Berselang satu jam, terdengar suara gaduh. Rena penasaran dengan yang terjadi, dia tolehkan wajahnya ke dalam. Beberapa perawat mendorong brankar keluar dari ruang pemulihan. Hati Rena mulai berdebar, takut sesuatu terjadi pada ibunya. Rena coba mendekat, bertanya pada perawat yang bertugas.
"Ada apa, Sus?" tanya Rena.
"Pasien tidak bereaksi, jadi dibawa ke ICU," jelasnya. Rena terpaku sesaat. Timbul pertanyaan dalam hatinya, 'apakah itu ibunya?'
Rena segera menyusul perawat tadi menuju ruang ICU.
Terlihat para perawat itu masuk ke dalam ruangan, sementara Rena ditahan tidak diperbolehkan masuk.
"Maaf, Mbak silakan tunggu di luar!" ucap salah satu perawat lalu menutup pintu kaca itu. Rena kembali kecewa.
Selama beberapa hari, sang ibu mengalami koma. Rena hanya bisa menungguinya di luar ruang perawatan. Beberapa kali Rena bertemu dengan Dokter Fredy, entah mengapa ada rasa risih juga malu saat bertemu dengannya. Namun, kali ini Rena beranikan diri mendekat saat jadwal dokter itu mengontrol kondisi ibunya.
"Dokter, bagaimana kondisi ibu saya?" tanya Rena berusaha setenang mungkin. Ada beberapa perawat bersamanya.
"Kami sedang berusaha, berdoa saja semoga ibumu lekas sadar," jawabnya tenang. Ingin rasanya Rena marah pada dokter itu, tapi marah untuk apa? Toh sebenarnya lelaki itu sudah berusaha sampai titik ini untuk kesembuhan ibunya. Rena mengangguk pasrah.
Sudah empat hari Lastri berada di ICU, belum ada perkembangan yang signifikan. Rena hanya bisa pasrah. Teringat kata-kata ibunya waktu itu, jika dia ingin mati saja daripada merepotkan anaknya.
"Ibu ... jangan sia-siakan pengorbananku, Bu," gumamnya lirih di sela doa yang selalu terucap.
Hari itu, Rena pulang dulu untuk melihat keadaan Bayu. Adiknya itu dia titipkan pada tetangga dekatnya, juga sahabatnya, Ratna. Memang, hanya keluarga Ratna lah yang selama ini baik padanya. Rena merasa tak enak hati karena terlalu lama merepotkan keluarga Pak Eman, ayah Ratna. Rena tahu jika kondisi keluarga Ratna tak jauh beda dengannya. Hanya sebuah keluarga miskin.
Saat Ratna menengok ibunya di rumah sakit, Rena menitipkan Bayu pada Ratna, tak lupa Rena pun menitipkan uang untuk makan adiknya itu.
Sesampainya di rumah, ternyata Bayu sedang bermain bersama anak-anak lainnya di halaman. Saat melihat kedatangan kakaknya, Bayu berlari menghambur memeluk Rena.
Bau prengus menguar tercium oleh Rena. Dia usap puncak kepala adiknya itu.
"Mbak, Ibu mana? Kok nggak pulang bareng Mbak?" tanyanya polos. Rena tersenyum.
"Ibu belum boleh pulang. Ayo masuk, mbak bawain kamu makanan," ajak Rena sambil menunjukan bungkusan yang dibawanya. Bayu mengangguk bahagia.
Rena menaruh sebungkus nasi rames dengan ayam goreng di atas piring dan memberikannya pada Bayu. Menaruh lagi satu bungkus lainnya untuk dia makan sendiri. Mereka duduk berhadapan di atas tikar lusuh. Rena bahagia melihat adiknya makan dengan lahap. Dia terharu karena Bayu jarang sekali bisa makan enak.
Suapan pertama hendak Rena suapkan ke mulutnya, saat dering telepon berbunyi dari ponselnya. Rena segera mengangkatnya, takut jika telepon itu dari rumah sakit.
"Mbak, tolong segera ke sini. Ibu Lastri sudah ... mmh ... sudah meninggal."
Mata Rena membulat dengan mulut menganga tak percaya. Ia segera bangkit dan meninggalkan Bayu dalam keheranan.
"Mbak ... mau ke mana lagi? Kenapa makannya gak diabisin?" teriak Bayu dari ambang pintu.
"Nanti saja, Bayu. Mbak harus ke rumah sakit lagi. Kamu tunggu saja di rumah ya. Habisin makanannya!" ucap Rena sambil berbalik sesaat.
.
Rena segera menuju ruang ICU. Dilihatnya sang ibu yang masih terbaring di sana. Tertidur tenang bagai orang yang tengah terlelap. Tanpa ada gerakan sedikit pun. Rena menghampirinya. Menyentuh tubuh kurus itu yang kini kaku. Air matanya tak bisa dibendung lagi. Tangis penyesalan, tangis kehilangan, dan entah untuk rasa sakit yang mana lagi dia keluarkan.
"Atas perintah Dokter Fredy, kami belum memindahkannya ke kamar mayat. Katanya tunggu Mbak Rena kembali," ucap seorang perawat. Rena menoleh lalu mengangguk.
"Saya akan langsung membawanya pulang saja, Sus," jawab Rena yang juga dibalas anggukan oleh perawat itu. Lalu perawat itu pun pergi meninggalkan Rena sendiri.
Rena pandangi wajah tua dan kurus itu. Bagai tulang berbalut kulit. Dia sentuh lalu dia ciumi keningnya lama. Tangisnya pecah walau dia tahan dalam isakan.
"Maaf, aku sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi ...."
"Sudahlah, aku tidak perlu penjelasan darimu. Tinggalkan aku sendiri dengan ibuku!" potong Rena. Lelaki berbadan tegap itu tidak memaksa. Dia pun berlalu dengan wajah sayu.
.
Rena kembali ke rumah dengan ambulans. Saat tiba di rumah sudah terpasang tenda juga kursi-kursi. Ada sedikit rasa heran di hati Rena, siapa yang menyiapkan semua itu?
Segala sesuatunya sudah tersedia, berbagai makanan juga air mineral kemasan untuk para pelayat. Entah siapa tetangga yang sudah begitu baik menyiapkan ini semua.
Ibunya kini telah tiada. Rena menyadari jika uang tidak bisa membeli kesehatan, apalagi nyawa. Namun, walau begitu penyesalan sudah tiada guna. Pengorbanan yang sudah dia lakukan untuk kesembuhan ibunya, dia anggap sebagai bentuk bakti seorang anak.Rena membayangkan jika seandainya dia tidak terburu-buru menjual diri, yang malah membuat ibunya kecewa di akhir hayatnya.Bunyi ponsel menyadarkan lamunan Rena dari segala pikiran. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.'Ah, Dokter itu lagi,' batin Rena. Walau malas, tapi rasa penasaran lebih mendominasi. Akhirnya Rena menekan tombol membuka pesan.[Aku turut berduka cita atas meninggalnya ibumu. Sekali lagi, aku minta maaf untuk kegagalanku menyelamatkan wanita yang begitu berharga dalam hidupmu.]Rena membuang napas kasar saat membacanya. Benarkah lelaki itu bersimpati atas kesedihannya? Lelaki yang telah memanfaatkan kelemahannya hanya untuk keuntungan pribadi.[Terima kasih atas simpatimu. Jika boleh saya mau bertemu dengan Dokte
Rena menyisir rambut panjangnya sehabis mandi. Udara yang panas telah berganti segar setelah diguyur air. Rena tampak cantik walau hanya mengenakan baju sederhana. Matanya bulat besar dihiasi bulu mata yang lentik, hidung mungil yang bangir dan kulit kuning langsat menambah keayuannya. Sejenak Rena menatap dirinya di cermin. Berbagai rasa berkecamuk dalam dada. Rasa pedih akan kehilangan, rasa sesal, rasa takut dan entah rasa apalagi. Sebuah panggilan masuk ke ponselnya, menyadarkan Rena dari lamunan. segera diangkatnya. "Hallo." Suara bariton itu begitu sering mengusiknya akhir-akhir ini. Walau malas dia terima juga. Takut jika ada hal penting yang akan disampaikan lelaki itu. "Hallo?" Kembali suara itu terdengar lagi karena tak didapat jawaban. Wajah Rena terlihat malas menjawab. "Iya," jawab Rena singkat. "Aku jemput hari ini jam 7, bersiaplah!" pinta lelaki itu."Untuk apa? Aku lagi malas bepergian." Rena menjawab dengan enggan. Terdengar hembusan napas kasar dari sebrang
"Bayu," panggil Rena ragu. Bocah yang sedang asyik membaca itu pun menoleh."Ya, Mbak?" jawabnya penasaran. Mata mereka bertemu."Mmh, Mbak mau menikah sebentar lagi," ucapnya lirih. Mata Bayu membulat."Menikah? Dengan siapa, Mbak? Kok aku nggak tau?" cerocos Bayu seraya mendekati kakaknya. Rena tersenyum tipis."Ada, nanti juga kamu tau. Tapi ...." Ucapan Rena terhenti. Dia terlihat ragu. "Kamu jangan bilang siapa-siapa ya, janji!" pinta Rena. Bayu mengangguk pasti."Nanti kita akan pindah dari sini. Kamu nanti pindah sekolah dan tinggal di asrama, sedangkan mbak ... nanti ikut suami." Rena memandang wajah adiknya lekat."Jadi kita nggak tinggal bersama, Mbak?" Wajah Bayu nampak kecewa. Rena menggeleng pelan. "Nanti, mbak akan jenguk kamu ke sana sering-sering, deh," bujuk Rena menghilangkan sedikit kekhawatiran di hati bocah sembilan tahun itu. Bayu mengangguk pasrah."Jadi kapan Mbak menikah?" Terdengar suara Bayu yang mulai ceria kembali. Rena tersenyum manis."Beberapa hari lagi
Dokter Fredy ternyata menyewa sebuah vila untuk acara pernikahannya. Vila dengan pemandangan sawah juga hutan yang asri begitu indah dipandang mata. Suara gemericik sungai menambah indah suasana. Sekilas sangat cocok untuk yang sedang berbulan madu. Sebuah taman disulap menjadi begitu indah dengan tenda yang dibentuk sedemikian rupa. Aneka makanan terhidang menggugah selera. Padahal tamu yabg hadir tidak sampai dua puluh orang. Rena datang beserta adiknya, dan Kiai Ahmad--guru ngaji Bayu--juga Kang Hafidz putra beliau yang Rena minta menjadi saksi pernikahannya. Tidak ada orang lain yang diundang. Terlebih karena lokasi pernikahan diadakan jauh di luar kota. Sedangkan dari pihak Dokter Fredy, nampak beberapa sahabat dekatnya saja yang hadir. Tidak ada satu pun keluarganya yang diberi tahu, sesuai permintaan Rena, jika mereka ingin menyembunyikan pernikahan itu. Entah sampai kapan. Dua orang dari kantor urusan agama sebagai pencatat pernikahan juga yang diminta sebagai wali hakim
"Dia sementara tinggal di sini, sampai nemuin tempat kost yang cocok," lanjut Fredy tegas. Dewi akhirnya mengangguk, tangannya menyuap sepotong sushi dengan sumpit kayu."Saya punya rekomendasi tempat kost yang bagus lho, Dok. Harganya emang agak mahal dikit, sih, tapi ... fasilitasnya oke banget. Kayanya cocok deh buat dia." Ucapan Dewi menghentikan jemari Dokter Fredy yang sedang fokus mengetik. "Ah, gak usah, Dew. Biar Rena di sini aja dulu. Emh, lagian orang tuanya udah nitipin dia sama saya. Biar Rena aja nanti yang mutusin mau kost di mana." Dokter Fredy terlihat gelagapan kembali. Suara bell dari ruang klinik menyelamatkan kegugupan Dokter Fredy. Dewi segera beranjak untuk membuka pintu. *** Rena selesai privat menjelang Magrib. Dia segera turun dari lantai dua. Saat keluar gedung, ternyata hujan mulai turun. Sayang, Rena lupa membawa payung. "Ah, sial. Aku harus nunggu hujan berenti," gumamnya, lalu duduk di kursi yang ada di depan gedung. Rena berniat menghubungi suamin
Rena segera mengendalikan dirinya. Dia tidak ingin terlihat cemburu di hadapan suaminya itu."Dianter sama Bang Arya," jawab Rena sambil berlalu. Sengaja dia menekankan nama "Bang Arya" dengan keras."Makan dulu, sini! Mumpung ada Dewi jug--""Gak laper!" potong Rena tetap melanjutkan langkahnya menuju kamar. Dewi terlihat heran melihat sikap Rena. Dia buru-buru menyelesaikan makan malamnya karena takut keburu hujan lagi."Saya pamit dulu ya, Dok. Terima kasih untuk makan malamnya," ujar Dewi dan meraih piringnya yang telah kosong lalu membawanya ke tempat cuci piring. Dia segera mencucinya lalu berpamitan sekali lagi. Dokter Fredy hanya mengangguk.Setelah kepergian Dewi, Dokter Fredy bangkit dan beranjak menuju kamar Rena. Mengetuk pintunya perlahan."Ren ... Rena, makan dulu," pinta Dokter Fredy halus. Namun, tak ada jawaban."Rena, tolong buka dulu pintunya." Suara lelaki itu agak meninggi. Walau malas, akhirnya Rena membuka pintu itu setengah."Ada apa? Aku cape, mau istirahat,"
"Mau kuanter gak, Ren?" tanya Dokter Fredy yang sedang duduk di ruang tengah. Rena menggeleng pelan."Gak usah. Kalau aku diantar jemput, nanti pada curiga," tolak Rena, kemudian berlalu dari hadapan suaminya. Dokter Fredy menghela napas kasar. 'Diantar orang lain mau, tapi sama suami sendiri gak mau,' pikirnya.Baru saja Rena keluar dan menutup pintu, sudah bertemu dengan perempuan yang semalam mengirim pesan padanya."Hai, Ren! Berangkat kursus ya?" sapa Dewi ramah seraya menaruh helmnya di kaca spion. Dia turun dari motornya lalu menghampiri Rena yang sedang memasukan kakinya ke sepatu. Rena menoleh sekilas."Eh iya, Mbak. Langsung masuk aja, Pak Dokter ada di dalam kok," jawab Rena. Dewi makin mendekat."Ren, sini deh. Mbak mau minta tolong. Bisa gak nanti kamu tanyain sama Dokter Fredy, dia lagi pengen apa saat ini?" Wajah Dewi nampak memelas. Kening Rena mengernyit."Maksudnya gimana, Mbak?" tanya Rena memastikan."Emh, Mbak mau ngasih hadiah buat Dokter Fredy, tapi ... setiap h
Pertanyaan yang membuat Rena tersentak."Eh, ng-nggak kok. Saya gak punya pacar. Apaan sih Pak Arya?!" Rena terlihat gugup. Arya terlihat manggut-manggut. Sebuah senyum tersungging di bibirnya."Oh ya, Ren, lusa aku ulang tahun. Aku mau ngadain syukuran di rumah. Kamu bisa dateng?" Sebuah undangan yang mencengangkan. Tanggal yang sama dengan suaminya, tapi sepertinya tidak ada acara apa-apa untuk memperingatinya."Eh, i-iya. Insya Allah saya datang. Jam berapa?""Malem sih ... abis Isya. Mau aku jemput?" tanya Arya lagi. Rena menggeleng cepat."Nggak usah, Pak. Saya minta alamatnya aja," jawab Rena. Arya mengangguk."Ok, nanti aku kirim alamatnya. Ayo kuantar pulang!"***Pasien terakhir terlihat keluar dari klinik Dokter Fredy. Dewi pun tampak segera bersiap untuk pulang saat Rena sampai di depan gerbang. Terlihat juga Arya yang melambaikan tangannya sebelum berlalu."Hai, Ren, jangan lupa yang aku minta tadi ya!" bisik Dewi seraya menuntun motornya ke luar. Rena balas dengan senyu