Share

Bab 5

Dokter Fredy meninggalkan Rena sendiri. Menyisakan sejuta sesal yang tak mungkin bisa diulang. Rena menangis hanya untuk melepaskan pedihnya hati.

Diliriknya jam dinding yang menunjukan pukul 21.30, Rena bergegas merapihkan pakaiannya,  dan segera beranjak dari hotel itu. Dia tidak ingin jika sang Ibu cemas, karena belum mendapatinya kembali hinggal selarut ini. 

Walau  jiwa dan raganya sakit, Rena berusaha menyembunyikan serapih mungkin. Mengemasnya dengan sebuah senyum palsu, mengikatnya dengan kepura-puraan agar tak ada seorang pun tahu.

Saat tiba di rumah sakit, seorang suster sepertinya sudah menunggu kedatangannya. Perempuan berseragam putih itu  memanggil Rena dari tempat duduknya di Nurse Station. Rena pun mendekat.

"Mbak, beberapa jam lagi Bu Lasti harus puasa, sebelum operasi. Dari jam satu malam nanti, Bu Lastri sudah mulai puasanya ya, Mbak. Sekarang masih boleh makan dan minum. Ini ada beberapa berkas yang harus ditandatangani oleh keluarga pasien," ucapnya, kemudian memberikan satu map berisi berkas yang ia jelaskan, membukanya, lalu menunjukan di mana saja Rena harus tanda tangan.

"Jadi, sudah pasti besok ibu saya dioperasi ya, Sus?" tanya Rena memastikan. Suster itu mengangguk.

"Insya Allah, Mbak. Jadwalnya sudah ada, dan Dokter Fredy pun sudah siap.  Bu Lastri harus tenang jangan sampai tegang, apa lagi susah tidur nanti tensi darahnya jadi naik. Itu bahaya, Mbak. Tolong dibuat senyaman mungkin, ya!" pintanya, dibalas anggukan pelan oleh Rena.

Hingga larut malam Rena tidak bisa tidur, memikirkan nasib ibunya juga hal yang telah terjadi antara dirinya dengan Dokter Fredy . Rena tidak akan bisa melupakannya sampai kapan pun. Sempat terbersit dalan hatinya jika dia tidak akan menikah seumur hidup. 'Siapa lelakinya yang bisa menerima barang bekas untuk dijadikan istri? Apa lagi jika lelaki itu tahu kesucianku telah diperjualbelikan,' batinnya.

Karena lelah, tanpa sadar Rena tertidur di kursi, membungkuk, dengan kepala bersandar pada ranjang pasien. Begitu lelapnya hingga tanpa sadar sebuah pesan masuk ke ponsel bututnya.

Dering suara ponsel menggelitik hati Lastri untuk membukanya. Sebuah kecurigaan yang bersarang  membuatnya berani membuka ponsel anaknya. Dengan tangan gemetar dia memijit tombol pembuka pesan. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal membuat mata Lastri terbelalak.

[Aku puas dengan pelayananmu semalam, jika kamu membutuhkan uang,kau bisa datang lagi padaku. Ibumu sudah kupastikan bisa operasi besok.]

Tangan Lastri makin gemetar, jantungnya berdegup makin kencang, bulir-bulir di mataya ikut bergerombol keluar. Kekuatannya luluh, bagai kapas disiram hujan.

Braakk!!

Ponsel butut itu jatuh ke lantai. Membuat baterai serta penutupnya berhamburan. Suaranya mampu membuat Rena terjaga. Matanya yang merah menatap heran pada sang Ibu yang balik menatapnya nanar. Mulut Lastri bergetar tak mampu mengucap kata. Hanya derai air mata yang mampu mengungkap rasa. Rasa sakit, rasa perih, rasa malu dan amarah.

"Bu, kenapa?" tanya Rena heran. "Apanya yang sakit, Bu? Rena panggilkan perawat ya?" Lastri menggeleng kuat, air matanya makin tumpah.

"Perutnya sakit?" Rena kembali bertanya. Lastri pun kembali menggeleng, dia menunjuk dadanya. Dia menahan sesak dengan isak.

"Di sini sakitnya, Ren. Di sini!" Lastri menepuk dadanya. Rena meraih bahu ibunya yang berguncang karena tangis.

"Kau membuat ibu malu, Rena! Kau kira ibu tidak akan tahu dengan kebobrokanmu, hah?!" tuding Lastri. Kening Rena mengernyit tak paham.

"Maksud Ibu apa? Rena nggak ngerti, Bu .... "

"Kau jual diri untuk mendapatkan uang kan? Kau jual diri untuk menukar kesembuhan ibumu ini kan? Kau pikir ibu tak akan tau, Rena!

"Kau tidak akan mendapat apa-apa dengan mengorbankan dirimu untuk ibu, Rena. Kau tidak akan meraih surga, kau justru menarik ibu dan ayahmu ke dalam neraka!"

Mata Rena membulat. Dia syok karena ibunya tahu yang sebenarnya. Perlahan dia lepaskan tangan dari ibunya. Rena luruh bersimpuh di bawah brankar. Dia bersujud memohon ampun pada sang Ibu.

"Ampuni Rena, Bu. Rena sudah tidak memiliki cara lain untuk mendapatkan uang banyak dalam waktu sekejap. Rena khilaf, Bu. Rena takut kehilangan Ibu. Maafkan Rena ... Bu .... "

Tangis Rena akhirnya pecah. Melihat itu Lastri menurunkan kakinya ke lantai. Dia raih pundak sang anak yang masih bersujud.  Rena bangkit. Kedua pasang mata sembab mereka bertemu. Rasa sayang membuat mereka menghambur saling memeluk erat.

"Harusnya ibu yang minta maaf sama kamu, Nak. Ibu sudah menyusahkanmu. Ibu telah menyeretmu ke dalam lumpur yang dalam, dan membuatmu sesak sendirian.

"Jika tahu begini, ibu lebih memilih mati saja, Nak. Sakit ini telah membuatmu celaka. Ibu tak rela, Nak." Bahu Lastri berguncang. Rena pun menahan isaknya.

"Rena rela, Bu. Rena rela melakukan apa pun demi kesembuhan Ibu. Berjuanglah agar kita bisa bersama," pinta Rena makin mengeratkan pelukan. Lalu terasa olehnya sebuah anggukan. 

**

Selepas Zuhur, Rena menunggu ibunya di pintu keluar ruang operasi. Sedangkan Lastri sudah dibawa sejak satu jam yang lalu. Entah kenapa mereka sudah membawa ibunya beberapa jam sebelum jadwal yang telah ditentukan. Rena hanya bisa pasrah dan berdoa.

Dua jam kemudian beberapa suster keluar dari ruang operasi mendorong sebuah brankar. Rena yakin sekali jika itu ibunya. Segera dia hampiri.

"Suster, bagaimana kondisi ibu saya?" cecarnya penasaran.

"Operasinya berhasil, sekarang pasien mau dibawa ke ruang pemulihan. Nanti juga dibawa kembali ke ruang perawatan. Mbak tunggu saja!" jawab salah satu suster tanpa berhenti dahulu. Mereka terus mendorong brankar itu ke sebuah ruangan yang lain.

Rena menghela napas menghilangkan jengah. Berharap mulai hari ini nasib baik akan berpihak padanya. Rena memutuskan menunggu ibunya di luar. Setidaknya bisa menghirup udara segar. 

Dia baru teringat dengan ponselnya yang malam tadi terjatuh. Belum sempat dia nyalakan lagi. Ponsel jadul yang hanya bisa untuk telepon dan berkirim sms itu Rena betulkan posisi baterai, lalu menyalakannya.

Setelah menyala, dia buka folder pesan. Ada sebuah pesan dari nomor tak dikenal. Rena membuka, dan seketika matanya terbelalak. Tidak salah lagi, pesan itu pasti berasal dari Fredy, orang yang 'membelinya' semalam.

Tubuh Rena mendadak lemas. Dia pejamkan matanya lalu mendongak dan menbuang nafas kasar. 'Pantas saja ibu bisa sampai tahu,' batinnya. 'Bagaimana Dokter Fredy bisa tahu nomorku?' pikir Rena. Ah, dia baru ingat kalau dokter itu pasti melihat dari data pasien. Rena mencantumkan nomor ponselnya di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status