“Hey, Bisma, Cassie. Kita ketemu lagi. Gimana kabar kalian?” sapa Rindi yang langsung memandang kedua sejoli di hadapannya dengan tatapan tak suka, seketika ekspresinya berubah dan Cassie tidak bisa pastikan apa yang sedang dipikirkan perempuan itu. “Kalian berdua ....”“Apa? Mbak Rindi mau ngomong apa?” tanya Cassie dengan raut wajah tenang. Ia sepertinya tahu apa yang sedang mengganggu pikiran Rindi, dan itu membuat Cassie makin semringah. Kemalasannya untuk mengeringkan rambut hari ini ternyata membawa hikmah. Terlebih Bisma juga lupa memakai gel rambutnya. “Mau makan bareng, Mbak? Aku sama Mas Bisma pengen sarapan nasi campur.”“Ehm ... boleh. Mau makan di mana?”Belum sempat Cassie menjawab pertanyaan Rindi, Bisma sudah menyenggol lengan Cassie. Gadis itu sontak mendekatkan kepalanya ke arah Bisma.“Kamu kenapa sih, Cas? Hobi banget ngajakin dia makan. Kenapa kita gak makan sendiri aja?” omel Bisma setengah berbisik.“Emang kenapa? Kamu terganggu, ya? Kalau gak ada hubungan atau
“Kita harus cerai,” ucap seorang lelaki dengan postur tubuh tegap pada perempuan yang duduk di seberang mejanya. Kalimat itu masih terdengar menggantung dan belum ia selesaikan sepenuhnya. “Jika dalam dua tahun tidak juga ada cinta di antara kita dan tidak ada sesuatu yang menghalangi,” imbuhnya, sembari menyodorkan ke hadapan perempuan itu, beberapa lembar kertas di dalam sebuah map. Perempuan muda berusia dua puluh tahun itu mengernyit. Ini hal yang tergolong baru baginya, menjalani pernikahan atas hasil perjodohan dan calon mempelai prianya justru meminta dirinya untuk menanda tangani sebuah kontrak. Semacam perjanjian pranikah. “Bisa Bapak sebutkan contoh dari kalimat ‘sesuatu yang menghalangi’ itu?” todong perempuan bernama Cassandra yang biasa dipanggil Cassie. Ingatannya menerawang kembali pada dua hari lalu, di mana dirinya diminta untuk berdandan rapi oleh sang mama, yang rupanya merupakan awal dari keabsurdan hidupnya. Sejak saat ini, ia telah menjadi calon istri bagi Bi
“Lo ngapain di sini, Bre?” tanya Cassie spontan ketika melihat kehadiran sahabat sekaligus lelaki yang dia sukai, Bryan. Ia hanya takut kalau Bryan salah paham melihat dirinya yang baru saja keluar dari toko perhiasan. Lihat saja tatapan Bryan yang tertuju padanya, Bisma, lalu ke arah toko emas itu secara bergantian. “Lo sendiri ngapain di sini?” Bryan menoleh pada Bisma. “Dia siapa?” Mendapat pertanyaan itu, Cassie langsung menitikkan keringat dingin. Kenapa juga ia harus sebegitu canggungnya? Bukankah dirinya dan Bryan tidak ada hubungan apa pun? “Oh, ini ... kenalin, Bre, ini—“ Bisma dengan segera mengulurkan tangan pada lelaki di hadapannya. “Saya Bisma, calon suami Cassie.” Cassie hanya nyengir saja kala Bryan melemparkan tatapan ke arah Cassie. Antara kaget, tak percaya, sekaligus memohon penjelasan. Oke, Cassie akan menjelaskan. Namun, tentu saja tidak di tempat itu. “Sudah, kan? Ayo kita pulang sekarang!” ajak Bisma, kemudian berjalan lebih dulu tanpa berniat menunggu
Cassie baru saja merebahkan bokong di kursi kerjanya, panggilan dari ruangan si bos membuatnya tak berkutik. Tidak mungkin untuk tidak memenuhi apa yang diinginkan lelaki itu, karena Bisma sekarang punya dua kedudukan dalam hidup Cassie. Sebagai bos sekaligus calon suami. Cassie bangkit lalu dengan malas melangkah menuju ke ruang keramat tersebut. Bagaimana tidak malas, melihat wajah ganteng Bisma mungkin bisa menyegarkan otak, tetapi kalau kumat galaknya itu yang mana tahan. Ia mengetuk tiga kali, lalu masuk saat suara bariton itu memerintahkannya untuk masuk. “Duduk, Cassie!” perintah Bisma, tanpa melihat ke arah gadis di hadapannya. “Ada apa, Pak?” tanya Cassie yang kemudian harus menunggu sampai lelaki perfeksionis itu menyelesaikan pekerjaan yang ada di hadapannya. Baru beberapa hari Cassie menjadi pegawai magang di sana, lalu dua hari menyandang status calon istri Bisma, ia sudah hafal kelakuan lelaki itu. Bisma tidak akan pernah menunda atau meninggalkan pekerjaan yang sud
Untuk gadis yang belum pernah disentuh oleh lelaki mana pun, menyaksikan adegan beberapa jam lalu tentu saja membuat Cassie kena mental. Terlebih yang melakukan itu adalah laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Oke, memang dia akui kalau pernikahan mereka hasil perjodohan dan tidak ada cinta di dalamnya, tetapi tidak seharusnya Bisma melakukan itu juga. Lelaki itu seharusnya menjaga nama baik kedua orang tuanya. Persetan apakah mereka tinggal bersama atau tidak, tetap saja apa yang dilakukan Bisma sangat tidak pantas. “Duh, ngapain sih nih orang telepon-telepon terus?” gerutu Cassie yang mulai ilfil dan malas menerima panggilan atau apa pun dari laki-laki itu. Apalagi untuk bertemu langsung dan melihat wajahnya. Lebih baik tidak sama sekali. Namun, lama-kelamaan ia tak tahan juga, akhirnya diterimanya telepon dari bosnya itu, sebelum si bos kumat galaknya lalu mencak-mencak. “Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Cassie, berusaha mengendalikan nada bicaranya agar
Pada mulanya memang, Cassie ingin membatalkan semuanya. Tetapi ketika ia bangun keesokan paginya, melihat seisi rumah sudah tertata rapi dengan hiasan di sana sini, Cassie kembali didera kegamangan. Mimpi apa ia semalam, sampai-sampai tujuannya untuk menghentikan rencana orang tuanya, malah justru jadi bumerang. Bisma sudah mengatakan kalau pihak orang tua ingin pertunangan dimajukan. Namun, ini lebih cepat dari yang Cassie bayangkan. “Ini buat apa, Ma? Kok ada hiasan-hiasan gini?” tanya Cassie, hanya sekadar memastikan. Ia berharap bukan seperti apa yang ia pikirkan. “Lho, gimana, sih? Bisma gak bilang sama kamu kalau acara pertunangannya malam ini?” Mama menghentikan langkahnya, menatap Cassie dengan alis berkerut. “Apa kamu yang gak ngeuh pas Bisma ngasih tahu?” Demi apa pun, Cassie ingin sekali pura-pura pingsan atau sekalian pura-pura gila karena ini. Namun, jelas itu ide yang konyol. Satu hal yang harus ia lakukan hanya menerima, dan bersiap. Menerima perjodohan yang mana Bi
Cassie ada janji bertemu ketiga sahabatnya sepulang bekerja. Sudah sejak beberapa hari lalu tetapi ia tak sempat mengabari karena urusan pertunangan yang mendadak seperti tukang tahu bulat. Sekarang Vira dan Bibi mempertanyakan tentang acara pertunangannya yang tanpa kabar dan sama sekali tidak mengundang mereka. “Lo jahat banget, Cas. Padahal kita sohiban udah dari jaman apaan, tapi gak diundang sama sekali,” protes Vira saat Cassie sudah tiba di kafe langganan mereka. “Iya, nih. Gak bilang-bilang tahu-tahunya udah mau nikah aja. Padahal kan dia dulu cewek goa.” Bibi menimpali. Cassie yang mendapat protes hanya diam sembari menikmati makanan dan minumannya. Ia kemudian memerhatikan kedua sahabatnya. “Guys, mumpung si Bryan belum dateng, gue boleh cerita gak sama kalian?” tanya Cassie, yang disambut anggukan dari Vira dan Bibi. Keduanya mencondongkan tubuh, mendekat ke arah meja. “Ada apa, Cas? Kok wajah lo sendu gitu?” “Gue gak excited sama pernikahan ini, bukan karena gak cint
“Jangan mancing-mancing, deh ....” Cassie menyuarakan protesnya saat Bryan mulai memberondongnya dengan pertanyaan yang tak mampu ia jawab. Mereka sedang berbincang melalui saluran jarak jauh. Kedua orang tua Cassie tak membolehkan gadis itu bertemu Bryan kemarin, dengan alasan ‘pamali’ karena Cassie sebentar lagi akan menikah. Jadi ceritanya dirinya harus mulai dipingit mulai beberapa minggu sebelum pernikahan. Dan tentu saja, hal itu menimbulkan pertanyaan di benak Cassie, memangnya kapan pernikahannya akan diadakan? “Aku serius, Cas. Aku pengen tahu, kalau kamu dijodohkannya sama aku, apa kamu akan nolak? Atau malah nerima dengan senang hati?” Pertanyaan itu ... haruskah Cassie jawab? Padahal mustahil Bryan tak tahu kalau selama beberapa lama persahabatan mereka telah berubah wujud menjadi sesuatu yang berbeda di hati Cassie. Ada yang berbeda, Cassie akui itu. Pastinya bukan lagi rasa sayang sebagai dua orang sahabat apa lagi antara kakak dan adik, karena mereka tak punyai ik