Sepertinya aku kembali masuk ke tubuh Lastri lagi.
Tapi tak lama kemudian aku kembali ke kamar Mas Bimo, kembali ke tubuhku sendiri dengan memegangi kepalaku. Mas Bimo yang khawatir melihatku memegangi kepalaku yang sakit berteriak memanggilku.
"Indah, kamu kenapa?"
Aku terduduk lemas di atas kasur. Mas Bimo duduk di sebelahku.
"Kamu sakit?" tanya Mas Bimo khawatir.
"Aku nggak apa-apa, Mas. Aku baik-baik aja," jawabku.
Mas Bimo masih tampak khawatir padaku. Kenapa tadi aku bisa kembali masuk ke tubuh Lastri? Apakah tadi tanda bahwa aku tak akan masuk ke tubuh Lastri lagi? Aku ingat, tadi kuliah mereka tinggal di perbukitan, di rumah yang sederhana. Kulihat Ilyas tampak baik-baik saja sambil menyeruput kopi. Dan aku duduk di sebelahnya memakai daster. Apa Lastri sudah memutuskan untuk hidup bersama Ilyas? Apakah mereka sudah bahagia berdua di sebuah tempat? Entahlah, tapi melihat itu aku percaya kalau Lastri dan Ilyas baik-baik saja. Be
Lalu besoknya aku dibawa Mas Bimo ke rumahnya. Aku tak percaya, rumah kedua orang tuanya begitu megah. Siapa sebenarnya Mas Bimo ini? Saat kami masuk ke dalam rumah itu. Kulihat seorang ibu-ibu tampak terkejut melihat Bimo dan langsung memeluknya sambil menangis. Kurasa itu ibunya. Tak lama kemudian datang seorang pria yang seumuran dengan papah, dia pun langsung menghampiri Bimo dengan haru. "Maafin aku, yah, Bu." ucap Mas Bimo pada kedua orang tuanya. Aku pun terharu melihatnya. Sungguh kami berdua memiliki masalah yang sama. Aku benar-benar tak bisa mempercayainya. Setelah itu Bimo mengenalkan aku pada kedua orang tuanya, kami pun makan siang bersama. Di sana hanya ada aku, Bimo dan kedua orang tuanya. Apa dia anak tunggal juga? Entahlah. Mas Bimo menceritakan semuanya soal perceraiannya dengan Lastri. Kulihat kedua orang tuanya tampak lega mendengarnya, mungkin karena mereka memang tak setuju melihat Bimo menikah dengan perempuan itu. "Kamu tinggal di man
Aku tiba-tiba tersadar di sebuah kursi. Saat itu aku sedang duduk di sebelah perempuan yang tidak aku kenali. Perempuan itu tampak panik kepadaku. "Lastri! Kamu kenapa, Lastri!?" tanya perempuan itu. Dia seumuran dengan Lastri. Ya Tuhan, aku kembali ke tubuh Lastri. Kenapa bisa menjadi begini? Katanya kalau aku memakai kalung itu aku tak akan bertukar jiwa lagi dengan Lastri? Katanya kalau sudah melakukan ritual itu, aku tak akan bertukar jiwa lagi dengan Lastri? "Lastri?" teriak perempuan itu memanggil aku lagi. Aku melihat ke arahnya. "Aku di mana?" tanyaku heran. Aku sadar, harusnya aku berpura-pura menjadi Lastri di hadapannya. Tapi aku tak mau lagi berpura-pura, tak ada lagi yang harus aku khawatirkan. "Kamu hilang ingatan?" tanya perempuan itu menyelidik. "Iya," jawabku yang masih bingung harus menjelaskannya bagaimana. "Kamu di rumah suami kamu. Aku temen deket kamu dari SD," jawabnya tak percaya. "Aku ud
Aku pun membuka jendela. Ilyas masuk ke dalam mobil dengan heran. "Kamu kenapa? Katanya hilang ingatan? Itu beneran?" tanya Ilyas tampak panik. Aku pun bingung harus bagaimana. Aku pun melihat ke arah Ilyas. Aku harus jujur padanya. "Aku bukan Lastri," jawabku. Ilyas tampak kaget dan tak percaya. "Jangan ngada-ngada kamu. Sekarang turun dan duduk di sebelah aku, biar aku yang nyetir mobilnya," pinta Ilyas dengan emosi. "Aku serius, aku bukan Lastri. Aku tetangganya!" "Turun!" teriak Ilyas padaku Aku pun terpaksa turun dari mobil dan berjalan ke arah jendela mobil sebelahnya, kemudian aku masuk ke dalam mobil. Kunci mobil sudah di pegang Ilyas. Ilyas masih di dekat motornya, dia menelepon seseorang, mungkin meminta orang untuk membawa motornya. Tak lama kemudian dua orang lelaki datang sambil membawa motor, berhenti di dekat Ilyas. Seorang lelaki yang dibonceng itu menaiki motor Ilyas lalu membawanya pergi, disusul seseo
Seketika aku tenang mendengar itu. Ya, aku yakin Ilyas tak akan mungkin mau mencelakai tubuh kekasihnya ini walau aku yang merasukinya sekarang. Saat cukup jauh berjalan, aku melihat sebuah pondok kecil yang berdiri di tengah hutan, di bawah pohon-pohon besar. Langkahku terhenti. “Sebenarnya kita mau kemana, Ilyas?” tanyaku lagi. “Kita masuk ke sana,” jawabnya. “Kita ngapain di sana?” tanyaku yang masih khawatir dan penasaran. “Kan mau ngebuktiin kamu?” jawab Ilyas dengan kesal. Akhirnya aku mengikuti langkahnya mendekat ke pintu masuk pondok itu. Ilyas mengetuk pintu pondok itu. “Masuk!” Terdengar suara lelaki tua di dalam sana. Aku merinding mendengar suara lelaki tua itu. Ilyas menarik tangangku untuk masuk ke dalam. Aku pun mengikutinya dengan terpaksa. Kami masuk lalu duduk di hadapan kakek-kakek tua. Kakek tua itu tampak dingin. Rambutnya panjang beruban tanpa diikat. Kumis putihnya tampak tebal. Ia mengenakan pakaian ser
“Tolong lepaskan aku dari tubuh ini, Bah.” pintaku. “Iya, Bah. Kembalikan lagi jiwa Nayara ke dalam tubuh ini, biarkan Indah keluar dari sana dan kembali ke tubuhnya,” pinta Ilyas pada kakek tua itu. “Kamu hanya bisa melakukan itu jika salah satu diantara Indah dan Lastri ada yang mati. Hingga kamu bebas memilih kemana akan kupindahkan jiwa Nayara. Apa ke tubuh Indah atau kembali ke tubuh Lastri yang ini?” ucap Kakek tua itu sambil tertawa. Aku terkejut dan ketakutan mendengarnya. Apakah kakek tua itu telah melakukan ilmu sakti yang pernah diceritakan oleh abah di Cibatu? Kalau benar itu, berarti bukan karena kalung bermana tengkorak elang dan bulu elang di rumahku itu? Tak lama kemudian kepalaku sakit kembali. Padahal baru saja aku ingin kabur dari sana. Sakitnya benar-benar tak terkira. Lalu lemas dan setelahnya gelap. Aku tidak sadarkan diri lagi. Aku membuka mata. Ternyata aku sudah berada di ruangan kamar rawat inap sebuah rumah sakit. Segera aku
Mendadak aku tersadar di sebuah tempat asing. Ya, aku tahu itu di mana. Aku sedang berada di pondok kecil kakek tua itu. Tapi aku sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuh yang aku rasuki itu. Aku yakin aku sedang kembali ke tubuh Lastri. Ku lihat kakek tua itu sedang merapalkan mantra di sebelahku. Dan kulihat Ilyas sedang duduk menunggu di dekatku. Aku sedang dibaringkan di atas panggung kecil yang terbuat dari bambu. Bebungaan dari berbagai jenis bunga dihamburkan ke tubuhku oleh kakek tua itu. Tak lama kemudian kakek itu meraih gayung batok kelapa dan menciduk air dalam guci besar, lalu menyiramkannya pada tubuhku dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Aku kedinginan, tapi aku tak bisa bergerak. “Setelah ini, tak ada yang bisa saling bertukar jiwa lagi. Salah satu tubuh diantara Lastri dan Indah yang kamu maksud itu akan gila. Jiwa Nayara akan kembali ke tubuh ini. Jiwa Indah akan kuserahkan pada mereka yang sedang menunggu di depan sana,” ucap Kakek tua itu pada Ily
Lelaki itu memanggil perempuan itu dengan nama indah. Lalu sakit di kepalaku menghilang. Bapak dan Ibu tampak panik melihatku. “Kamu kenapa, Nayara?” tanya Bapak khawatir. “Kepalaku sakit, Pak.” jawabku sambil menahan sakit di kepalaku. “Mungkin ini yang dikatakan dokter, Pak. Katanya jika ada gejala sakit kepala itu tandanya ingatannya akan kembali,” ucap ibu pada bapak. Bapak itu tampak tenang mendengarnya. Rumah itu tampak sederhana tapi ukurannya terlalu besar untuk rumah-rumah di pedasaan. Tapi pantas bapak mendapatkan semua itu, dia memiliki ladang pertanian yang luas yang memperkerjakan orang-orang desa untuk mengurus ladang pertaniannya. Kemarin kulihat orang-orang desa sangat menghormati bapak dan ibu.Ibu memegang tanganku. “Nayara,” panggil ibu dengan lembut. “Iya, bu.” jawabku. Bagaimana pun aku harus menganggapnya sebagai ibuku. Dan lelaki tua itu juga aku harus menganggapnya sebagai ayahku. Aku
Entin kembali melanjutkan kata-katanya padaku,“Kalian udah pacaran sejak SMA kelas satu. Bahkan sampe kuliah kalian masih bersama, tapi karena kedua orang tua kamu mau menjodohkan kamu dengan orang bandung, anak dari kenalan bapak kamu. Ilyas nyulik kamu pake motor, setelah itu ada kabar kamu masuk rumah sakit karena kecelakaan motor lalu menghilang. Ilyas nggak tanggung jawab, katanya bukan dia yang buat kamu koma. Polisi pun nggak dapet bukti apa-apa. Makanya jangan terima kalo dia ngubungin kamu lagi. Lebih baik kamu sama Rangga aja, dia baik, dia sering nanya-nanya tentang kamu ke aku,” ucap Entin menjelaskan segalanya padaku. Aku benar-benar bingung, banyak sekali kenyataan yang aku temukan setelah aku sadar. Soal Ilyas pun aku tak ingat apa-apa. Ini aneh, sungguh aneh. Akhinrya aku berdoa, semoga Tuhan kembali memulihkan ingatanku hingga aku bisa hidup tenang dan menjalani semuanya dengan baik tanpa perlu bertanya-tanya lagi tentang diriku sendiri. “Ter