Share

Bab 5 Aku Meysa

"Ziya, yang sopan kamu sama tamu!" tegur Rio pada adiknya dengan tatapan tak suka. Ia takut akan menimbulkan ketidaknyamanan pada gadis di sebelahnya.

"Iih, aku 'kan cuma nanya. Kenalin, Kak, aku Ziya. Adeknya Rio yang paling imut manis seantero desa ini," cetus Ziya mengulurkan tangannya.

Belum sampai dibalas, Rio segera menepis tangan Ziya. Pria itu menatapnya tajam, membuat Ziya bergidik dan mengapit kedua bibirnya. Menandakan dia akan berhenti berbicara.

"Ziya, kamu mandi dulu, Nak. Keburu habis waktu maghribnya." Ibu Resi memperingatkan dengan lembut.

Akhirnya Ziya beranjak dari duduknya. Bersungut kesal pada sang kakak yang suka bersikap semena-mena dan pemaksa. Saat melangkah melalui wanita yang dianggap asing itu, tiba-tiba lengannya disergap.

"Aku Meysa," tuturnya lembut tersenyum manis.

"Ah, cantik sekali. Senang bisa kenal sama Kakak yang lembut dan baik hati," celetuk Ziya tertawa kecil.

"Ehm!" Deheman Rio membuyarkan tatapan kedua wanita itu.

Seketika Ziya lari terbirit-birit, takut jika kakaknya murka. Meysa tertawa sambil menggelengkan kepalanya.

"Maaf ya, Mey. Adikku terlalu banyak bicara," ujar Rio merasa tak enak hati.

"Nggak apa, dia lucu," sahut Meysa.

Tak lama, Ziya kembali duduk di meja makan. Ikut bergabung dengan keluarganya. Rasa penasaran yang tinggi membuatnya mandi ala bebek.

"Pake sabun nggak kamu mandinya? Cepet amat!" cibir Rio memicingkan mata.

"Pake lah. Eh ya, Bu, Kak. Nanti diajak temen-temen makan di luar boleh nggak?" ujar Ziya memohon.

Ibu Resi mengambilkan putri bawelnya itu nasi beserta lauk pauknya. Lalu meletakkannya di hadapan Ziya.

"Makasih, ibuku Sayang." Ziya memeluk sang ibu.

"Heleh, modus!" sindir Rio.

"Apa? Aku emang sayang sama ibu kok," sanggah Ziya tidak terima.

Meysa hanya terkekeh melihat dua saudara itu saling sindir. Meski begitu terpancar kasih sayang antar keduanya.

"Sudah, sudah ayo makan. Meysa, jangan dengerin mereka, Nak. Mereka emang gitu. Suka kaya kucing sama tikus kalau ketemu," celetuk Ibu Resi setelah meneguk air putih.

"Iya, Bu," sahut Meysa tersenyum.

Sesudah santap malam, Meysa berpamitan pulang diantar oleh Rio. Sedang Ziya bersama ibunya masih duduk di depan TV sambil memakan keripik kentang favoritnya.

"Bu, siapa Meysa itu? Di mana rumahnya? Kenapa bisa ada di sini? Apa dia calon kakak iparku?" tanya Ziya beruntun bersandar manja pada bahu ibunya.

****************

Di sisi lain, Arjuna sedang mengepak baju-bajunya ke dalam tas ransel miliknya. Emosi yang masih bergelayut, membakar hatinya membulatkan tekad untuk mencari Meysa hari itu juga. Tak sabar menunggu hari esok.

"Mas Juna mau ke mana?" tanya Bibi yang menyiapkan makan malam.

"Pergi. Bibi, tolong sampein ke Papa kalau sudah pulang. Aku ke luar kota beberapa hari ke depan. Mau ngabarin sekarang takut ganggu," jelas Arjuna. "Titip rumah ya, Bi," imbuhnya lagi melangkah panjang keluar rumah.

"Iya, Mas. Eh tapi luar kotanya di mana ya, Mas?" tanya Bibi setengah berlari mengejarnya.

"Mau ke Yogja, Bi," ujar Arjuna singkat.

Tanpa memedulikan pertanyaan ARTnya lagi, Arjuna dengan cepat menuju garasi. Merapatkan jaketnya, memakai atribut jalan raya, seperti helm, masker juga sarung tangan. Ia lalu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

"Aku harus memastikannya sendiri. Aku yakin kamu nggak akan sejahat itu, Mey," gumam Arjuna.

"Tunggu aku Meysa Adriana," imbuhnya lagi menambah laju kecepatan motornya.

"Anak ibu kok jadi kepo gini?" ujar Ibu membelai rambut Ziya.

Seketika Ziya menjauhkan diri dari ibunya. Kedua alisnya saling bertaut. Bibirnya tertawa kecil. "Ibu tau kata kepo dari mana? Gaul amat, Bu," sindir Ziya pada ibunya kembali bersandar.

"Ibu 'kan belajar dari kamu," cetus Ibu mencubit hidung putrinya gemas.

"Jadi?"

"Jadi apa?" sahut ibu.

"Iiih ibu! Meysa itu siapa?" ulang Ziya dengan gemas.

"Mmm ... kata abangmu sih temen. Tadi Meysa pingsan di jalan, terus ditolongin sama Rio, abis diperiksa mampir dulu ke rumah karena udah magrib," jelas ibu yang masih membuat Ziya tidak puas dengan jawaban itu.

Tak berapa lama, terdengar ketukan pintu dari luar. Ziya beranjak dari duduknya, bergegas membukanya. Tampak kelima sohib yang kesemuanya laki-laki itu meringis melihatkan deretan gigi putih mereka.

"Kok belum siap sih Zi?" protes Farid yang melihat Ziya masih mengenakan baju rumahan. Kaos kedodoran dan celana kombrong selutut.

"Lah, aku mah siap aja. Tinggal nunggu izin dari ibu. Buru sana! Tuh ibu lagi nonton tv." Ziya menggerakkan dagu tepat dimana sang ibu berada.

Semuanya serempak masuk menemui ibu. Satu per satu mencium punggung tangan beliau. Mereka memang sudah dekat sejak lama. Kelima pria tampan itu, sering berhadapan dengan Ibu Resi juga Rio, abangnya. Kalau dua orang itu sih masih bisa teratasi. Tapi jika berhadapan dengan Reza, kakak pertama Ziya, mengkeret dah semuanya.

Farid pun memulai pembicaraan, meminta izin agar Ziya diperbolehkan keluar bersama mereka.

"Mau ngapain sih? Bukannya sehari-hari kalian itu udah kumpul. Masih kurang apa?" Ibu melipat kedua lengannya. Menilik satu persatu teman-teman Ziya.

"Eeem ... beda, Bu, kalau sehari-hari 'kan kita kerja. Tapi kalau malam 'kan kita santai, Bu," sahut Wahyu takut-takut.

"Yaudah! Kembalikan Ziya sebelum jam 9 malam. Dan jangan sampai kurang satu apa pun. Kalau ada yang lecet dikit aja, ibu sunat kalian semua!" ancam Ibu Resi tegas.

Mereka semua terlonjak dan bergidik. Refleks memyentuh harta karun masing-masing. "Abis dong, Bu. Hahaha!" celetuk Ziya cekikikan yang mendengar ancaman ibunya.

"Biar abis sekalian. Ibu percayakan sama kalian. Jangan pernah sekalipun mengajak Ziya ke jalan yang nggak bener!" tegasnya lagi.

"Siap, Bu!" jawab mereka serempak.

Karena memang sudah lama mengenal, ibu percaya dengan mereka. Ibu pun mengenal orang tua mereka semua. Kelima pemuda itu memang baik dan tidak neko-neko.

"Makasih ibuku tayang," ujar Ziya memeluk ibunya.

"1 jam 45 menit!" Ibu memperingati sambil menunjuk jam dinding di atas TV yang ditontonnya.

Mereka segera beranjak dari duduknya dan berpamitan. Baru semangat melangkah keluar, sebuah mobil BMW hitam berhenti di depan rumah. Hawa dingin seketika menelusup pada kelima orang itu.

"Eh Bang Reza."

"Malem, Bang."

"Apa kabar, Bang."

Sapa mereka ketika langkah Reza sampai di depannya. Kakak pertama Ziya itu, memiliki sebuah klinik tak jauh dari rumahnya. Seringainya tajam ketika melihat adik perempuannya keluar rumah malam-malam.

Mereka tertunduk, tanpa mendengar satu patah kata pun sudah mengerti bahwa pria itu sedang marah.

"Kak, Ziya udah izin sama Ibu. Cuma sekedar ke kafe ujung jalan sono. Ibu bilang boleh asal nggak lebih dari jam 9 malam pulangnya." Ziya merangkul lengan kakaknya yang masih berdiri tegap dengan pandangan lurus ke depan, menatap segerombolan rekan-rekan Ziya.

"Kakak jangan gitu, dong lihatnya." Ziya menggigit bibir bawahnya. Takut-takut Abang posesifnya itu bakal kasar sama teman-temannya.

Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status