki. Lampu ruang tamu dalam keadaan mati yang artinya Ibu pasti sudah tidur. Baru saja meletakkan tas kerja ke atas meja ruang tamu, aku malah dikejutkan oleh sebuah suara. "Akhirnya pulang juga kamu, Jak." Jantungku hampir copot saking terkejutnya. Lampu juga tetiba menyala dengan sendirinya bersamaan dengan suara yang menegurku barusan. Ibu. Ternyata ia belum tidur. Ia pasti sengaja menungguku pulang. "Mau kemana?" tanyanya ketika kaki ini ingin melangkah menuju kamar untuk menghindarinya. "Duduk!" titahnya dengan wajah datar. Matanya tajam menghunus padaku. Tidak ada senyum di kedua sudut bibirnya saat memerintahkan hal tersebut. Kuputar tubuh dan kembali menghadapnya. Aku duduk di depannya. Diam dan menunggu apa yang ingin dibic
Mataku menyipit saat melihat nama yang tertera di layar depan ponsel. Pak Adnan--suami Bu Yayuk--tetangga seberang rumah Ibu. Ada apa beliau menghubungi? Apa ada masalah? Karena selama ini kami jarang berinteraksi dan berkomunikasi lewat gawai. Apalagi semenjak aku pindah dari rumah Ibu dan memutuskan tinggal di rumah yang yang baru bersama Andin. Interaksi yang pernah kami lakukan waktu dulu itu, hanya sekedar ngopi bareng sambil main catur, dan itupun terjadi saat kena giliran ngeronda bersama. Selebihnya jarang. Sesekali saja kala tak sengaja ketemu. Sedari tadi, gawaiku tidak berhenti juga bergetar yang artinya nomor itu masih menghubungi. Daripada penasaran, ada baiknya kuangkat saja, takutnya memang ada hal yang penting. "Assalamualaikum, Pak Jaka," sapa suara wanita di seberang sana terlebih dulu. Nadanya terdengar panik. Lo, bukankah ini nomornya Pak Adnan? Tapi kenapa malah suara wanita yang kudengar? Dan anehnya dia tahu namaku. Kulihat lagi layar depan ponsel untuk m
"Andin bakal punya anak kembar!" Bu Yayuk antusias mengatakannya. "Bu Yayuk tahu dari mana? Andin yang cerita?" Senyum lebar tidak lepas dari bibir Ibu. "Temannya yang bilang waktu itu. Selamat ya, Bu Menik bakal dapat dua cucu sekaligus." Seketika wajah Ibu yang awalnya bahagia, berubah murung mendengar ucapan selamat dari Bu Yayuk. Aku tahu apa penyebabnya. Sama sepertiku, ibu pun merasakannya juga. Senang ketika tahu bakal dapat dua anak sekaligus dalam kandungan Andin, berkah yang tidak terduga, tapi sedih karena anak itu tidak akan pernah dapat kusentuh. Aku tak yakin Andin bakal mengizinkanku mendekatinya. *** "Aaa ...!" Mataku mengerjap dengan posisi duduk. Napas masih tersengal, seakan baru saja habis berlari. Tidak! Mimpi itu datang lagi. Sejak Bu Yayuk cerita tentang Andin, mimpi buruk itu selalu datang. Mimpi ketemu Andin bersama dua anak kembar, tapi mereka tidak mau mendekat. Mereka lebih memilih pergi dengan laki-laki lain. Entah siapa lelaki itu, wajahnya tidak per
Ponselku yang tergeletak diatas meja berdering. Kulihat di layar depan tertera nomor asing. Walaupun ragu, tetap kuangkat dan berharap itu nomor Lola. Sudah tiga kali hari ini ada nomor asing yang masuk menelepon. Kukira itu Lola, ternyata bukan, hanya nomor tak penting menawarkan barang atau dari jasa asuransi. Ingin sekali mematikan ponsel ini, tapi lagi-lagi aku takut itu telepon dari Lola. Bodohnya aku tak mampu mendapatkan nomor telepon sahabat mantan istriku itu, tidak tidak mau memberikan. Aku hanya dimintanya untuk menunggu. "Andin di rumah sakit Harapan Bunda, cepatlah datang! Ia mau melahirkan." Suara Lola. Aku yakin itu karena dia memberikan informasi tentang Andin. lagian siapa yang tahu kondisi Andin kalau bukan dia, sahabatnya? mereka bahkan berjanji hidup semati. Namun Tuhan berkehendak lain. "Lola? Benarkan ini Lola?" Memastikan. "Kenapa masih bertanya? Siapa lagi yang mau memberitahukan tentang Andin ke kamu kalau bukan aku?" Gegas ia menjawab. Ternyata benar d
Air mata luruh juga saat melihat dua malaikat kecil hadir di hadapanku. Tangis keras mereka, membuatku sadar kalau ini bukanlah mimpi, tapi nyata. Benar, Andin melahirkan bayi kembar laki-laki dengan normal. Secara bergantian dokter menyuruhku mendekap satu per satu bayi mungil yang wajahnya mirip sekali denganku dan mengazankan mereka. Lagi, air mata mengalir dengan derasnya. Suaraku bergetar saat melantunkan seruan solat ke dekat telinga mereka. Ada sesak yang menghimpit dada, kala diri ini merasakan kealpaan pada Tuhan, hingga tega berbuat zalim pada ibu dari anak-anak ini. Kedua bayi itu diberikan pada ibunya usai kuazankan untuk inisiasi menyusui dini. Kusapu bekas air mata yang tidak berhenti mengalir. Sama sepertiku, Andin pun meneteskan air mata, bahagia pastinya. "Terima kasih, tugasmu sudah selesai." Datar tanpa menatapku Andin berucap lirih. Aku tahu perkataan itu tertuju untukku.Namun aku masih terkesiap. Seakan tidak menyangka. Ucapannya bagaikan godam yang dihan