"Apa kita akan kembali?" tanya Jaka karena jarak dari tempat mereka berada sekarang belum terlalu jauh dari rumah duka tempat terakhir supir ini bertemu Dumadi."Tidak. Aku rasa dia bisa pulang sendiri," ucap Bowo lalu menginjak gas dalam membuat mobil melaju dengan begitu cepat menyusuri jalan yang sama yang mereka lewati tadi.Jaka tidak bertanya lagi. Dia hanya diam sampai akhirnya mobil kembali ke kampung mereka.Entah kenapa dia merasa ada yang salah dengan Bowo yang meninggalkan Dumadi di Kediri padahal dia masih bisa menyusulnya."Aku turun di depan rumahku aja, ya. Nggak ikut ke pabrik," pinta Jaka saat halaman rumahnya mulai tampak di pelupuk mata."Ya, Mas. Nggak apa-apa. Aku juga cuma nyimpen mobil aja terus pulang,""Iya," Jaka menunggu sampai Bowo tiba di depan rumah lalu melangkah turun. Dia sempat melambaikan tangan sebentar lalu masuk ke dalam rumah dengan kepala yang tertunduk. "Padahal kalau dia mau menyusul Dumadi, pertanyaan itu pasti sudah terjawab," gumam Jaka s
"Ka, kamu harus tau kalau aku dan beberapa anggota keluarga lain menderita karena ini. Kami harap kamulah yang akan menuntut pembalasan ini hingga kami bisa kembali ke dunia yang seharusnya,""Apa?" tanya Jaka tidak mengerti."Iya, itulah alasan kenapa kamu harus membalas Irawan. Aku dan keluarga yang lain menunggu pintu pulang kami terbuka dan kalau tidak ada yang membantu kami maka kami akan selamanya seperti ini,"Jaka menatap pria yang membesarkannya ini dan kembali galau bukan kepalang. Mungkin ini alasan jawaban yang akan dikatakan Dumadi tadi, tapi keburu kepotong pekerjaan mereka, tapi dia semakin yakin jika dia harus menghadapi Irawan."Jadi kamu mau, kan?" tanya Gunawan sekali lagi."Iya, Yah. Kalau seperti itu adanya, aku akan menghadapi polisi jahat itu,""Bagus, kalau gitu Ayah pergi dulu. Kamu makan yang banyak biar besok bisa kerja lagi,"Gunawan kemudian melangkah mundur dan menghilang dari hadapan Jaka yang kembali me
"Kalau dia bukan ayahku, lalu siapa dia?" tanya Jaka menyadari jika penampakan wajah sosok yang ada di depannya kemarin bukanlah ayahnya."Iya, Mas. Kalau gitu, Mas harus hati-hati. Jangan sampai Mas diperdaya sosok jahat,""Benar, aku jadi paham kenapa kakakmu melarangku menuntut balas. Ternyata ini maksud perkataan Mbak Roro,"Jaka dan Darma melanjutkan langkah mereka menuju warung. Jaka sudah sangat lapar hingga begitu tiba dia langsung memesan makanan yang dia mau lalu melahapnya.Darma juga serupa. Pemuda yang ditinggal kedua orang tuanya ke kampung ini segera memesan menu yang memang menjadi favoritnya. Dia lalu makan dengan lahap dan siap membayar pesanannya setelah semua makanan pindah ke perutnya."Alhamdulillah," ucap Darma sambil menyodorkan uang 20ribu kepada pemilik warung."Ma, nggak usah. Biar Mas saja yang bayar,""Eh, Mas, jangan. Ibu tinggalin uang kok untuk Darma.""Jangan," Jaka melipat uang yang disodorkan Jaka lalu memasukkannya ke dalam saku bajunya. "Ini aja,"
"Aku nggak pernah tau kalau Irawan punya kembaran, Pak," lirih Jaka sambil mencoba memutar ingatannya. "Yang aku tau dia punya saudara laki-laki, tapi tidak tau kalau itu kembarannya,""Mmm,""Eh, tapi kenapa Bapak bertanya soal saudara Irawan?""Itu sebenarnya yang aku ingin tau lebih lanjut. Kabarnya, yang jahat itu kembarannya Irawan. Bukan Irawannya,""Kenapa begitu?""Irawan itu orang yang berbeda. Dia lembut dan sangat menyenangkan. Jadi kalau ada yang bilang dia jahat, ternyata banyak yang tidak percaya,"Jaka mengerutkan keningnya semakin dalam, menggaruk tengkuknya lalu menatap Dumadi yang sepertinya tau sesuatu tapi belum mau mengatakannya. "Apa tidak mungkin dia berubah karena karirnya di kepolisian?""Bisa saja, tapi aku tidak yakin. Apa mungkin dia berubah karena jabatan sampai dia mengorbankan keluarganya sendiri padahal dulu dia orang yang baik?""Aku bingung kalau kayak gini adanya.""Sama,""Astaga, padahal tadinya aku mau tanya Bapak, ternyata Bapak juga nggak tau,"
"Kenapa dia?" tanya Jaka menatap Irawan yang berdiri di depannya. "Ini pasti ada kesalahan,""Apanya yang salah?" tanya Danu yang tiba-tiba muncul dari balik dinding kantor. "Kamu lihat apa?""Pak," Jaka menurunkan kacamatanya lalu melirik ke arah Irawan yang tersenyum sinis. Jaka kebingungan dengan wajah Irawan yang begitu licik tapi tidak tertangkap oleh kacamata yang katanya ajaib ini."Apa itu?" tanya Danu berbisik lalu melihat lensa kacamata aneh itu lalu terkekeh. "Sepertinya kacanya lupa kau bersihkan,"Deg!Jantung Jaka berdegup kencang, dia sadar kalau apa yang dikatakan Danu benar adanya. Semenjak dia pungut, kacamata itu belum sempat dia gosok lensanya hingga mungkin terdapat kotoran yang menghalangi pandangan.Jaka lalu menggosok lensa dengan ujung bajunya lalu kembali memakainya dan benar saja, selubung hitam terlihat begitu jelas disekujur tubuh Irawan yang bisa disimpulkan Jaka adalah bukti kuat kalau pria ini jahat. Wajah Jaka seketika marah pada saudaranya ini tapi ha
"Apa, Mas?" tanya Bowo yang masih belum mengerti maksud dari perkataan temannya ini."Roro! Aku tiba-tiba merasa ada yang salah dengannya. Aku harus segera pergi ke...""Kemana?" tanya Danu lalu menyipitkan matanya. "Hari ini kamu ada kerjaan. Nanti saja perginya,""Tapi..." Jaka kembali terdiam, dia tau kalaupun saat ini dia harus menemui istrinya, dia tetap harus menyelesaikan tugas yang tidak bisa dia skip."Jadi gimana?" tanya Bowo masih bingung."Ya, Pak. Saya kerja dulu. Saya pasti selesaikan tugas ini, nanti setelah selesai, baru saya ketemu istri saya,""Ok, ini kerjaan cuma bentar, kok. Cuma antar ke rumah duka di Malang. Yang di Jalan Tenaga. Setelah itu kamu boleh pulang."Jaka menggangguk pelan lalu mendekat ke arah Danu. "Kalau saya kerjakan, apa saya langsung dibayar?""Tentu," jawab Danu lalu menuju mejanya memberikan dua amplop yang dipojok kanan atasnya terdapat nama masing-masing petugas. "Ini untuk Bowo, ini untuk Jaka,"Jaka menggangguk pelan, dia lalu membalikkan
"Iya," jawab Jaka lalu melangkah cepat menuju bus yang akan membawanya pergi menjenguk istrinya.Sore itu suasana terasa syahdu setelah titik-titik hujan mulai membasahi jalan yang dia lalui. Matanya terasa berat hingga akhirnya kelopaknya menutup rapat menariknya dalam lelap.Bus berjalan semakin kencang saat tiba di pintu tol dan setiba di penyeberangan, mata hitam Jaka akhirnya terjaga."Kita akan menyeberang?" tanya Jaka pada kernet bus yang menghampirinya. "Benar, tidak lama. Hanya 30 menit. Bapak duduk saja,""Siap," jawab Jaka lalu kembali terlelap selama bus menyeberangi selat.Ini bukan pertama kalinya dia menyeberang, tapi entah kenapa kali ini rasanya begitu lambat. Dia tidak sabar tiba, tapi laju kapal masih saja lambat.Mata Jaka yang lelah tertidur akhirnya menyapu sekeliling dan baru menarik senyumnya saat akhirnya pelabuhan di seberang selat mulai menyalakan lampu.Hari sudah malam hingga Jaka mulai merasa lapar. Tidak ada yang bisa dia lakukan di tempat duduknya sela
Malam itu Roro dan Jaka terus berbincang tentang semua yang terjadi selama mereka tinggal terpisah. Roro percaya saja saat Jaka mengatakan jika dia sudah tidak ada hubungan lagi dengan Irawan, saudara sepupunya yang mereka yakini adalah orang dibalik semua ini.Jaka memang sengaja berbohong demi ketenangan istrinya yang sedang mempersiapkan persalinannya."Hey, kamu sudah di sini?" tanya mertua laki-laki Jaka dengan sinis. "Kamu masih berani datang rupanya?"Jaka mengertukan keningnya lalu berdiri sambil menatap pria tua yang wajahnya terlihat begitu lelah."Pak, maaf baru ketemu. Jaka...""Nggak usah minta maaf," potong Bapak begitu ketus. "Kamu berani datang aja Bapak udah senang."Meski mengatakan kata 'senang' tapi sungguh wajah itu tidak menampakkan kesenangan. Lebih ke wajah kesel dan itu tidak bisa dibohongi. "Kamu mau apa kemari?" tanya Bapak melirik ke arah menantunya yang belum sempat membaringkan tubuhnya setelah perjalanan yang panjang."Mau ketemu Roro, Pak. Lama tidak j