Share

Dominan

Cassie ada janji bertemu ketiga sahabatnya sepulang bekerja. Sudah sejak beberapa hari lalu tetapi ia tak sempat mengabari karena urusan pertunangan yang mendadak seperti tukang tahu bulat.

Sekarang Vira dan Bibi mempertanyakan tentang acara pertunangannya yang tanpa kabar dan sama sekali tidak mengundang mereka.

“Lo jahat banget, Cas. Padahal kita sohiban udah dari jaman apaan, tapi gak diundang sama sekali,” protes Vira saat Cassie sudah tiba di kafe langganan mereka.

“Iya, nih. Gak bilang-bilang tahu-tahunya udah mau nikah aja. Padahal kan dia dulu cewek goa.” Bibi menimpali.

Cassie yang mendapat protes hanya diam sembari menikmati makanan dan minumannya. Ia kemudian memerhatikan kedua sahabatnya.

“Guys, mumpung si Bryan belum dateng, gue boleh cerita gak sama kalian?” tanya Cassie, yang disambut anggukan dari Vira dan Bibi. Keduanya mencondongkan tubuh, mendekat ke arah meja.

“Ada apa, Cas? Kok wajah lo sendu gitu?”

“Gue gak excited sama pernikahan ini, bukan karena gak cinta atau apa pun. Dia ganteng, mapan, meski sikapnya dingin, angkuh, kadang sengak. Apalagi sebagai bos di tempat gue magang, dia galak banget, perfectionist ... gitu lah.”

“Lah, terus apa yang bikin lo gak tertarik sama dia?” Vira tak bisa menahan rasa penasaran yang menggelitiknya. Cassie, meski belum pernah merasakan bagaimana rasanya berpacaran, tetapi dia bukanlah gadis yang pemilih dan banyak mau.

Kali ini, air muka Cassie membuat tak hanya Vira, tetapi Bibi pun ikut penasaran.

“Janji jangan bilang Bryan, oke. Dia pasti bakal ngamuk kalau tahu. Karena gue sempat ketemu sama dia pas cari cincin. Dia kelihatan gak suka sama mas Bisma.”

“Tenang aja, Cas. Rahasia lo aman di tangan kita berdua.”

Cassie kemudian mendekat pada kedua sahabatnya, bukan berbisik, ia mengucapkannya dengan cukup keras, karena suasana di kafe yang cukup ramai, membuat suaranya tenggelam.

“Dia kissing sama perempuan yang gue gak kenal, pastinya. Tapi, masalahnya bukan itu aja. Saling berkaitan, dan gue gak tahu mau mulai dari mana. Intinya, dia gak cinta sama gue dan sudah menegaskan kalau dia gak akan mengusahakan untuk hubungan ini.”

Dua sahabat Cassie hanya bisa ternganga tak percaya kala mendengar apa yang dituturkan oleh sahabat mereka.

Cassie adalah yang termuda di antara mereka. Karenanya, baik Bibi maupun Vira menganggap Cassie lebih seperti adik mereka. Terlebih Bryan yang sering kali bersikap over protektif.

“Kenapa lo bisa bilang kalau Bisma ini gak mengusahakan untuk hubungan kalian? Kenapa lo gak minta pembatalan aja?” Bibi yang tertua tidak tahan juga mendengar kisah percintaan sahabatnya yang menyedihkan baginya.

Ia yang sudah berkali-kali merasakan jatuh cinta dan patah hati dan memutuskan untuk jadi seorang player itu tidak tahan ingin memberi saran yang nakal untuk Cassie.

Namun, ia sangat mengenal bagaimana karakter 'adiknya' itu.

Dan Cassie menjawab pertanyaan Bibi dengan gelengan.

“Dia bilang sendiri, dia gak akan nyentuh gue meski udah nikah. Gila, kan?! Dan gue gak mungkin bisa batalin karena satu, dia gak mau kalau perjodohan ini dibatalkan. Dua, karena gue kasian sama bonyok kalau sampe ngebatalin sepihak. Dan yang mengherankan, Bisma ngancam, kalau dia akan menggagalkan usaha gue ngebatalin perjodohan itu.”

“Alasannya?”

“Gak jelas. Orang itu mana pernah jelas, sih?” Cassie kemudian melirik jam tangannya. “Anjir, udah jam dua, gue kudu balik sekarang. Gue duluan, ya, guys. Salam buat si Bre kalau dia dateng.”

“Lah, itu dia dateng!” Vira menunjuk ke balik punggung Cassie yang langsung menoleh demi melihat lelaki yang telah menjadi sahabatnya sejak kecil, bahkan ia menaruh hati pada lelaki itu.

“Mau ke mana?” tanya lelaki itu, jelas ia tujukan pada Cassie.

“Gue mau balik ke kantor, lah. Bos gue galaknya kayak singa laper.”

“Bentar, deh. Gue mau ngomong sama lo.”

Bryan menarik lengan Cassie menjauh dari lainnya. Ia menghentikan langkah di sudut kafe, memngambil tempat di sana.

“Mau ngomongin apa, Bre, gue kudu balik kantor,” keluh Cassie, berulang kali menilik jam tangannya. “Tuh, udah jam dua. Mampus gue!”

“Bentar aja. Siapa laki-laki yang jalan sama kamu?” Nada dan gaya bicara Bryan berubah seketika yang cukup mengejutkan bagi Cassie.

“Oh, mau bahas itu doank? Kan dia udah ngenalin diri kapan hari. Dia calon suami gue. Biasa lah, ortu kolot. Main jodoh-jodohin gak pake tanya.”

“Kamu cinta?” todongnya.

Cassie menelan salivanya merasa seperti penjahat yang sedang diinterogasi. Ia kemudian menggeleng perlahan.

“Kalau kamu gak cinta, kenapa diteruskan?”

“Emang gue bisa apa, Bre? Bahkan mama sama papa udah segitunya suka sama tuh laki. Gue gak tahu harus gimana. Lagian, gue gak punya alasan buat nolak atau minta perjodohan dibatalin.”

Cassie mengedikkan bahu, tanda bahwa ia tak bisa berbuat apa-apa. Namun, Bryan punya opini berbeda mengenai kondisi Cassie.

“Kamu mau balik ke kantor, kan? Biar aku anterin.”

“Lah terus mobil gue?”

“Entar aku minta pak Jono buat ambil dan anter ke rumah kamu. Atau sore nanti aku anter ke rumah. Ayok!”

Bryan jelas bukan hanya mengajak, melainkan memerintah agar Cassie menurut apa yang dia katakan. Tak peduli nanti akan seperti apa, toh dirinya dan Bisma tidak saling mencintai, jadi tak mungkin lelaki itu akan cemburu, kan?

Cassie akhirnya menurut dan kembali ke kantor dengan membonceng motor sport milik Bryan.

Tiba di kantor, bahkan Bryan tak begitu saja mengizinkan Cassie untuk masuk.

“Aku masih banyak hal yang mau diomongin sama kamu. Nanti sore sekalian anter mobil aku bakal mampir.”

Cassie mengangguk. Ia tak pernah menolak kedatangan Bryan. Bahkan saat dirinya dikenalkan dengan Bisma, sebelumnya Bryan datang seperti biasa. Meski yang dibicarakan adalah perempuan yang menjadi target baru si playboy kelas paus itu, Cassie tetap senang mendengarkan suara bass Bryan kala bicara.

Memandangi wajah ganteng Bryan juga seperti candu bagi Cassie. Dan tak ada yang tahu itu.

“Ya udah, gue masuk dulu. Thanks, ya, Bre.”

Cassie melangkah ragu untuk masuk ke gedung kantornya, karena malas bertemu Bisma nantinya. Seharusnya ia menerima saran Bisma untuk mengambil cuti.

Baru saja hendak melangkah memasuki gedung, Cassie terhenti karena mendengar sebuah suara memanggil namanya.

“Cassie, tunggu!”

Cassie menoleh perlahan, dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Apakah Bisma akan marah dan memberinya wejangan dari a sampai z, seperti saat dirinya pergi begitu saja dari apartemennya?

“Ya, Pak Bisma?”

“Kamu terlambat.”

Cassie hampir saja memutar bola matanya, tetapi ia ingat bahwa dirinya sedang berada di kantor dan bicara dengan Bisma sebagai bosnya, bukan calon suaminya.

“Maaf, mobil saya mogok, Pak,” dustanya.

“Oh, terus dianter sama laki-laki? Jangan lupa kamu sudah akan menikah dengan saya.”

Cassie mendengkus, kemudian melangkah mendekat pada Bisma.

“Tapi pernikahan tanpa cinta, kan? Jangan bikin saya ngulang-ngulangin kalimat itu, Pak, karena Bapak gak akan suka. Bukankah ini sudah ada dalam surat perjanjian? Saya boleh jalan sama siapa aja dan gak ada aturan kapan masa berlakunya dimulai. Artinya saya bebas melakukan kapan aja, kan?”

Bisma mulanya hanya diam. Namun, saat Cassie mulai hendak bicara lagi, ia mencekal pergelangan tangan Cassie.

“Kamu gak baca catatan di bagian bawah? Kalau saya tidak izinkan, maka itu semua akan jadi hak saya. Bagaimana pun, kamu calon istri saya. Ketika saya katakan tidak boleh, maka itu yang harus kamu patuhi.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status