Share

Part (7)

KACAMATA BERDARAH

Written by David Khanz

Part 7

 -------------------- o0o --------------------

"Pak Rehan?"

Laki-laki itu terkejut. Sejenak dia mengucek-ucek kedua matanya, lalu fokus menatap sosok yang ada di depan. "Eh, i-iya. A-ada apa, Bu Lina?" tanyanya tergagap-gagap. "Aduh, maaf. S-saya … s-saya …."

Perempuan itu melirik sesaat, kemudian mengambil selembar kertas dan memberikannya pada Rehan. "Mengenai obrolan kita kemarin, saya beserta direksi perusahaan sudah melakukan rapat tertutup tentang kinerja pegawai, termasuk Anda tentunya, dan hasilnya memutuskan bahwa—"

"Saya dipecat, 'kan, Bu?" tanya Rehan lirih.

Lina menggeleng. Katanya kemudian, "Kami paham, kadang-kadang rutinitas yang padat serta tuntutan pekerjaan yang berkesinambungan, bisa membuat seseorang merasa bosan dan butuh sedikit refreshing untuk mengembalikan mood dan semangat kerja. Saya pribadi, juga sering merasakannya, Pak."

"Saya di-skorsing?"

"Pak Rehan belum membaca suratnya," ujar Lina seraya menunjuk lembar surat di tangan Rehan. "Silakan dibaca dulu, Pak."

"O, iya. Saya lupa. Maaf, Bu."

Perlahan-lahan Rehan membaca kalimat demi kalimat surat yang dia pegang dengan teliti. Senyum kecutnya terulas seketika usai menyelesaikan bacaan hingga kalimat terakhir di bawah surat.

"Anda adalah termasuk pegawai perusahaan yang baik, tekun, dan sudah banyak memberikan kontribusi cukup besar bagi perusahaan," kata Lina di sela-sela keheningan di antara mereka. "Mohon maaf jika kemarin saya bersikap agak sedikit emosional dan kurang profesional. Tapi walau bagaimanapun juga, peraturan tetaplah peraturan. Saya harus fair terhadap seluruh pegawai, termasuk Anda tentunya, dalam menerapkan aturan perusahaan. Jadi …."

"Saya mengakui bersalah, Bu," tukas Rehan tertunduk. "Saya terima keputusan yang diberikan Ibu terhadap saya."

"Saya berterima kasih atas pemakluman Anda, Pak Rehan," balas Lina selanjutnya. "Tapi … poin sebenarnya bukan itu."

Rehan mengangkat kepalanya. Menatap mata indah perempuan tersebut dengan tajam, lantas turun ke hidung, dan terakhir pada rekahan bibirnya yang merah. Terutama saat dia berbicara kata per kata. Masih tetap memesona, pikir laki-laki itu, belum banyak berubah dari dulu sewaktu masih bersama-sama. Bahkan dalam lamunannya tadi, Lina tetap menggairahkan. Kecupan itu, pagutannya, serta ujung lidah yang meliuk-liuk lincah membelit seksi, bermain-main hangat di dalam rongga mulut Rehan ….

"Silakan ditandatangani suratnya, Pak," ujar Lina membuyarkan bayangan binal Rehan tentang perempuan tersebut.

"Oh, iya."

Rehan segera menandatangani Surat Peringatan tadi, lantas menyerahkannya kembali pada Lina. "Saya memohon maaf atas penurunan kinerja saya akhir-akhir ini, Bu. Saya rasa memang sudah sepatutnya Ibu memberikan surat itu pada saya. Tapi saya berjanji akan berusaha lebih baik dan—"

"Pak Rehan baik-baik saja, 'kan, Pak?" Tiba-tiba perempuan itu bertanya. " … atau mungkin Bapak butuh istirahat beberapa hari ke depan."

"Tidak apa-apa, Bu. Saya baik-baik saja, kok."

"Saya bisa bantu Bapak jika Bapak membutuhkan cuti kerja."

"Lin …."

"Maaf, Pak Rehan," balas Lina kikuk seraya memasukkan surat yang barusan ditandatangani oleh Rehan.

"Maaf, maksud saya … Bu Lina."

"Saya hanya mencoba membantu, Han … eh, Pak Rehan."

"Bu Lin?" Rehan mengernyit. Dia ingin memastikan pendengarannya masih normal. Baru saja perempuan itu memanggil namanya langsung, tanpa embel-embel 'Pak' seperti biasa. Dia yakin Lina selalu berusaha bersikap profesional selama berada di tempat kerja. "Barusan Ibu—"

"Maaf, Pak Rehan," tukas Lina cepat-cepat mengalihkan pembicaraan. "Saya masih ada banyak pekerjaan. Jika ada hal yang ingin disampaikan, Bapak bisa ajukan lain waktu."

Rehan paham, itu adalah sebuah permintaan agar dia segera meninggalkan ruangan tersebut secepatnya. "Terima kasih, Bu Lina," kata lelaki tersebut seraya membetulkan letak kacamata antik yang dia kenakan. "Saya izin kembali ke ruangan saya." Perlahan-lahan Rehan bangkit dari kursi, memutar badan, lantas mulai melangkah meninggalkan ruangan. Hati kecilnya berharap, Lina memanggil kembali ….

"Rehan." 

Terdengar suara perempuan itu menyebut namanya. Langkah Rehan terhenti. Diam di tempat, menunggu hingga sosok perempuan itu datang mendekat dari arah belakang.

"Rumah tanggamu baik-baik saja, 'kan, Rehan?"

Laki-laki itu tidak lekas menjawab. Dia masih berdiri di tempatnya semula tanpa menoleh sedikit pun. Tetap menunggu sampai sebuah usapan lembut mulai hinggap di bahunya. Rehan memejamkan mata. Berharap sekali bahwa apa yang sedang terjadi sekarang ini bukan lagi sebuah halusinasi sebagaimana awal-awal tadi masuk.

"Bu Lina bertanya tentang Shanti?" tanya Rehan masih dengan mata terpejam. 

Terdengar langkah ujung sepatu memutari laki-laki tersebut, disusul dengkus berat disertai usapan lembut berlanjut hingga ke bagian dadanya.

"Aku bertanya tentang keadaanmu, Han."

Rehan membuka mata dan mendapati sosok cantik itu tengah berdiri persis di depannya. Mendongak disertai tatapan tajam dan decak bibir yang sengaja tergigit penuh pesona.

"Tentu saja aku dalam keadaan baik, Bu Lin. Apa maksud Ibu dengan pertanyaan tadi?" tanya Rehan mencoba menahan diri dari letupan-letupan kecil yang mulai menggerogoti dinding jantungnya. 

Perempuan itu menggeleng.

"Enggak, Han. Aku tahu kamu bohong," balas Lina pelan hampir menyerupai bisikan. "Lihatlah kondisimu sekarang. Ini yang kamu sebut baik-baik saja itu?"

"Kamu gak bermaksud menggodaku, 'kan?"

"Kamulah yang selama ini selalu menggodaku, Rehan," jawab Lina semakin mendekat. "Aku sudah gak tahan harus terus berpura-pura gak lagi peduli sama kamu."

"Maksud Bu Lina?"

Perempuan itu lantas mengusap wajah Rehan diiringi tatapan penuh harap. Ucapnya kemudian, "Kamu tahu alasan aku masih sendiri sampai saat ini?" Laki-laki itu menggeleng. "Karena aku masih berharap sama kamu, Han," imbuh Lina kembali. "Tiba-tiba saja rasa cinta itu datang lagi, Han. Aku gak tahu kenapa, tapi ini benar-benar sangat menyiksaku."

'Ya, Tuhan!' jerit Rehan di dalam hati seraya memejamkan mata. 'Apakah ini masih dalam rangkaian halusinasiku? Nyatakah ini? Aku masih menyangsikannya dan bahkan hampir selalu tidak bisa membedakan antara keduanya.' Kemudian perlahan-lahan dia melepaskan kacamatanya. 'Apakah karena benda ini, otakku sering dirasuki mimpi-mimpi berjalan itu?'

"Rehan …."

"Kamu sungguh-sungguh, 'kan, dengan ucapanmu itu, Bu Lin?" tanya Rehan ingin memastikan sekali lagi.

Jawab Lina, "Tentu saja, Pak Rehan. Kalau Anda mau, hari ini pengajuan izin cuti Anda bisa segera saya bantu proses."

"Apa?" Rehan membuka matanya. Mencari-cari sosok Lina di depan, tapi kenyataannya perempuan itu masih duduk anggun di belakang meja kerja seperti tadi.

Halusinasi lagi?

Benar-benar gila, pikir Rehan. Beberapa kali dia hampir terjebak dengan adegan-adegan fiktif yang terasa seperti nyata itu. Obrolan dengan Arga waktu lalu di ruang pantri dan kini terjadi kembali pada Lina. Apa sebenarnya makna dari semua ini? Jahanam!

"Elu nanya seolah-olah gua baru ngomong sama elu. Ada apa, sih, ama elu, Han?" tanya Arga begitu meminta kabar kebenaran akan berita kematian Vikram semalam. "Waktu pertama kali masuk, 'kan, udah gua bilang. Elu lupa atau—"

"Benar, Ga. Gua butuh banget cuti," tukas Rehan akhirnya. "Gua pengen istirahat sementara dari kesibukan kerja gua."

Arga mengerutkan kening.

"Elu yakin?"

Rehan mengangguk.

"Oke, Han," kata Arga kembali. "Gua bikinin surat pengajuannya, ya? Gua pikir, elu emang butuh refresing, sih."

"Terserah, deh."

Bahkan hari itu, Rehan terpaksa membonceng bersama Panji. Motornya sendiri dititipkan di kantor. Dia benar-benar sulit mengendalikan pikirannya secara normal. Mendadak semuanya tampak seperti rangkaian reka adegan di dalam ruang mimpi pribadi. Lupa akan diri serta ….

"Masuklah dulu, Pak," ajak Panji begitu tiba di rumahnya. "Saya buatkan kopi dulu, ya, biar Bapak agak segeran dikit."

"Makasih, Mas," balas Rehan seraya melangkah memasuki rumah kontrakan anak muda tersebut. "Hari ini saya jadi ikut merepotkan Mas Panji."

"Ah, enggaklah, Pak," ujar Panji diiringi senyumannya. "Saya malah senang, akhirnya Bapak bisa mampir ke tempat saya ini. He-he."

Anak muda itu pamit sebentar ke belakang dan tidak berapa lama kembali dengan dua gelas kopi di tangannya.

"Makasih, Mas."

"Silakan diminum, Pak," kata Panji seraya duduk berhadapan di kursi. "Maaf baru ini saja yang bisa saya sajikan. Maklum, Pak, bujangan berat. He-he."

"Gak apa-apa, Mas. Saya malah senang bisa berteman dengan orang sebaik Mas Panji ini."

"O, ya?"

Rehan tersenyum sembari menyeruput nikmat kopi yang masih mengepulkan uap panas tersebut. "Iya, Mas. Sejak kejadian malam yang lalu itu, Mas Panji gak pernah berhenti membantu saya."

"Aahhh, Bapaakkk …." Panji tersipu-sipu. "Itu hanya hal kecil saja, Pak. Gak perlulah diingat-ingat kayak begitu. Lagian, seperti yang pernah saya bilang, kita tetanggaan jauh, Pak. He-he."

Mereka berdua pun asyik mengobrol di ruangan itu. Ditemani kopi kental dan kepulan asap rokok membubung memenuhi langit-langit.

Beberapa kali Rehan mendapati Panji tengah menatapinya di saat keduanya terdiam. Seketika itu pula anak muda tersebut langsung mengalihkan pandangan. 

"Sepertinya semakin ke sini, kita semakin akrab, ya, Mas," kata Rehan tiba-tiba. 

Panji langsung menjawab, "Mungkin … karena kita ini adalah sama-sama orang pilihan, Pak."

Rehan terkejut. 'Orang pilihan? Sepertinya aku pernah mendengar kalimat itu,' membatin laki-laki ini sesaat. 'Apakah pemuda ini … oh, tidak! Jangan-jangan dia ini ….'

"He-he."

BERSAMBUNG

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status