Share

4. Situasi yang Dihindari

"Keluarga pasien atas nama Melati Putriyanne!"

Bu Salma diikuti Rosana, Widuri, Johan dan Lukman berderap menuju asal suara yang memanggil.

"Bagaimana dengan Melati dan anaknya, Bu Bidan?" Lukman to the point bertanya pada petugas yang memanggil mereka.

"Bayinya aman, namun Bu Melati masih dalam kondisi kritis saat ini, dia ingin bicara empat mata dengan yang bernama Rosana.

Apa orangnya ada?"

Wajah Lukman pias seketika, dia begitu takut akan terjadi hal - hal yang buruk pada Melati.

"Saya Rosana!"

"Segeralah masuk, Bu

Anda sudah ditunggu oleh Bu Melati."

Petugas medis itu lanjut membawa Rosana menuju bed tempat Melati terbaring tak berdaya.

"Mel! Ya Tuhan!

Sudah, jangan.bicara apa-apa lagi, istirahat saja dulu," titah Rosana kala melihat wajah pucat Melati pasca melahirkan.

Melati hanya bisa menangis, tak sepatah kata pun yang sanggup ia ucapkan selain kata maaf yang dilafazkan terbata.

Kondisinya terus menurun hingga kembali kehilangan kesadaran.

"Dia bicara apa?" tanya Lukman pada Rosana yang hanya menjawab dengan gelengan kepalanya.

"Hanya kata maaf yang sanggup ia ucapkan ... ntah untuk kesalahan yang mana, aku juga tak mengerti."

Keduanya masih berbincang kala kembali seorang nakes berlari terbirit-birit dan mengabarkan kondisi Melati kembali kritis dan meminta Rosana kembali masuk mendampinginya.

"D ... DNA," ucap Melati dengan lirih sebelum akhirnya menutup mata dan tak pernah membukanya kembali.

Tadinya Bu Salma akan membawa bayi malang itu untuk diasuh di pantinya. Namun setelah berdiskusi singkat akhirnya Lukman dan Rosana sepakat untuk membawa pulang putri mendiang Melati dan mengasuhnya seperti anak sendiri.

Selepas melahirkan putra sematawayangnya Rosana memang tak dapat melahirkan lagi karena rahimnya yang terpaksa harus diangkat demi menyelamatkan nyawanya.

Tumor yang bersemayam di peranakan wanita itu tidak memberi banyak opsi hingga pengangkatan rahim itu tak dapat lagi dielakkan.

Keputusan mengangkat putri Melati dirasakan paling tepat saat itu. Bukankah Melati adalah sahabatnya? Lukman bahkan pernah begitu mencintai wanita itu.

Meski awalnya Bu Salma tampak ragu melepas bayi mungil itu, Namun akhirnya ia merelakannya juga karena kondisi panti yang memang tak selapang dulu dari sisi pendanaan.

"Kalau kalian keberatan, aku yang akan mengasuh bayi Melati!" Johan maju menawarkan diri.

"No way, Jo! Kita sudah punya Raya dan Rajendra. Biar mereka saja ... toh Rosana sudah tidak bisa melahirkan lagi, anggaplah itu rezeki mereka yang datang melalui musibah yang menimpa Melati," cetus Widuri menolak itikad Johan untuk mengambil hak asuh atas bayi mendiang Melati.

Lukman dan Rosana yang pada akhirnya menerima hak asuh bayi itu. Mereka menamainya Mentari Paramita. Mita, demikian mereka memanggilnya.

Flashback off

Mengapa Melati menyebut DNA? Apakah ia bermaksud mengatakan tes DNA?

Antara putrinya dengan siapa?

Siapa tersangka ayah dari putri cantiknya yang kini telah menjadi putri angkatnya?

Apakah suaminya?

Mungkinkah Mas Lukman? pikirannya berkecamuk, hatinya kembali resah setelah berpuluh tahun mengabaikan segala fakta yang berkelindan di depan mata tentang betapa sayangnya sang suami pada putri angkatnya.

Lukman bahkan tega menolak putra kesayangannya untuk menikahi putri angkatnya nan jelita.

Aneh.

Kalau memang sayang, bukankah menikahkan Arya dan Mita justru akan semakin mengokohkan kedudukan sang putri? Mita bahkan secara otomatis menjadi mahromnya. Kenapa justru sibuk menjodohkan cucu-cucunya? Rosana sungguh tak habis pikir dibuatnya.

Haruskah ia bicara pada putranya? Ia mulai berpikir ke arah yang sama dengan apa yang kerap dicelotehkan putranya, 'Mita adalah putri ayahnya dengan teman wanitanya itu_ wanita yang pernah ayahnya cintai di masa lalu'.

Flashback off

***

Anye menatap pria yang sedang bicara padanya melalui layar ponselnya.

Gadis yang juga telah berganti pakaian dengan gaun tidur satin berwarna putih gading itu kini tengah mengaplikasikan skincare mahalnya ke seluruh tubuh.

Sesekali mata indahnya berpindah dari layar ponsel ke pergerakan jari jemarinya yang lincah.

"Opa maunya Mas Den itu meminta restunya dulu sebelum nembak melamarku," adu sang jelita.

Denis menghela napasnya dengan wajah yang kentara nampak lelah. Malam ini ia memang agak lebih sibuk dari biasanya.

Ia menggantikan ayahnya mendampingi atasannya yang tak lain adalah calon mertuanya karena sang ayah diutus menghadiri pertemuan di luar kota oleh atasannya itu.

Denis memang sering ditugasi mendampingi Arya menggantikan ayahnya, makanya sang CEO cukup familiar dengan sosok calon menantu.

"Ya sudah, nanti aku usahakan agar bisa ketemu Opa Lukman dan memintai restunya." ujar Denis seraya menganggukkan kepalanya dengan mata yang mulai kriyipan.

"Ya sudah Mas, kamu ngantuk banget kayaknya. Besok lagi sambung telponannya.

Istirahat dulu ya," titah Anye yang tak tega melihat mata lelah kekasihnya. Sesi video call pun diakhiri lebih cepat dari biasanya yang berlanjut hingga sleep call. Denis memang seperhatian itu pada gadisnya.

Anye meletakkan ponselnya di nakas. Rasa haus seketika menyergapnya. Diraihnya tumbler yang ternyata hanya menyisakan sedikit air. Gadis itu pun bergegas keluar kamar menuju dapur yang biasanya sudah sepi jelang tengah malam begini.

Anye bergerak perlahan dengan satu tangan membawa tumbler kosong miliknya. Bertelanjang kaki gadis itu melintasi ruang tengah yang telah gelap gulita.

Jantungnya hampir saja copot ketika mendapati sesosok tegap yang tengah duduk menyendiri di sana. Tampaknya sosok itu juga mengalami keterkejutan yang sama kala melihat kehadiran Anye yang hanya mengenakan gaun tipis selutut bertali spageti yang bergerak anggun ke arahnya.

"Anye ..." Lirih terdengar suara menggumamkan nama sang gadis.

"Mas Anjas?

Sedang apa di sini?" todong sang gadis yang langsung mengenali sosok yang menggumamkan namanya dengan suaranya yang so manly.

Suara yang kerap memicu jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.

Anjas bergerak mendekati Anye yang bergeming seketika.

Mata sang lelaki memindai dengan detail entitas yang kini berada tepat di hadapannya. Keduanya nyaris tanpa jarak kini.

"Kamu mau kemana?"

"Ke dapur, Mas

Mas mau aku buatin kopi?"

"Jangan, nanti aku tambah gak bisa tidur."

"Mas menginap di sini?"

"Aku belum putuskan ... "

"Mas mengkhawatirkan sesuatu?"

Pemuda itu merapikan rambut wanitanya dengan lembut. Ia selipkan helaian rambut itu ke telinga sang gadis yang memilih untuk menunduk menghindari tatapan intens kakak sepupu yang semula tinggal di bawah satu atap yang sama dengannya, sebelum akhirnya memutuskan untuk tinggal di luar mansion keluarga mereka.

"Sudah VCannya?" Anjas tak menjawab pertanyaan Anye, ia justru lebih tertarik dengan aktivitas VC adik sepupunya.

"Mas Den mengantuk, kita gak ngobrol banyak."

"Kamu VCan sama dia mengenakan gaun ini?" selidik Anjas dengan tatapan tajam menghujam.

Anyelir menghela napasnya.

"Aku hanya kasi liat dia wajahku, Mas.

Dia bahkan gak tau aku pakai baju apa nggak," jawab Anye sembari membuang tatapan.

Giliran Anjas yang menghela napasnya.

Suasana seperti ini yang tidak sanggup ia hadapi jika masih harus bertahan tinggal bersama di mansion Lukman Bagaskara.

Momen di saat hanya ada dia dan gadis kesayangannya terlibat dalam konversasi random yang tak jarang menghadirkan topik vulgar yang menggelegakkan darahnya tanpa terkendali. Belum lagi pilihan outfit gadis itu yang tak jarang menumpulkan kewarasannya.

Anjas sadar imannya sangatlah lemah, terlebih saat dihadapkan pada semerbak keharuman yang menguar dari tubuh jelita itu kala menyapa penciumannya.

"Jangan pernah perlihatkan dirimu dalam keadaan seperti ini pada lelaki manapun selain pada suamimu kelak, Nye

Kamu pakai parfum apa sih? Kamu tidak pakai parfum juga sudah wangi.

Kamu sadar tidak sih, betapa menggodanya kamu?"

TBC

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status