SEPASANG manusia yang tengah terperangkap di hutan itu pun makan malam bersama. Diiringi orkestrasi suara aneka hewan malam yang begitu riuh rendah, terdengar sangat menenteramkan hati.
Keduanya makan tanpa berbicara. Tiara sudah mulai membiasakan diri dengan menu apa adanya. Yakni hanya berupa ikan bakar dan talas, yang kali ini direbus. Abdi juga merebus beberapa sayur-sayuran entah apa.
Tiara sempat ragu-ragu hendak ikut menyantap sayur-sayuran tersebut. Tapi saat melihat Abdi begitu lahap menikmati aneka rebusan hijau itu, mau tak mau ia pun jadi penasaran.
"Ini semacam sayur-sayuran hutan gitu ya?" tanyanya sembari menunjuk ke piring yang berisi rebusan dedaunan hijau.
Abdi telan makanan di dalam mulutnya terlebih dahulu baru menjawab, "Iya, Bu. Sebenarnya ini sayur-sayuran biasa sih, cuma mungkin tidak banyak yang memasak dan memakan ini. Jadinya tidak banyak yang kenal sehingga dianggap tumbuhan liar."
"Memangnya daun apa saja ini?" tanya Ti
SEPASANG mata Tiara membulat besar. Sedangkan keningnya berkerut dalam-dalam. Ekspresi wajah gadis itu campuran antara heran dan gusar karena keinginannya dicegah begitu saja.“Kenapa memangnya?” tanya Tiara kemudian.“Maaf, Bu,” sahut Abdi buru-buru. “Tunggu dulu setidaknya satu jam, Bu. Kan Ibu barusan makan tadi.”Tiara menghela napas panjang. Benar juga kata Abdi. Setelah makan jangan langsung berbaring. Tiara tahu betul itu. Namun tak urung ia merasa dongkol juga pada dirinya sendiri karena hal sesepele itu pun sampai harus diingatkan oleh sopir perusahaannya.Dengan malas-malasan Tiara akhirnya duduk bersandar di tiang pondok. Dari wajahnya yang terlihat kuyu dan matanya yang sudah redup, jelas gadis itu benar-benar mengantuk.Sementara Abdi membereskan sisa-sisa makanan dan peralatan makan mereka berdua. Setelah itu pemuda tersebut menghilang, agaknya ke sungai. Saat kembali, ia mengompres kaki Tiara yang
KICAUAN burung terdengar sangat riuh memenuhi udara. Saling bersahut-sahutan satu sama lain. Begitu beraneka macam suara itu, menandakan betapa banyaknya jenis burung yang terdapat di dalam hutan tersebut.Suara-suara ramai bermacam-macam burung itulah yang menjadi alarm bagi Tiara pagi itu. Membuat gadis tersebut terbangun dari tidur malamnya yang sangat nyenyak. Sampai-sampai ia sama sekali tak merasakan dinginnya udara akibat kepungan embun.Seperti kemarin, Tiara mendapati dirinya tengah sendirian di dalam pondok. Abdi entah berada di mana. Mungkin pemuda itu sedang mandi, mungkin juga malah mencari ikan di sungai dan aneka bahan makanan lain untuk menu mereka hari itu.Berpikir sampai di sana Tiara langsung lemparkan pandangannya pada api unggun di muka pondok. Tak ada nyala api. Api unggun itu hanya berupa tumpukan bara yang menyala merah. Itu artinya Abdi sudah lama pergi meninggalkan pondok."Jam berapa ini?" desah Tiara sembari angkat tubuhnya da
TERNYATA kalau dipakai berdiri, rasa sakit pada kaki Tiara yang semula hanya terasa samar menjadi bertambah-tambah. Itu artinya, kakinya tersebut masih belum dapat menahan beban berat. Belum kuat dijadikan sebagai tumpuan. Kalau hanya menapak saja sudah tidak terlalu bermasalah."Ah, ternyata benar kata Abdi semalam. Kakiku baru akan sembuh dalam dua-tiga hari lagi," desah Tiara dengan nada kecewa.Gadis itu lantas termenung. Pandangan matanya secara tak sengaja mengarah pada perapian di muka pondok. Dari awalnya hanya menerawang dengan tatapan kosong, kening Tiara jadi berkerut ketika melihat ada sesuatu yang tak biasanya di sana.Di saat bersamaan Abdi muncul. Di tangan pemuda itu terdapat rupa-rupa bungkusan daun. Entah apa saja isinya, mungkin saja bahan makanan yang baru saja diambilnya entah dari mana."Ibu sudah bangun dari tadi?" tanya Abdi begitu melihat Tiara.Yang ditanya hanya mengangguk samar. Cepat ia berusaha menyembunyikan kernyitan
SESUAI dugaan Abdi, Tiara memang sangat menyukai sukun bakar tersebut. Gadis itu menyantap bagiannya dengan lahap, nyaris tak menyisakan apa-apa selain kulitnya yang keras. Bagi Tiara, daging buah sukun jauh lebih lembut ketimbang talas. Teksturnya juga mirip roti. Tak heran bila orang Barat menyebutnya sebagai breadfruit, yang secara harafiah berarti buah roti. Aroma yang menguar dari buah itu pun sangat wangi. Tak pelak, menu sarapan pagi itu menjadi yang ternikmat bagi Tiara sejauh ini. Terlebih Abdi juga membawakannya begitu banyak buah duwet, yang langsung dihadapnya sendirian selepas makan besar. "Terima kasih banyak ya, Abdi. Makan pagi ini sangat nikmat sekali," ujar Tiara. Gadis itu tak dapat menahan kegembiraan hatinya. Sebab untuk kali pertama semenjak terperangkap di hutan ini, baru kali itulah ia merasakan nikmatnya makan. Sebelum-sebelumnya si gadis makan hanya karena memang harus makan. Tidak lebih. Abdi menanggapi ucapan terima
HARI kemudian berlalu sedemikian cepat. Tiara menghabiskan sepanjang siang itu dengan duduk-duduk di atas lantai pondok. Jika bosan ia pun berbaring, sekedar meluruskan tulang punggung. Lalu kali lain duduk berjuntai di tepian pondok. Sementara Abdi jauh lebih sibuk. Pemuda itu mengisi waktunya dengan membuat benda apa saja yang sekiranya mereka perlukan selama masih tinggal di dalam hutan tersebut. Entah sudah berapa lama pemuda itu duduk di atas batu besar di sebelah api unggun. Dari tadi ia tampak menganyam tanaman sulur. Hanya tangannya yang terus bergerak-gerak. Sedangkan mulutnya terkunci rapat. "Kaki Ibu masih terasa sakit?" Pertanyaan Abdi yang begitu tiba-tiba membuyarkan lamunan Tiara. "Mmm, sudah agak mendingan. Tapi, tadi aku coba untuk berdiri masih sakit banget," sahut Tiara setelah berhasil menguasai rasa terkejut. Tanpa sadar Tiara telah berubah pikiran. Sebelumnya ia hendak menyembunyikan keadaan kakinya yang masih sakit. Gadi
HARI kedua di dalam hutan dihabiskan Tiara dengan malas. Gadis itu hanya duduk-duduk di atas lantai pondok, sesekali merebahkan diri jika merasa punggungnya capai. Atau duduk menjuntai di tepian pondok. Sembari bermalas-malasan, direktur muda itu membayang-bayangkan apa yang sedang ia lakukan sekarang andai saja tidak mengalami kecelakaan. Mundur lebih jauh, andai ia tidak memergoki Ryan sedang mencumbu Anita. Andai kejadian celaka itu tak terjadi, pagi ini seharusnya Tiara sedang melakukan pertemuan dengan pemilik Kendal City Group. Ini sebuah grup bisnis besar di kota kecil berjuluk Kota Santri tersebut. Sebuah pertemuan formalitas saja. Sebab perusahannya sudah mencapai kesepakatan dengan Kendal City Group untuk mengelola areal parkir Kendal City Mall dan juga Kendal City Amusement Park. Keduanya merupakan mal terbesar, serta wahana permainan terlengkap di pusat keramaian Kabupaten Kendal. Apa boleh buat, kesepakatan bernilai milyaran rupiah itu pu
TIARA terus bersungut-sungut sendiri. Entah seberapa lama gadis itu menuntaskan kemangkelannya begitu rupa. Sampai akhirnya ia sadar tengah seorang diri di dalam pondok."Ke mana Abdi?" tanyanya sembari memandang sekeliling. Tak ada siapa-siapa di sana.Seketika rasa jeri menyergap Tiara. Walaupun sejauh ini tidak pernah mengalami kejadian buruk, tapi seorang diri di tengah hutan belantara seperti ini tentulah bukan hal yang menyenangkan.Tiara lalu memperhatikan api unggun di muka pondok. Perapian itu hanya tampak sebagai tumpukan bara memerah, tanpa api sedikit pun. Juga tak ada ranting dan kayu tertumpuk di atasnya.Itu artinya Abdi sudah pergi sejak lama, sehingga kayu yang terakhir kali dimasukkan pemuda itu ke dalam api unggun sudah terbakar habis pula. Pertanyaannya, sudah seberapa lama? Dan ke mana perginya?"Ibu mencari saya?"Tiba-tiba saja suara Abdi terdengar. Tiara sampai terlonjak dari duduknya ketika mendengar suara pemuda itu
SETELAH mencicipi cempedak yang dibawa Abdi, Tiara sepakat dengan pemuda itu bahwa rasa buah tersebut memang lebih nikmat dibanding nangka. Lebih manis, lebih lembut daging buahnya, serta lebih harum aromanya.Tiara sudah pernah memakan buah nangka. Beberapa kali dalam bentuk buah segar, tapi yang lebih sering sebagai makanan olahan. Entah itu kolak atau es buah.Semanis-manisnya nangka, seingat Tiara belum pernah ada yang semanis cempedak yang saat ini ia santap. Dan nangka kalau sudah terlalu matang, terlalu lembut dan benyek daging buahnya, malah jadi tidak enak."Kamu kok bisa dapat cempedak ini sih?" tanya Tiara sembari terus melahap buah di hadapannya."Tadi saya mencium baunya, harum sekali. Ternyata pohonnya juga tidak terlalu tinggi, jadi langsung saja saya panjat," jelas Abdi.Tiara manggut-manggut. Dalam hatinya mengakui jika kemampuan bertahan hidup Abdi di dalam hutan dapat diandalkan. Dan beruntungnya lagi, mereka terperangkap di dala