Share

BAB 6

Terlihat Abram terpaku, matanya fokus ke mobil sporty warna merah gelap bermerek pajero yang terpakir cantik di garasi, lalu sedetik kemudian menatapku penuh tanya.

"Papa?" tanyanya. Aku mengangguk 

"Kok, Mamah nggak turun?" tanya Abram lagi menautkan alis. 

Sebelum menjawab, aku menarik napas pelan, kemudian membuangnya gelisah. Sangat gelisah. 

"Abram saja duluan, mamah beresin barang-barang di mobil sebentar," kilahku sambil mengeluarkan perlengkapan pribadi dari tempat penyimpanan di depan tempat duduk Abram sekarang.

Aku rasa tidak berbohong, hanya sedang menetralkan hati dan kesiapanku untuk berhadapan dengan kenyataan. Ya, aku takut menyaksikan dua sejoli itu ...?

"Kita sama-sama, Mah," ujar Abram masih dalam posisi semula. Kenapa juga anak ini bersikap begitu? Bukannya dulu paling heboh jika menyambut papanya? Apa dia merasakan apa yang kurasakan? Ataukah rindunya telah tersulap jadi kecewa?

Sengaia memperlambat pergerakan, selain menunggu irama jantung normal dan persendian rileks, juga berharap si pemilik mobil sporty di dalam rumah menyadari kehadiran kami. 

"Ayo!" ajakku setelah merasa bisa mengendalikan hati, pun barang-barang tak ada yang tertinggal  Aku tak ingin saat Mas Rian mengambil roda empatnya, ada yang kurang seperti semula. Argh, selalu saja belum bisa seakrab pasangan lainnya. 

Terdengar jawab Mas Rian dari dalam saat kami memberi salam, dia langsung menyongsong tubuh Abram bersamaan pintu terbuka. Sedetik kemudian, lelaki yang selalu memesona di mataku itu, menghujani putranya ciuman. 

"Papa rindu, jagoan. Gimana sekolahnya? Sudah bisa membaca?" Abram tak menjawab, wajahnya bersembunyi di balik leher papanya, sesekali terdengar isakan kecil. Aku tahu anak itu teramat rindu. Rindu yang hampir menguap bak udara. 

"Hei," sapa Mas Rian melihat ke arahku saat tubuh mendekat hendak takzim. Sapaan yang sangat datar, seperti seorang teman yang kebetulan bertemu di jalan.

Tak apa, itu lebih mending dari pada dulu tak ada kata sama sekali. 

"Anak guanteng udah datang rupanya, masakan aku dan Bibik tlah siap. Yuk, ganti baju dan langsung makan." 

Jantungku seketika  mengecil ketika sosok cantik keluar dengan memakai pakaian chef, senyumnya begitu manis, dengan lesung pipi yang menambah poin. Tapi, sungguh, cemburu membuatku melihatnya bak monster.

"Juwita merekomendasikan ART, masakannya enak, aku pikir tak salah mempekerjakannya, lagian kamu pasti sangat sibuk," ujar Mas Rian menjelaskan. Tumben lelaki menawan itu menjelaskan panjang kali lebar di luar dari pembahasan tentang Abram?

Tunggu! Kenapa dia bilang sibuk? Jangankan menginformasikan kegiatan kami di sini, menanyakan kabar, pun mendengar beritanya saja di sana, kami lose contact. Pasti Mbak Nelly yang menjadi sumbernya ini. 

Aku memilih tak menanggapinya, hatiku yang sedang teremas melihat Dokter Juwita ada di rumah sekarang apalagi membawa ART kian menambah ngilu remasannya.

Apakah ini tahap kedua dari rencana menyingkirkan wanita tak dicintai ini secara perlahan? 

Ya, Allah, berilah hamba kekuatan dan kesabaran lebih, melewati semua ujianMU. 

Lama kami di ruang tamu, Mas Rian dan Dokter Juwita sibuk menentramkan hati Abram dengan berbagai rayu, serta mengeluarkan semua ole-ole yang dibawanya. Wajarlah anak itu bersikap demikian, jiwanya masih terlalu polos untuk memahami keadaan.

Sementara aku hanya tetap diam. Ya, hanya itu yang mampu kulakukan. Mau menangis seperti Abram? Sungguh sangat menunjukkan kelemahan. Mau ke kamar atau beraktifitas seperti biasa? Aku merasa telah menjadi asing di rumah sendiri. Aku tak ubahnya orang lain yang sedang bertamu selama kurang lebih enam tahun, dan kini harus menarik diri, karena tuan rumah telah pulang. 

Selentingan kabar sempat dulu singgah di telinga, kalau hunian ini memang perencanaan mereka waktu merajut tali kasih. Sepertinya itu terbukti, dari setiap sudut ruangan, model, dan perancangan khas ide seorang wanita berselera tinggi. 

"Enak?" tanya Mas Rian ke Abram di meja makan. Dia telah mengganti pakaian setelah membersihkan terlebih dahulu badan putranya. Kuakui dia tipe ayah idaman. 

Abram tak menjawab, tapi tetap mengunyah makanannya. Mas Rian, Dokter Juwita, wanita paruh baya yang dipanggil Bibik, saling memandang, alis mereka hampir berlipat bersamaan.

Kami sekarang menghadap menu makan siang. 

Sedang aku tetap berusaha bersikap santai, walau hati hancur berkeping di sana. Jangan tanya bagaimana risihnya aku, saat duduk semeja dengan suami yang tak mencintai bersama wanita terkasihnya.  

Andai tak mengenal malu, pun tak mengoreksi diri, intinya tak ada iman dalam dada, mungkin akan berang, mencaci maki, atau merusak sesuatu sebagai pelampiasan.

Ya, akulah satu-satunya seorang istri di belahan muka bumi ini, yang hanya mampu diam ketika diperlakukan tak layak 

"Enak, kok. Ya, kan, Sayang?" jawabku sambil bertanya plus mengangguk ke arah Abram.

"Iya, enak, Mah." Abram menjawab ceria, senyumnya mulai terkembang. Aku rasa anak itu butuh stimulus, untuk membuatnya rileks dari deraan rindu yang melilit.

Suasana hening yang sempat tercipta saat menunggu jawaban Abram, ditambah komenku yang tiba-tiba keluar tanpa diminta, seketika mencair.

Aku rasa penilaian Abram memang sangat dibutuhkan. Itukan tujuan utama mereka? Agar dokter yang selalu kuajak saling melempar senyum itu tak kecewa

Okey, mulai sekarang aku akan memenuhi kebahagiannya, seperti yang dilakukan Mas Rian. Bukankah membuat seorang yang dicintai bahagia adalah bentuk cinta? Meski di luar dari nalar. 

Toh, memang apa yang mampu kulakukan selain itu? Bila bersaing fisik, pekerjaan, pendidikan, gelar, de el el? Jelas aku kalah. Bersaing dengan hati? Lebih-lebih aku KO telak. 

Biarlah! Biarlah orang melabeliku bucin akut, parah, bodoh, gila, lemah. Sungguh, aku mencintai lelaki yang telah mengikrar ijab kabul di depan keluarga besar dan khalayak ramai itu.

Kalau kata pujangga, cinta itu seperti candu. Seburuk apa candu memabukkan tubuh dan akal, sang pencinta akan selalu mempertaruhkan apapun demi mereguk candu itu. Mungkinkah aku berada di barisan in!?

"Boleh aku keluar, M-mas?" tanyaku gagap menyebut kata Mas, kupastikan ini karena efek kehadiran Dokter Juwita. 

Nada pesan Tuti -penjaga toko Abram's Toys"- memintaku segera ke sana. Ada pembeli yang ingin mengambil banyak barang. 

Dua pekanan ini, toko mainan ramai, banyak pengecer dan penjual yang datang. Mungkin aku memang tak mengejar keuntungan, alias hanya pengalih dari rasa sakit yang tersisihkan, jadi tak menarget omset. Tapi ajaibnya, dari harga yang rendah dibanding toko-toko lain itulah, menjadikan 'Abram's Toys cepat terkenal, pun banyak menarik pelanggan. 

Itung-itung juga pesan singkat Tuti, adalah bentuk bantuan dari Allah agar keluar dari zona canggung yang luar biasa.

Mas Rian melihatku sejenak, sedang Abram mempercepat kunyahan, sementara Bibik dan Dokter Juwita tetap melanjutkan akifitas makan. Sepertinya Bibik punya tempat khusus di hati dua sejoli ini, dia diperlakukan selayak saudara.

Kalau yang begitu, aku sepakat. Mau bagaimanapun pekerjaan dan status seseorang, tak ada yang mulia di sisi Allah, kecuali orang yang paling bertakwa.

"Abram ikut, Mah." Anak itu gegas turun dari kursi dan mencuci tangan di wastafel. Sementara aku belum bergerak karena menunggu ijin papanya. 

Entah Mas Rian imam yang baik untukku atau bukan, diri tetap menghormatinya sebagai suami. Apalagi ada secuil harap dalam kalbu ini, suatu masa nanti, dia akan membalas cintaku. 

"Abram di sini saja, ya, Sayang. Katanya rindu sama papa," bujukku. 

Walau tak ikhlas Abram berada bersama papanya dan wanita yang belum jelas status kehalalan, diri akan tetap tampak baik-baik saja. Meski benda lunak bernama hati dalam sana, sedang hancur berkeping-keping.

Kuyakin karena kasihan melihat Abram yang ingin sekali ikut, akhirnya Mas Rian mengijinkan kami. 

"Mobil itu punyamu sekarang, gunakanlah bersama Abram," ujar Mas Rian saat aku menyerahkan kunci roda empatnya. Padaha aku tadi berencana pesan ojek online sambil jalan-jalan menuju pertigaan.

Seperti kataku tadi, akan mengikuti semua keinginannya seperti dulu-dulu, jadi kuraih saja kunci roda empat itu tanpa banyak kata. 

"Kenapa, sih, kamu tak bisa jujur tentang status kita yang telah resmi, Mas? Apa kamu telah jatuh cinta padanya?" Terdengar suara dokter Juwita dari arah ruang tamu saat aku menyusun kembali barang-barang di mobil.

Entah mereka tahu aku dan Abram telah pergi atau tidak. Rasanya mendengar itu, langit yang kutempati berteduh seketika runtuh dan menindih tanpa ampun.

Duh, beginikah perihnya mencinta tak berbalas? Beginikah sakitnya menunggu cinta lelaki yang bergelar suami, namun dia malah menghalalkan wanita terkasihnya, sebagai jawaban dari penantianku yang bertahun? 

***

Mga Comments (2)
goodnovel comment avatar
Anik Murniatun
sakitnyaaaa , Rian laki2 egois gk punya hati
goodnovel comment avatar
Abraham Rayyan Evandaru
...️...️sangat bagus ceritanya
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status