Share

Aku, Weni dan Bima

Dokter Aldo tidak menepati janjinya.

Pagi hari saat aku bangun tidur, yang kulakukan pertama kali adalah bergegas ke dapur. Aku berharap akan menemukan sosoknya tengah duduk di balik meja makan, tersenyum dengan wajah lelah. Tapi sayangnya harapanku buyar. 

Rasa khawatir kuat mencengkram hatiku. Bagaimana bisa seseorang tidak pulang ke rumah semalaman hanya karena pekerjaannya? Aku pernah membaca di koran lama perihal seorang dokter yang meninggal dunia karena kelelahan. Setelah merasakan kesedihan ditinggal teman baik, aku tidak akan mau lagi menerima kabar buruk dari orang sebaik Dokter Aldo.

"Mana Aldo?" tanya Bu Asih ketika aku sudah siap berangkat ke sekolah.

Aku menjawab sambil mengikat tali sepatuku. "Dokter Aldo pergi ke rumah sakit sejak dini hari tadi, Bu." Setelah itu aku berpamitan sesopan mungkin. Kucium pinggung tangannya seraya berkata, "Saya ke sekolah, Bu."

Wanita itu hanya melengos lalu berbalik badan, meninggalkan aku sendirian di teras.

Tidak ingin terlambat tiba di sekolah membuatku bergegas meninggalkan rumah itu. Sepanjang perjalanan ke sekolah aku berharap berpapasan dengan mobil Dokter Aldo. Sayangnya hal itu tidak terjadi. Setajam apa pun mataku berusaha mencari yang melintas hanya mobil-mobil lain yang serupa.

Saat angkot yang kunaiki berhenti di depan gerbang sekolah, aku baru menyadari tidak ada yang bisa kulakukan untuk memastikan Dokter Aldo baik-baik saja.

"Woi!" teriak Weni padaku dengan suara kencang. Di dekat pos satpam dia bercekak pinggang, menatapku dengan garang. "Masih hidup lo?"

Aku tersentak kaget mendengar suaranya yang melengking. Dia berjalan dengan tenang, menghampiriku yang berdiri membeku.

"Iya. Kenapa? Lo pikir gue bakal mati hanya gara-gara terkunci di toilet?" tanyaku pura-pura berani. "Gue nggak selemah itu."

Weni melotot. "Lu emang psikopat. Kalau gue, pasti langsung ke psikiater untuk minta obat anti depresi setelah membunuh teman baik sendiri."

Mendengar ucapan Weni, aku langsung membela diri. "Dari dulu gue udah bilang, bukan gue yang membunuh Gita. Gue justru yang membawanya ke rumah sakit. Nah, kalau lo? Apa yang lo lakukan ketika Gita dalam kondisi kritis? Jangan dijawab deh. Biar gue tebak. Lo pasti sedang nongkrong cantik di kafe."

BRAK! 

Tanpa kusangka, Weni punya keberanian menyerangku secara fisik. Dia menerjang tubuhku, Kami bergulingan di lantai. Dia  menjambak rambutku yang panjangnya hanya  sebahu. Aku berusaha melepaskan cengkraman jemarinya sambil memberontak ke segala arah. Suara jeritan ketakutan terdengar dari murid-murid yang menyaksikan perkelahian pagi itu.

Di tengah serangan yang membabi buta itu, pipiku tiba-tiba terasa perih. Sepertinya Weni berhasil mencakar wajahku. 

"Aaaawwww...." aku menjerit histeris. Sakit sekali!

Weni tersenyum sesudah membuat goresan tipis di wajahku. Begitu Weni berdiri, tiba-tiba muncul Bima di balik punggungnya.

Bima tidak menatapku lama-lama. Dia langsung menyerangku dengan menyiramkan air got di atas kepalaku. 

"Iiiiiihhhhh...." semua orang di sekitarku berteriak jijik.

"Bau!" kata salah satu dari mereka.

"Lo pulang aja gih!" teriak temanku yang lain.

Tubuhku gemetar hebat. Aku ingin menangis tapi aku tahan. Jangan sampai aku terlihat lemah.

Bel masuk berdering nyaring. Semua murid meninggalkanku. Begitu juga aku. Tapi aku tidak masuk ke dalam kelas. Melainkan berjalan menuju gerbang sekolah.

Pulang. Aku terpaksa pulang agar tidak menganggu konsentrasi teman-temanku yang lain. Tapi sayang, Bu Ayu, guru Bahasa Inggris, melihatku menunggu angkot di halte. Sepertinya dia hari itu datang terlambat sehingga kami bisa bertemu.

"Kamu mau ke mana, Marla?" tanya Bu Ayu.

"Pulang, Bu. Saya bau," jawabku.

"Jangan pulang dulu. Kenapa seragam kamu kotor begitu?"

"Ada kecelakaan kecil, Bu," dalihku setengah berdusta.

"Kamu nggak boleh pulang. Di sekolah ada seragam cadangan. Setahu saya, Pak Yoga -guru olah raga  punya sabun dan sampo di sekolah. Dia biasa mandi sebelum pulang. Dia pasti mau meminjamkan peralatan mandi miiliknya."

Aku mengangguk lesu. 

"Ayo masuk!"

Aku tidak punya pilihan lain. Kuikuti langkah Bu Ayu hingga ke ruang guru. Aku bersyukur, guru-guru tidak menghakimiku. Tanpa banyak tanya, Pak Yoga menyuruhku untuk memakai kamar mandi guru untuk membersihkan tubuh.

Selesai mandi, Bu Ayu menghampiriku. "Berikan ke guru yang sedang mengajar di kelasmu," katanya. "Kamu nggak boleh membaca apa yang saya tulis di kertas itu. Langsung serahkan aja ke guru kelas."

Aku mengangguk.

Sesampainya di kelas, aku langsung memberikan kertas dari Bu Ayu pada Pak Iwan yang sedang menjelaskan sejarah fine dining. Tanpa banyak tanya, aku diminta untuk duduk di bangkuku. 

Aku tahu Weni menatap heran padaku. Lalu tatapan itu berubah menjadi tatapan kebencian.

Ketika jam istirahat tiba, aku dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.  Perasaanku langsung tidak enak. Aku tahu, masalahku pasti akan dibahas dengan serius. Melihat latar belakang keluarga Weni dan Bima yang punya pengaruh di kota kecil kami, aku pasti akan dipojokkan. 

Begitu sampai di kantor Kepala Sekolah, ada ibunya Weni dan ayahnya Bima sedang duduk si sofa. Sepertinya kasus yang menimpaku tadi pagi membuat guru-guru melakukan penyelidikan kilat. 

Baru beberapa detik aku duduk di sofa, Weni dan Bima muncul. Mereka yang tadinya dengan penuh keberanian menyerangku mendadak seperti anak ayam yang bersembunyi di balilk sayap induknya.

"Mana orang tuamu?" tanya ayah Bima. Dia menatapku lekat-lekat. "Panggil sini! Jangan hanya kami yang disuruh datang."

Aku membalas tatapan ayah Bima dengan berani. "Saya anak yatim piatu. Saya nggak seperti Bima dan Weni yang melibatkan orang tuanya untuk menyelesaikan masalah," ujarku mantap.

"Lihat! Dia memang kurang ajar!" ujar ibunya Weni sambil mengarahkan telunjuknya padaku. "Weni nggak mungkin berbuat sesuatu tanpa alasan. Apa kamu menganggunya lebih dulu?"

Aku misuh-misuh dalam hati. 

"Memang dia yang memulai duluan, Mi," kata Weni mengadu.

Wah! Memang ngajak ribut nih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status