Terlihat Abram terpaku, matanya fokus ke mobil sporty warna merah gelap bermerek pajero yang terpakir cantik di garasi, lalu sedetik kemudian menatapku penuh tanya.
"Papa?" tanyanya. Aku mengangguk "Kok, Mamah nggak turun?" tanya Abram lagi menautkan alis. Sebelum menjawab, aku menarik napas pelan, kemudian membuangnya gelisah. Sangat gelisah. "Abram saja duluan, mamah beresin barang-barang di mobil sebentar," kilahku sambil mengeluarkan perlengkapan pribadi dari tempat penyimpanan di depan tempat duduk Abram sekarang.Aku rasa tidak berbohong, hanya sedang menetralkan hati dan kesiapanku untuk berhadapan dengan kenyataan. Ya, aku takut menyaksikan dua sejoli itu ...?"Kita sama-sama, Mah," ujar Abram masih dalam posisi semula. Kenapa juga anak ini bersikap begitu? Bukannya dulu paling heboh jika menyambut papanya? Apa dia merasakan apa yang kurasakan? Ataukah rindunya telah tersulap jadi kecewa?Sengaia memperlambat pergerakan, selain menunggu irama jantung normal dan persendian rileks, juga berharap si pemilik mobil sporty di dalam rumah menyadari kehadiran kami. "Ayo!" ajakku setelah merasa bisa mengendalikan hati, pun barang-barang tak ada yang tertinggal Aku tak ingin saat Mas Rian mengambil roda empatnya, ada yang kurang seperti semula. Argh, selalu saja belum bisa seakrab pasangan lainnya. Terdengar jawab Mas Rian dari dalam saat kami memberi salam, dia langsung menyongsong tubuh Abram bersamaan pintu terbuka. Sedetik kemudian, lelaki yang selalu memesona di mataku itu, menghujani putranya ciuman. "Papa rindu, jagoan. Gimana sekolahnya? Sudah bisa membaca?" Abram tak menjawab, wajahnya bersembunyi di balik leher papanya, sesekali terdengar isakan kecil. Aku tahu anak itu teramat rindu. Rindu yang hampir menguap bak udara. "Hei," sapa Mas Rian melihat ke arahku saat tubuh mendekat hendak takzim. Sapaan yang sangat datar, seperti seorang teman yang kebetulan bertemu di jalan.Tak apa, itu lebih mending dari pada dulu tak ada kata sama sekali. "Anak guanteng udah datang rupanya, masakan aku dan Bibik tlah siap. Yuk, ganti baju dan langsung makan." Jantungku seketika mengecil ketika sosok cantik keluar dengan memakai pakaian chef, senyumnya begitu manis, dengan lesung pipi yang menambah poin. Tapi, sungguh, cemburu membuatku melihatnya bak monster."Juwita merekomendasikan ART, masakannya enak, aku pikir tak salah mempekerjakannya, lagian kamu pasti sangat sibuk," ujar Mas Rian menjelaskan. Tumben lelaki menawan itu menjelaskan panjang kali lebar di luar dari pembahasan tentang Abram?Tunggu! Kenapa dia bilang sibuk? Jangankan menginformasikan kegiatan kami di sini, menanyakan kabar, pun mendengar beritanya saja di sana, kami lose contact. Pasti Mbak Nelly yang menjadi sumbernya ini. Aku memilih tak menanggapinya, hatiku yang sedang teremas melihat Dokter Juwita ada di rumah sekarang apalagi membawa ART kian menambah ngilu remasannya.Apakah ini tahap kedua dari rencana menyingkirkan wanita tak dicintai ini secara perlahan? Ya, Allah, berilah hamba kekuatan dan kesabaran lebih, melewati semua ujianMU. Lama kami di ruang tamu, Mas Rian dan Dokter Juwita sibuk menentramkan hati Abram dengan berbagai rayu, serta mengeluarkan semua ole-ole yang dibawanya. Wajarlah anak itu bersikap demikian, jiwanya masih terlalu polos untuk memahami keadaan.Sementara aku hanya tetap diam. Ya, hanya itu yang mampu kulakukan. Mau menangis seperti Abram? Sungguh sangat menunjukkan kelemahan. Mau ke kamar atau beraktifitas seperti biasa? Aku merasa telah menjadi asing di rumah sendiri. Aku tak ubahnya orang lain yang sedang bertamu selama kurang lebih enam tahun, dan kini harus menarik diri, karena tuan rumah telah pulang. Selentingan kabar sempat dulu singgah di telinga, kalau hunian ini memang perencanaan mereka waktu merajut tali kasih. Sepertinya itu terbukti, dari setiap sudut ruangan, model, dan perancangan khas ide seorang wanita berselera tinggi. "Enak?" tanya Mas Rian ke Abram di meja makan. Dia telah mengganti pakaian setelah membersihkan terlebih dahulu badan putranya. Kuakui dia tipe ayah idaman. Abram tak menjawab, tapi tetap mengunyah makanannya. Mas Rian, Dokter Juwita, wanita paruh baya yang dipanggil Bibik, saling memandang, alis mereka hampir berlipat bersamaan.Kami sekarang menghadap menu makan siang. Sedang aku tetap berusaha bersikap santai, walau hati hancur berkeping di sana. Jangan tanya bagaimana risihnya aku, saat duduk semeja dengan suami yang tak mencintai bersama wanita terkasihnya. Andai tak mengenal malu, pun tak mengoreksi diri, intinya tak ada iman dalam dada, mungkin akan berang, mencaci maki, atau merusak sesuatu sebagai pelampiasan.Ya, akulah satu-satunya seorang istri di belahan muka bumi ini, yang hanya mampu diam ketika diperlakukan tak layak "Enak, kok. Ya, kan, Sayang?" jawabku sambil bertanya plus mengangguk ke arah Abram."Iya, enak, Mah." Abram menjawab ceria, senyumnya mulai terkembang. Aku rasa anak itu butuh stimulus, untuk membuatnya rileks dari deraan rindu yang melilit.Suasana hening yang sempat tercipta saat menunggu jawaban Abram, ditambah komenku yang tiba-tiba keluar tanpa diminta, seketika mencair.Aku rasa penilaian Abram memang sangat dibutuhkan. Itukan tujuan utama mereka? Agar dokter yang selalu kuajak saling melempar senyum itu tak kecewaOkey, mulai sekarang aku akan memenuhi kebahagiannya, seperti yang dilakukan Mas Rian. Bukankah membuat seorang yang dicintai bahagia adalah bentuk cinta? Meski di luar dari nalar. Toh, memang apa yang mampu kulakukan selain itu? Bila bersaing fisik, pekerjaan, pendidikan, gelar, de el el? Jelas aku kalah. Bersaing dengan hati? Lebih-lebih aku KO telak. Biarlah! Biarlah orang melabeliku bucin akut, parah, bodoh, gila, lemah. Sungguh, aku mencintai lelaki yang telah mengikrar ijab kabul di depan keluarga besar dan khalayak ramai itu.Kalau kata pujangga, cinta itu seperti candu. Seburuk apa candu memabukkan tubuh dan akal, sang pencinta akan selalu mempertaruhkan apapun demi mereguk candu itu. Mungkinkah aku berada di barisan in!?"Boleh aku keluar, M-mas?" tanyaku gagap menyebut kata Mas, kupastikan ini karena efek kehadiran Dokter Juwita. Nada pesan Tuti -penjaga toko Abram's Toys"- memintaku segera ke sana. Ada pembeli yang ingin mengambil banyak barang. Dua pekanan ini, toko mainan ramai, banyak pengecer dan penjual yang datang. Mungkin aku memang tak mengejar keuntungan, alias hanya pengalih dari rasa sakit yang tersisihkan, jadi tak menarget omset. Tapi ajaibnya, dari harga yang rendah dibanding toko-toko lain itulah, menjadikan 'Abram's Toys cepat terkenal, pun banyak menarik pelanggan. Itung-itung juga pesan singkat Tuti, adalah bentuk bantuan dari Allah agar keluar dari zona canggung yang luar biasa.Mas Rian melihatku sejenak, sedang Abram mempercepat kunyahan, sementara Bibik dan Dokter Juwita tetap melanjutkan akifitas makan. Sepertinya Bibik punya tempat khusus di hati dua sejoli ini, dia diperlakukan selayak saudara.Kalau yang begitu, aku sepakat. Mau bagaimanapun pekerjaan dan status seseorang, tak ada yang mulia di sisi Allah, kecuali orang yang paling bertakwa."Abram ikut, Mah." Anak itu gegas turun dari kursi dan mencuci tangan di wastafel. Sementara aku belum bergerak karena menunggu ijin papanya. Entah Mas Rian imam yang baik untukku atau bukan, diri tetap menghormatinya sebagai suami. Apalagi ada secuil harap dalam kalbu ini, suatu masa nanti, dia akan membalas cintaku. "Abram di sini saja, ya, Sayang. Katanya rindu sama papa," bujukku. Walau tak ikhlas Abram berada bersama papanya dan wanita yang belum jelas status kehalalan, diri akan tetap tampak baik-baik saja. Meski benda lunak bernama hati dalam sana, sedang hancur berkeping-keping.Kuyakin karena kasihan melihat Abram yang ingin sekali ikut, akhirnya Mas Rian mengijinkan kami. "Mobil itu punyamu sekarang, gunakanlah bersama Abram," ujar Mas Rian saat aku menyerahkan kunci roda empatnya. Padaha aku tadi berencana pesan ojek online sambil jalan-jalan menuju pertigaan.Seperti kataku tadi, akan mengikuti semua keinginannya seperti dulu-dulu, jadi kuraih saja kunci roda empat itu tanpa banyak kata. "Kenapa, sih, kamu tak bisa jujur tentang status kita yang telah resmi, Mas? Apa kamu telah jatuh cinta padanya?" Terdengar suara dokter Juwita dari arah ruang tamu saat aku menyusun kembali barang-barang di mobil.Entah mereka tahu aku dan Abram telah pergi atau tidak. Rasanya mendengar itu, langit yang kutempati berteduh seketika runtuh dan menindih tanpa ampun.Duh, beginikah perihnya mencinta tak berbalas? Beginikah sakitnya menunggu cinta lelaki yang bergelar suami, namun dia malah menghalalkan wanita terkasihnya, sebagai jawaban dari penantianku yang bertahun? ***"Mobinya rusak, Mah?" Pertanyaan Abram tak langsung kutanggapi. Anak itu pasti heran melihatku hanya memegang stir lama tapi tak memutar kunci kontak.Tubuhku benar-benar seperti tak bisa difungsikan. Jangankan menginjak gas, memutar stir, apalagi untuk fokus ke jalanan, menstarter mobil saja tak mampu. Percakapan dua sejoli yang baru saja melewati gendang telinga, membuat otak dan perangkat-perangkat tubuh lainnya seketika vakum. Aku rasa inilah yang disebut syok.Entah kenapa tubuh bereaksi terlalu. Sedang enam tahun silam, hal ini sudah terprediksi dari alam bawah sadar pun sebaliknya. Mungkinkah itu disebabkan oleh rasa berlebih yang begitu dalam mengharap? Atau memang cinta telah mengakar kuat di tubuh?Sepertinya aku harus percaya pada pendapat sebagain orang, kalau mencintai lebih tanpa berbalas meski pada pasangan halal, bisa mengundang penyakit, atau bahasa kasarnya, sama dengan bunuh diri. Entah, walau tahu, tapi rasa ini sungguh tak mampu kutepis."Mamah ...." Sentuhan ta
“Abram di sini aja sama mamah, Pa.” Bocah jelang enam tahun itu berujar dalam gendongan, saat sang papa selangkah lagi mencapai ambang pintu. Sementara tubuh masih mematung tak memercayai kalau lelaki yang selalu memesona di mataku, akan benar-benar memisahkan aku dengan darah dagingku juga.“Abram hanya pengen sama Mamah aja, Pa. Kasian mamah sendiri,” protes Abram tak dihiraukan Mas Rian. Lelaki bertubuh proporsional itu terus melangkah menuju tangga. Refleks kaki mengikuti Abram yang menengadah tangan ke arahku. Aku seperti sedang menyaksikan drama korea perpisahan antara ibu dan anak, tersebab kalah di persidangan dalam perebutan hak asuh. Cuman bedanya, di sini aku tak jadi penonton atau penikmat, melainkan pemeran utama. Ternyata berdobel-dobel sesak yang ditimbulkannya. Andai tak punya malu, mungkin aku akan histeris juga selayak sang aktris menghayati skenario.”Jangan pikirkan mamah, Sayang. Besok mamah akan membawakan bekal Abram sebelum ke sekolah,’ ujarku menenangkanny
"Kalau Mas ingin membawa Abram jalan-jalan, ntar aku ijinin ke gurunya," kataku setelah berfikir. Buat apa meruncingkan masalah, kalau bisa diselesaikan dengan aman. Perdebatan menurutku hanya tambah mengeraskan hati saja, pun semakin menggemukkan nafsu yang memang tak pernah kenyang. Ya, benarlah kata ibu dan bapak, kalau anaknya ini memiliki jiwa lebih banyak mengalah. Aku rasa itu tak salah, karena merekalah yang mendidik seperti itu. Bukankah anak seperti kertas kosong? Orang tualah yang menulis pertama, juga terakhir, hingga kertas itu penuh. Apa yang dicoret orang tua, terlihat dari kepribadian anak itu nantinya.Mungkinkah Abram akan memperlakukan seorang wanita kelak seperti papanya memperlakukanku? Ya, Rabb ....Aku tahu buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Kumohon jatuhkan buah pohon kami ke sungai, agar ada seseorang yang menemukannya, hingga menjadi pelepas dahaga yang sangat bermanfaat.Jadikan juga putraku demikian. Hanya Engkau tempat memohon paling tepat.Lelaki berp
"Abram masuk, cuci tangan dan kaki, lalu bergantian pakaian, ya?!" pintaku pada bocah penurut itu usai mencium punggung tangan papanya. Meski seakan ada konflik tak terlihat yang merusak suasana. Aku pikir hubungan anak dan papa, akan cepat stabil seperti dulu. Aku? Tak ingin memikirnya, yang penting darah dagingku bahagia. "Maaf, Mas. Saya belum menyediakan pakaian Abram," ujarku sopan, mengingat titahnya di telepon.Lelaki itu bergeming, ketika aku menyodorkan tangan hendak takzim seperti biasa.Diri sudah paham kalau sekarang dia tak menyambutnya, kulitku memang tak ada apa-apa dibanding istri tercintanya di sana. Ah, lagi-lagi sesak datang tak undang bila mengingat kedudukan yang tak pernah dihargai. "Aku ingin akhiri hubungan ini. Carilah lelaki yang lebih bisa membahagiakanmu," ucapnya tanpa ekspresi, pun tanpa sedikit ada niat meraih tanganku yang masih menggantung di udara menunggu uluran tangannya. Aku mundur bersandar di dinding memahami makna pernyataan tajam itu, tiba-
"Mamah ikut, kan?" tanya Abram di sela aku mengemasi barangnya."Mamah kurang sehat, Sayang. Abram sama papa dan tante Juwita saja, ya?!" Wajah dan mata sembab habis menangis tadi kutunjukkan, agar dia yakin dengan alasanku."Ada Mbak Tuti yang nemanin mamah," kataku lagi memaknai tatapan cemasnya."Biar pakaiaan Abram papa yang lanjutin masukin di tas ya, Sayang. Sepertinya Mbak Tuti sedang kewalahan di bawah." Aku memencet pelan hidung mancung Abram sebelum berlalu, dia mengangguk sambil tertawa gemes.Selain dari tadi dering panggilan ponsel Tuti bergetar, juga ingin menunjukkan keadaan senatural ke Abram. Ya, aku rasa, hanya ini yang mampu kulakukan agar perpisahan kedua orang tuanya tak mempengaruhi fase perkembangannya.Terlihat Mas Rian yang sedari tadi di balkon mengamati suasana ke bawah, seketika berderap ketika Abram memanggilnya. Lelaki yang selalu tampak memesona di mataku itu, menautkan alis, saat kami berpapasan di ruang keluarga.Tak perlu menjelaskan seribu tanya di b
”Abram mana?” tanyaku masih penasaran, sekaligus tak ingin mendengar dia melanjutkan kalimat-kalimat menyudutkannya. Bukan takut beradu argumen, tak ingin perdebatan ini terdengar Tuti, tetangga, bahkan pembeli. Bukankah mengalah tidak berarti kalah? Mundur bukan berarti pecundang? ”Abram ingin kamu ikut,” kata Mas Rian masih ekspresi sama. Rahang mengeras dengan mengalih dari pandanganku, tapi tak mengurangi ketampanannya sama sekali.Refleks aku menggoyangkan tangan ke depan wajah, sebagai ekspresi kemustahilan. Bagaimana mungkin aku serta, jika Dokter Juwita ada? Apa ini juga bagian rencana Mas Rian untuk menambahkan lagi poin penderitaan istri pelariannya?“Kami juga tak mungkin selalu menjaganya, sementara di sana ada beberapa agenda rapat.” Mimiknya tiba-tiba berubah.“Lalu kenapa Mas bersikeras memaksanya? Toh, selama ini dia sudah terbiasa ditinggalkan meski tanpa alasan yang jelas,” sanggahku. Kembali Mas Rian menatapku syarat amarah, terlihat dari tonjolan urat bagian pel
Aku memperlambat pergerakan ketika suara Abram memanggil, bersamaan tanganku diraih, pun tubuhnya muncul menyejari langkahku. Ah, anak ini benar-benar jauh lebih peka, perhatian, dan penyayang dibanding papanya. Dadaku seakan membesar menahan buncah atas sikapnya di saat-saat genting. Aku langsung menggenggam tangan mungil itu, lalu kami bergandengan tangan tanpa memerdulikan suara-suara perdebatan di belakang yang mulai lagi terbawa angin, kupastikan penyebabnya karena Abram memilih ikut denganku. Hufft, sekuat apapun diri berusaha menciptakan situasi kondusif di masa tumbuh kembangnya, keadaan tak selalu sesuai dengan cita-cita. Buktinya, dua manusia terpelajar itu, tak bisa menjadi teladan.“Abram kuat jalan sampai ke perempatan itu, kan?” Aku menunjuk ke depan, sekitar lima ratus meter sampai ke jalanan umum dengan melewati penurunan sekarang. Aku tak yakin ada taksi atau kendaraan umun di sana, memperhatikan kondisi yang sangat lengan. Nantilah dipikir.Abram mengangguk cepat,
Setelah mereka turun, tanpa sadar kaki ke arah balkon, untuk melihat jelas kedua sejoli itu. Aku rasa masih penasaran kegaduhan yang ditimbulkannya tadi. Ataukah spontanitas ini adalah rasa cemburu? Kalau tidak, kenapa hatiku terasa kembali perih?”Maaf, Bu. Saya tak menyangka wanita itu naik, kirain hanya pembeli tadi,” suara Tuti mengalihkan pandanganku ke roda empat yang telah berbaur dengan pengendara lain. ”Dia seorang dokter, seprofesi dengan Mas Rian,” kataku menarik nafas dalam, lalu membuangnya gundah. Aku rasa saat inilah dia harus tahu siapa mereka dan status wanita yang ditempatinya bekerja.“Keduanya menjalin hubungan sebelum aku hadir, lalu bertemu setelah perpisahan lama. Mereka pasangan ideal. Sementara aku adalah orang ketiga.” Kepala mendongak ke atas di akhir kalimatku, menahan sesak selalu saja tak bisa terbendung mengingat keadaan yang tak berpihak. ”Tapi …, kemarin Pak Dokter ….?” Tuti menjeda kalimatnya. Aku menautkan alis melihat anak itu seakan loading denga