Share

Arlan Tercengang

Tiba-tiba Hesti muncul, ia sudah mengeluarkan motornya, Honda Scoopy yang ia beli dari hasilnya bekerja. 

"Ayo, Mah, sama aku aja, biarin aja mereka pada nggak berbakti, durhaka," katanya sambil menyalakan mesin motor.

Mas Arlan menghela napas berat, kemudian ia menarik pergelangan tangan sang mama.

"Ayo naik, aku yang anter," ajak Mas Arlan akhirnya mengalah. Hesti mendorong motornya lagi ke parkiran, sepertinya memang sengaja melakukan hal ini, memancing suamiku untuk mengantarkan Mama Desti.

Mas Arlan berbisik padaku, "Sabar ya, aku nggak lama kok." Kalau ia sudah memohon, luluh sudah hati ini tak bisa melarang meskipun dalam hati ini ada rasa kesal.

Mama menunggangi kuda besi roda dua, senyumnya sengaja ia tarik sambil melambaikan tangannya ke hadapanku. "Dah kamu ngepel dan nyapu aja di rumah!" pesannya saat Mas Arlan mulai menarik gas motor.

Aku terdiam sejenak, terdengar melekat di telinga suara tawa Hesti saat beranjak ke dalam. Namun, aku tetap berdiri menunggu Mas Arlan yang katanya tidak akan lama, karena pasar memang tidak jauh dari rumah kami, hanya berjarak satu kilometer.

Yang aku heran, Mbak Dila belum juga pergi dari rumahnya, mobilnya masih dipanaskan. 

Tidak lama kemudian, hujan pun turun, aku yang berdiri di depan garasi pun masuk, tidak jadi menunggu Mas Arlan di depan.

"Mas Arlan pasti kehujanan nganterin Mama, untung kami tidak jadi pergi, kalau tidak, aku yang lepek kehujanan," ujarku bicara sendirian di parkiran rumah yang ukurannya sebenarnya bisa untuk satu mobil. Kalau aku mau, bisa saja membawa satu mobil di antara tujuh mobil yang papa punya, sayangnya orang tuaku melarang itu.

Aku melihat ke depan, Mas Gerry masih berada di dalam mobil, suara sirine alarm sengaja dinyalakan seraya memamerkan pada semua orang bahwa mereka berdua memiliki mobil.

"Berisik sekali, norak!" gerutuku di depan dengan mulut sedikit maju. 

Mbak Dila yang berada di garasi melihat gerak-gerik mulutku bicara, dari depan sana ia menunjuk ke arahku. "Hei, ngomong apa kamu, Nilam? Bilang kami norak? Iri bilang, Bos!" Mbak Dila berteriak supaya aku mendengar umpatan darinya. 

"Aku cuma mau bilang, Norak dipelihara, Bos!" timpalku dari dalam parkiran sambil tertawa. Ternyata seru juga meladeni Mbak Dila, ia begitu emosional, dan mudah terpancing saat ada yang menghinanya. Padahal celetukanku biasa saja, justru ucapan dia yang pedas.

"Untung hujan, kalau nggak hujan, udah aku siram pakai air comberan, mulut adik ipar kok kayak nggak pernah sekolah!" hardiknya lagi membuatku semakin sulit untuk tidak tertawa, kali ini aku tertawa hingga menutup mulut.

"Hadeh, susah emang nimpalin ocehan orang susah yang baru ngerasain kaya raya, mulutnya kayak sampah!" timpalku sekali lagi.

Suara hentakan kaki terdengar dari arah belakangku, tiba-tiba Hesti keluar lagi menghampiriku.

"Ada apa sih kok teriak-teriak? Malu tahu sama tetangga," cetus Hesti seraya membela.

"Sudahlah, aku masuk dulu, hati-hati sampah masuk ya, ada sampah yang bisa bicara, pasti bisa jalan juga dong," sindirku sambil beranjak masuk ke dalam. Sebab, sudah enggan meladeni Mbak Dila.

Tidak kudengar lagi mobilnya Mbak Dila di depan. Hesti pun sudah masuk ke kamarnya. Aku tetap menunggu Mas Arlan yang sedang mengantarkan Mama Desti ke pasar. 

Ia menepati janji, pergi hanya sebentar, tidak sampai setengah jam mereka sudah kembali. Baju Mas Arlan lepek kehujanan, ia berganti pakaian lebih dulu barulah kami berangkat ke rumah orang tuaku.

"Yuk, sekarang kita pergi!" ajak Mas Arlan.

Mama muncul lagi dari dalam bersama Hesti menghampiri kami.

"Kalian itu mau ke mana sih? Penting amat ya sampai becek gini harus pergi?" Mama mulai menghasut Mas Arlan lagi.

Suamiku celingukan keluar rumah, kemudian merapikan rambutnya lagi yang basah. "Sudah berhenti kok hujannya, becek doang mah biasa. Kami mau ke ...." Mata Mas Arlan berputar, ia menatapku meminta persetujuan untuk bilang pada mamanya. Namun, aku hanya terdiam tak memberikan isyarat apa pun. 

"Mau ke mana, Arlan?" tanya Mama Desti kedua kalinya.

"Mau jalan-jalan aja, Mah. Kasihan Nilam nggak pernah kuajak pergi jalan,"  jawab Mas Arlan menutupi bahwa kami mau ke rumahku.

"Yaelah, manja banget sih, lagian belum punya mobil juga, jalan-jalan tuh pakai mobil, jadi kalau hujan nggak kehujanan, panas nggak kepanasan," sindir mama mertuaku seraya sedang membandingkan hidup Mas Arlan dengan Mas Gerry.

Mas Arlan tidak peduli dengan celaan sang mama. Ia tetap meraih punggung tangannya lalu mengecup dan berpamitan. 

Aku memakai helm yang sudah dipersiapkan, walaupun becek, aku sangat bahagia, inilah yang suamiku punya, kalau nanti ia mau menerima pemberian papa, tentu akan mengendarai mobil mewah jika mau ke mana-mana.

Pintu gerbang Mbak Dila kembali dibuka, Mas Arlan coba minggir karena mobil kakaknya mau lewat. Mbak Dila pun langsung naik ke dalam mobil dan mereka membuka kaca mobilnya.

"Tutup gerbang dong, becek kalau Mbak turun baju Mbak kena cipratan kubangan air," suruhnya dengan jari telunjuk, tanpa menggunakan kata minta tolong pula.

Kemudian mereka berlalu pergi tanpa mendengarkan jawaban kami mau atau tidak menutup gerbangnya. Aku yang sudah duduk di atas motor rasanya enggan sekali menutupnya.

"Aku tutup gerbang dulu, Mas," ucapku sambil menurunkan kaki. Namun, tangan Mas Arlan mencekalnya.

"Kamu di motor aja, biar aku yang tutup, kamu capek dari tadi sudah disuruh nunggu, sekarang harus turun dari motor untuk nutup gerbang," kata Mas Arlan membuatku tersenyum. Menggemaskan sekali sikapnya, selalu memperlakukan aku seperti ratu. 

Setelah Mas Arlan menutup pagarnya, ia kembali ke motor, kami langsung berangkat ke rumah papa. Posisi aku di belakang memeluknya dengan dagu menyanggah di bahu suami. Sebenarnya inilah enaknya naik motor, apalagi kami belum memiliki momongan, rasanya dunia milik berdua.

Tanganku berada di pinggang melingkari perutnya, terkadang saat lampu merah jari jemari Mas Arlan mengelus lembut tangan ini. Tidak ada yang patut aku keluhkan. Ipar dan mertuaku hanyalah kerikil yang mengganggu hubungan kami berdua.

Mas Arlan tipe laki-laki yang tidak mau membicarakan orang lain. Jadi, di sepanjang jalan, tidak ada pembahasan perlakuan iparku tadi, ia menerimanya dengan amat ikhlas. Mungkin di dunia ini, sangat langka suami seperti ini, tapi aku mendapatkannya dari laki-laki yang bernama Arlan.

"Kok jauh rumah Papa kamu, Sayang? Pantas saja mereka nggak pernah main ke rumah semenjak kita menikah," ucap Mas Arlan. Padahal bukan jauh, tapi aku sengaja memutar jalan supaya lama di jalan berpelukan dengannya.

"Sebentar lagi sampai kok, Mas, nanti depan lampu merah belok kiri, masuk Perumahan Griya Permata," kataku sambil menunjuk.

Mas Arlan sedikit menoleh, ia terkejut dengan apa yang aku lontarkan. "Perumahan Griya Permata? Itu kan perumahan para pengusaha besar?" Mas Arlan mulai mempertanyakan, padahal ini baru masuk lingkup perumahan, belum lihat rumah yang aku tunjuk nanti. Rumah terbesar di kompleks yang aku sebutkan, sebab kami membeli dua rumah dan direnovasi menjadi satu.

"Katanya mau tahu rumah Papa, ya udah ikutin aja," suruhku masih mendekapnya dari belakang.

Melewati pos pun satpam menundukkan kepalanya saat bertemu kami berdua, terutama aku, mereka jelas kenal.

"Kok aku deg-degan gini, ya. Berasa naik roller coaster," kata Mas Arlan. Kupegang dadanya, memang denyutan jantung Mas Arlan sangat cepat sekali, itu artinya suamiku tegang.

"Berhenti, Mas, ini rumahku," ucapku sambil menepuk pundaknya dan menunjuk rumah lantai dua yang lebarnya bak istana. 

Mas Arlan sontak melepaskan helmnya, dan menoleh ke arahku dengan sempurna. "Jangan becanda, Nilam," celetuk Mas Arlan dengan muka datar.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status