Share

Bab 2 Mulai Mencari

Beberapa hari berlalu, Arjuna selalu menyempatkan diri untuk mendatangi kediaman Meysa. Namun ia selalu mendapat situasi yang sama. Tidak bisa menemukan keberadaan Meysa beserta keluarganya.

Pria itu begitu frustasi, penampilannya acak-acakan. Ia selalu kurang tidur, tengah malam baru meninggalkan rumh Meysa. Sampai di rumah pun tidak langsung tidur. Duduk di balkon sambil menyesap rokok sampai habis beberapa puntung.

"Arjuna, boleh papa masuk?" seru seorang pria paruh baya di balik pintu kamarnya.

Arjuna hanya tinggal bersama sang papa. Mamanya meninggal ketika ia masih berusia delapan tahun. Dan sampai sekarang papanya tidak pernah berniat mencarikannya ibu sambung. Sungguh, papa yang hebat bisa menjadi ayah sekaligus ibu untuk putranya.

"Masuk aja, Pa!" teriak Arjuna mematikan puntung rokok terakhirnya.

Suara pintu terbuka, lampu kamar pun dinyalakan. Sedari tadi hanya cahaya rembulan yang menerobos masuk ke kamar pria itu. Sengaja memang, seperti hidupnya yang kini menjadi gelap.

Papa Andreas kini berdiri di hadapan Arjuna. Kedua tangannya saling menggenggam di punggung. Ekor matanya menilik beberapa puntung rokok dalam asbak. Selama ini Arjuna tidak pernah merokok.

"Sejak kapan kamu mulai merokok?" tanya Papa Andreas mendaratkan tubuh di sofa.

"Baru, Pa," akunya singkat.

"Masalah sebesar apa yang menghinggapimu? Sampai berani merusak tubuhmu?" sindir sang papa.

Arjuna menundukkan pandangan, ia menumpukan kedua lengan di atas lututnya yang menekuk. "Meysa ...."

"Kenapa dengan Meysa?" tukas Papa cepat. Ia khawatir karena memang sudah menyayangi gadis itu seperti anak kandungnya sendiri.

"Meysa pergi ninggalin Arjuna," ucapnya pelan semakin menenggelamkan pandangannya.

"Apa? Ninggalin yang bagaimana? Kamu punya salah apa sama dia?" pekik Papa Andreas menatap anaknya tajam.

Ia tahu bagaimana sifat dan perangai gadis cantik itu. Karenanya, single father itu menimpakan kesalahan pada anaknya. Meysa pergi pasti ada alasan yang jelas.

"Anak papa itu Meysa apa Arjuna? Kenapa memojokkanku? Bahkan aku tidak tahu punya salah apa. Tiba-tiba dia pergi tanpa berkata apa pun sebelumnya, Pa. Ponselnya tidak bisa dihubungi, ponsel mama juga sama." Arjuna menangis menutup wajahnya.

Dia tidak malu mengekspresikan setiap perasaannya pada sang papa. Karena sedari kecil papanya selalu mendidiknya dengan penuh kasih sayang. Ia pun tumbuh dewasa dengan segala keterbukaannya.

"Bagaimana bisa?" lirih Papa Andreas berkerut kening.

Tidak percaya jika calon menantunya tega melakukan itu pada putra kesayangannya. Papa pun turun dari sofa, ia merengkuh Arjuna yang sudah bukan anak kecil lagi.

"Jadi laki-laki kenapa lembek begini, hah? Apa papa mengajarkanmu seperti ini?" cebik sang Papa menepuk-nepuk pipi Arjuna.

"Lebih baik Arjuna dimarahi, dipukuli oleh Meysa, Pa. Dari pada harus ditinggalkan tanpa alasan yang jelas seperti ini," isak Arjuna.

Baru kali ini Papa Andreas melihat putranya sesedih itu, setelah kepergian mamanya. Tidak pernah Arjuna seterpuruk sekarang. Meysa memang wanita pertama yang mengobrak abrik hati Arjuna.

Papa Andreas menghela napas panjang. Ia menepuk punggung putranya yang sudah dewasa itu. Ia geleng-geleng kepala, "Tidak malu dengan umur, seharusnya seusiamu ini udah memeluk anak kamu dan menenangkannya saat menangis. Bukan malah kamu yang menangis seperti anak kecil," cebik Papa menyindir Arjuna.

"Gimana mau punya anak, Pa? Emangnya Arjuna bisa membelah diri? Calon mamanya aja ilang nggak tahu ke mana!" desah Arjuna menjauhkan tubuhnya.

"Haiss! Arjuna, jika memang Meysa jodoh kamu, dia akan kembali ke pelukanmu. Kalau Meysa bukan jodohmu sekeras apa pun kamu memaksa, tidak akan bersatu. Berpikirlah dewasa!" ungkap sang papa lalu melenggang pergi meninggalkan Arjuna yang melamun sendirian.

"Meysa, apa salahku? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku?" desah Arjuna yang merasakan sesak di dadanya.

*****

Pagi ini, Arjuna terbangun ketika matahari sudah menanjak tinggi dari peraduan. Silaunya mentari membuatnya memaksa mengerjapkan mata.

Arjuna meregangkan tubuhnya, namun sedikit gerakannya ternyata membuat tubuhnya terjatuh ke lantai.

"Aduh! Sialan nih sofa. Sempit banget!" Lupa jika ternyata semalaman ia tertidur di sofa balkon.

Sudah sakit semua tidak tidur dengan benar, ditambah terjatuh pula bertambah encoklah punggungnya.

Arjuna beranjak bangun sembari memegangi punggungnya. Ia mendaratkan tubuh kembali di sofa. Meneguk air putih yang tinggal setengah botol sisa semalam.

Terlambat berangkat bekerja membuatnya mengajukan cuti dadakan. Arjuna segera membersihkan tubuhnya, ia pun kembali segar setelah mandi.

Arjuna turun dari kamarnya, menuju meja makan. "Bi, sarapan!" serunya mendaratkan tubuh di kursi makan.

"Baik, Den. Bibi siapkan dulu!" sahut sang asisten rumah tangga dari dapur.

Beberapa menit kemudian, sebuah omlete dan jus jeruk tersaji di hadapan Arjuna. Pria itu melahapnya dengan cepat hingga tandas.

"Makasih, Bi," ucap Arjuna melenggang pergi.

"Hah? Saya belum ada lima menit meninggalkan meja makan, sudah habis semuanya? Jangan-jangan bukan Den Arjun lagi yang makan. Iiih serem." Bibi memegang tengkuknya yang terasa merinding.

Sebelum kembali ke rumah Meysa, Arjuna ke tempat kerjanya mencari informasi tentang wanitanya tersebut. Namun, tidak mendapatkan hasil apa pun.

Tak menyerah sampai di sana. Arjuna juga mendatangi kantor tempat perusahaan papa Meysa bekerja. Ternyata beliau telah resign sejak seminggu yang lalu.

"Kalau boleh tahu, apa alasan beliau mengundurkan diri, Mbak?" tanyanya pada HRD perusahaan tersebut.

"Di sini tertera jika beliau ada kepentingan keluarga, Mas," ucap wanita berpakaian rapi.

"Apa itu kepentingan keluarganya, Mbak?" desak Arjuna menuntut jawaban.

Wanita itu mengerutkan kening, "Mana saya tahu, Mas. Mohon maaf jika sudah tidak ada keperluan, silahkan tinggalkan tempat ini. Kami masih banyak pekerjaan lain," ungkap HRD itu mengulurkan tangan mengarah ke luar.

Arjuna yang geram tidak mendapat jawaban pun menendang meja yang ada di depannya. Membuat beberapa orang tersentak. Ia beranjak dengan kasar, lalu meninggalkan lokasi.

Tepat seminggu kepergian Meysa tanpa kabar sedikit pun. Arjuna kembali ke rumah yang tidak terlalu besar dan berlantai dua itu. Ia terus menunggu, lagi lagi ia tidak menemukan petunjuk apa pun.

Sesekali berdiri, berjalan, mondar mandi mengelilingi rumah itu. Namun tidak ada yang berubah. Pintu rumah masih tertutup rapat dengan gembok yang menggantung pada daun pintu.

Sejak awal kenal Meysa, Arjuna hanya tahu ini satu-satunya tempat tinggal Meysa. Arjuna duduk termenung di teras rumah Meysa. Menopang dagu dengan kedua tangannya.

"Dek, ngapain di situ? Rumah ini sudah lama kosong," sapa seorang ibu-ibu menenteng belanjaan di tangannya.

Arjuna tersadar dari lamunannya, ia berlari mendekati wanita paruh baya itu. "Buk, apa Ibu kenal dengan Meysa? Yang tinggal di rumah ini?" tanya Juna perlahan menunjuk rumah Meysa.

Ibu itu mengangguk. "Iya, dia kan anaknya Bu Indah. Temen arisan saya itu mah," balasnya.

"Ah, apakah ibu tahu di mana keluarga Bu Indah sekarang? Atau nomor ponselnya?" tanya Arjuna tidak sabar.

"Bu Indah cuma berpamitan mau ke luar kota. Dan dia bilang kemungkinan nggak akan kembali lagi ke sini, habis itu nomornya tidak bisa dihubungi," jelas wanita tersebut.

"Lu--luar kota? Kalau boleh tahu di kota mana ya, Buk?" sambung Juna lagi penuh rasa penasaran.

Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status