Cassie mengerjap, wajah mereka sekarang begitu dekat dan bahkan nyaris tanpa jarak andaikan Bisma sedikit saja bergerak. Namun, alasan lelaki itu berada di atas Cassie sekarang bukan karena ia ingin melakukan itu dengan sang istri, melainkan hanya sebuah gertakan.Bisma lantas bangkit saat Cassie sudah menunjukkan gejala gugup dan salah tingkah. Malam unboxing yang Cassie harapkan ternyata hanya sebuah ancaman untuk membuatnya takut.“Yah ... gak jadi nih unboxingnya? Ternyata segitu doank nyalimu, Mas,” ejek Cassie yang enggan memakai kembali pakaiannya melainkan langsung merebahkan tubuh di atas ranjang. “Aku tidur duluan, besok pagi mau bangun pagi, masak, terus ketemuan sama sahabat-sahabat aku.”Mendengar perkataan Cassie, Bisma urung memejamkan mata, melainkan justru menarik tubuh sang istri agar menghadap padanya. “Ketemuan sama sahabat kamu? Besok? Kamu kan masih belum sembuh betul.”“Kata siapa? Aku udah bisa masak, beberes rumah, dan aku bosen kalau di rumah terus.”“Ya kala
Bisma menyaksikan bagaimana perubahan ekspresi Cassie saat itu. Dan seketika lelaki itu melepaskan cekalan Tamara, lantas mengejar Cassie yang sudah ambil langkah seribu menjauh dari ruangan itu. Ia lantas masuk ke rest room dan berdiam di sana untuk beberapa waktu setidaknya sampai suasana hati dan degup jantungnya normal kembali.Cassie memejamkan mata beberapa lama, menenangkan diri, tetapi perasaannya makin tak karuan. Ia lihat dengan mata kepalanya, suaminya berciuman dengan wanita lain. Apakah perempuan itu yang pernah ia lihat melakukan hal yang sama di apartemen Bisma sebelum mereka menikah?Dan tadi ... apakah Bisma memang masih menyimpan rasa pada perempuan itu, ataukah ....“Cas ... keluar, Cas. Saya tahu kamu di dalam. Apa pun yang kamu lihat dan dengar, itu semua gak seperti yang kamu pikirkan. Saya bisa jelasin.”Bisma menanti Cassie keluar dari persembunyiannya, tetapi gadis itu tak juga muncul, yang tentu saja membuat Bisma begitu gelisah. Ia kemudian mengetuk sekali l
Cassie masih mengurung diri di kamarnya meski pagi sudah tiba. Ia bahkan tidak terpejam sama sekali. Ia masih ingat bagaimana Bisma dengan ringannya mendaratkan bibirnya pada bibir perempuan itu. Mungkin Bisma begitu cinta pada perempuan itu, atau karena sejak ia menikah dengan Cassie, ia tidak bisa menyalurkan hasrat biologisnya, jadi ketika Tamara datang, lelaki itu tak bisa menahan diri.Cassie tak bisa mengusir bayang-bayang itu dari kepalanya.“Gak mungkin aku cemburu. Udah jelas kalau pernikahan ini cuma sementara. Aku gak boleh sampai jatuh cinta sama mas Bisma. Gak boleh!” ucapnya bermonolog. Apalagi untuk saat ini ia masih muda dan harus memikirkan kuliahnya.Cassie kemudian mengambil ponsel dari nakas dan menggulir sebentar. Bryan mengirimkan pesan hingga belasan dan ia tidak tertarik untuk membalasnya sama sekali. Apalagi Bisma tidak berusaha mengiriminya pesan chat atau apa pun demi merayunya. Fix, Bisma hanya menjadikan dirinya sebagai alat untuk menunjukkan bakti pada sa
Bisma didera kegalauan selama beberapa hari. Ia tidak bernafsu makan, tidak bersemangat untuk bekerja, dan selalu memikirkan masalahnya dengan Cassie. Gadis kecil yang dulu begitu imut, kini sudah menjadi dewasa dan bersikap semau gue ketika berhadapan dengan Bisma yang dominan. Nyatanya, tetap saja Bisma kalah kali ini.Biasanya Cassie menurut perkataannya, tetapi sejak keributan itu, Cassie berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tak lagi bersikap manis dan absurd yang terkadang membuat Bisma geleng kepala. Gadis itu lebih banyak diam, bahkan ketika makan, ia memilih untuk membawa makanan ke kamarnya. Tentu saja, rumah terasa begitu sepi tanpa tingkah konyol dan menggemaskan dari Cassie.“Cas ... ayo makan di bawah sama saya. Atau temani saya makan. Saya gak biasa makan sendiri,” ujar Bisma, mengetuk pintu untuk ke sekian kalinya. Namun, tetap saja tak ada jawaban sedikit pun. Dan ketika ia mengetuk kembali, barulah Cassie membuka pintu.“Apa, sih? Bisanya kan Mas Bisma makan send
Cassie memberengut dan mengurung diri dalam kamar. Meski Bisma mengetuk pintu berulang kali tetap saja gadis itu tidak berinisiatif untuk membuka pintu. Bahkan yang membuat Bisma geleng kepala, gadis itu melemparkan barang-barang ke pintu sehingga menimbulkan kegaduhan.“Pergi! Aku gak mau ketemu kamu! Aku benci sama kamu!”Bisma hanya mengelus dada mendengar perkataan Cassie. Dirinya kini tak ubahnya seperti mengasuh anak gadis, padahal bukan seperti ini pernikahan yang ia bayangkan. Namun, apa boleh buat. Bukankah dia sendiri yang membuat masalah dengan memberlakukan poin-poin dalam sebuah surat kontrak yang kini justru menjadi bumerang baginya.Ia tidak menyangka niat baiknya terhadap Cassie, terhadap pernikahan ini justru berakhir penuh masalah. Apalagi kalau berurusan dengan sikap manja Cassie. Wajar saja, gadis itu baru berumur dua puluh satu sementara dirinya tiga puluh lima tahun, bukan hal yang mengherankan kalau pada akhirnya, dirinya harus bersikap ngemong terhadap Cassie.
Bisma masih tak habis pikir dengan apa yang Cassie minta. Ia kini masih termenung di pesisir pantai, memandang jauh ke lautan dengan deburan ombak yang tenang. Berbanding terbalik dengan hatinya saat ini. Ia biarkan sang istri dengan gemuruh di hati, pergi meninggalkannya sendiri.Mungkin Cassie membutuhkan ketenangan, pikirnya. Pernikahan mereka yang baru berjalan beberapa bulan, sudah seperti roller coaster rasanya. Hanya masalah kecil, tetapi menjadi layaknya bola salju jika itu berurusan dengan Cassie.Gadis itu memang keras kepala, gegabah dalam mengambil tindakan. Namun, perkataannya sudah melucuti ego Bisma yang masih ingin bertahan dalam status palsu mereka hanya demi sesuatu.Palsu? Benarkah? Atau justru itu yang Bisma ingin orang tahu tentang mereka. Bahkan di hadapan Cassie.“Kamu masih ngotot mau mempertahankan ide konyol ini, Bis? Kasihan Cassie,” ujar sang bunda yang sudah kesal dengan sikap Bisma yang keras kepala, tidak kalah dengan Cassie. Wajar saja kalau pernikahan
Gagal sudah rencana Bisma untuk mengatakan yang sejujurnya pada Cassie. Semua ini jelas karena Cassie yang mencari perkara, atau mungkin justru sebaliknya, Bisma yang terlalu terbawa cemburu.Lelaki itu memang sejak dulu tak pernah bisa mengekang sikap posesif dan rasa cemburunya, dan itu semakin menjadi seiring waktu bertambah usia pernikahannya dan Cassie. Perjanjian yang seharusnya ia laksanakan dan berhasil membuatnya sabar menunggu hingga waktunya tiba, ternyata malah berbalik menyerangnya.Jika ayah dan ibunya mengetahui ini, habislah Bisma. Karena sejak awal perempuan itu tak setuju dengan rencana konyol putranya.“Tuh, kan! Apa mama bilang! Kamu itu memang ngeyelan, Bis. Mama kan sering ngomong, Cassie itu gak sama kayak perempuan-perempuan lain yang pernah dekat sama kamu. Apalagi Rindi. Bilangnya gak mau punya anak, tapi udah berapa laki-laki yang tidru sama dia sebelum nikah sama kamu!” omel Diana ketika mendengar kabar kalau menantunya mengambek gara-gara sikap kasar Bisma
Cassie tertegun di tempatnya kala mendengar apa yang Bisma ucapkan? Apa maksud lelaki itu? Apakah ia meminta sesuatu yang seharusnya jadi miliknya sejak mereka menikah? Bukankah Bisma sendiri yang mengatakan kalau dia tidak akan menyentuh Cassie?Cassie berubah gugup. Ia menatap sepasang bola mata beriris gelap milik sang suami dan menemukan kilat berbeda di sana. “Tanpa cinta?” tanyanya.Bisma menggeleng. “Saya harus ngomong dulu, ya?” Cassie meresponnya dengan anggukan.“Mad Bisma kan tahu, aku bahkan rela kasi meski itu tanpa cinta. Tapi, bukannya Mas Bisma sendiri yang bilang gak akan nyentuh aku?”“Gimana kalau semuanya berubah?” Bisma bertanya, memastikan. “Kan kamu belum tahu apa yang mau saya omongin?”“Ua udah kalo gitu ngomong dulu aja.”Bisma mengangguk lagi. Keterdiaman menjeda cukup lama sebelum akhirnya Bisma mulai buka suara. “Kamu tahu gak kalau saya udah lama menyimpan perasaan sama kamu?”Cassie tanpa sadar ternganga. Ia menggeleng tak percaya, tetapi dengan cepat Bi