Share

Bab 3

"Uuhh..."

Hazel melenguh, membuka mata, iris matanya yang hijau tampak buram ketika dia mencoba membuka matanya lebih lebar menyisir keadaan ruangan.

"Kenapa tubuhku terasa begitu nyeri?" keluh Hazel mencoba menggerakkan tubuhnya. "Aduh, tubuhku seperti di amuk separuh penduduk kota." Hazel mencoba mengangkat kepalanya.

Saat dia menoleh ke samping, pupil matanya membelalak melihat Jonathan tidur di sampingnya dalam penglihatan yang tidak baik. Sontak, kepala Hazel mundur dengan refleks.

Dengan panik, tangan Hazel meraba area meja kecil di samping tempat tidur. "Kacamataku," dia tampak panik.

Akan tetapi, ia tidak menemukan kacamatanya. Hazel merasakan detak jantungnya meningkat, kepanikan semakin menjadi. Wanita itu mengingat-ingat, mencoba mengumpulkan potongan-potongan memori yang kabur dari malam yang sudah berlalu.

"Astaga, aku tidak percaya jika aku melakukannya dengan atasanku sendiri." Hazel menggigit bibir, gelisah. Dia ketakutan.

Semalam, bukan hanya satu kali Hazel dan atasannya melakukan hubungan terlarang itu. Tapi, sampai empat kali. Setelah di tepi kolam, mereka berdua melanjutkan hubungan terlarang itu di kamar Jonathan.

"Aku benar-benar sudah gila. Setelah ini, aku mau meletakkan wajahku di mana? Apakah wajahku harus aku sembunyikan di bawah kerak bumi?!" Hazel menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan karena malu.

Wanita itu merasa seakan-akan tenggelam dalam lautan rasa bersalah dan keputusasaan. Dia merasa seperti terperangkap dalam labirin tanpa jalan keluar.

"Aku harus segera pergi dari sini sebelum Jonathan bangun!" Hazel menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. "Degh!" dia harus kembali tercengang saat melihat tubuhnya yang polos penuh dosa.

"Bodoh, mengapa kau begitu murahan, Hazel?" Hazel mengutuk dirinya sendiri atas apa yang terjadi di dalam dirinya. "Cukup, saat ini, bukan untuk menyesali apa yang sudah terjadi. Sekarang waktunya aku harus pergi dari sini."

"Haaa..."

Hazel menghela nafas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatannya. Dengan keadaan tubuh yang masih terasa seperti diremukkan, Hazel bergerak perlahan-lahan, berusaha turun dari tempat tidur sebelum Jonathan terbangun.

"Ya... Ampun, kacamataku hilang. Dan pakaianku entah kemana," gumam Hazel. Dia merasa seakan -akan tertimpa kesialan yang tidak ada habisnya.

Ketika kemelut pikirannya berkecamuk, sorot mata Hazel yang buram namun masih dapat melihat pun tertuju ke arah lemari pakaian yang berada di dalam kamar mewah itu.

"Semoga ada pakaian yang bisa aku pakai," bisik Hazel, berusaha turun dari tempat tidur tanpa membuat suara apapun. Dia merasa seperti seorang pencuri dalam rumah atasannya sendiri, dan perasaan itu membuat rasa bersalahnya kian bertambah.

Setelah berjalan dengan sangat hati-hati, Hazel mencapai lemari pakaian. Wanita itu membuka pintunya dengan perlahan, berharap akan menemukan pakaian yang bisa dia pakai.

"Syukurlah, ada kemeja Jonathan di sini."

Hazel merasa lega ketika matanya menangkap kemeja yang tampaknya bisa dia pakai. Cepat-cepat Hazel berpakaian, berusaha menutupi tubuhnya yang polos.

Setelah berpakaian, Hazel merasa sedikit lebih baik. Meski kemeja yang dikenakan oleh Hazel menelan tubuh mungilnya.

"Demi Tuhan, semoga Jonathan tidak bangun sebelum aku berhasil keluar dari sini," bisik Hazel dalam hati sambil mencoba membuka pintu dengan sangat hati-hati. Setiap derit pintu terdengar bagai petir di telinganya yang panik. Akhirnya, pintu terbuka dengan pelan, dan Hazel melangkah keluar dari kamar dengan nafas lega.

"Nona, anda mau kemana?!"

Hazel tersentak saat mendengar suara teriakan seorang penjaga Mansion. Hazel berhenti seketika, jantungnya berdegup kencang.

Hazel menengok. "Maaf, saya harus pulang!" Kata Hazel yang langsung berlari.

Sekuat sisa tenaga Hazel berlari, walaupun ia merasakan sakit di bagian intimnya. Namun yang lebih penting, ia harus pergi. "Kacamataku, tasku dan juga bajuku tentu dipinggir kolam. Ya ... Aku harus mengeceknya ke sana!" Hazel berlari dengan cepat ke arah kolam yang ada di halaman belakang Mansion.

Sesampai di sana, dia berhenti untuk mencari kacamata, tas, dan bajunya yang ditinggalkan semalam. Hazel meraba-raba sekitar kolam dan perlahan-lahan menemukan barang-barang miliknya.

"Sudah kutemukan semuanya!" ucap Hazel lega sambil mengambil barang-barang itu. Wanita itu dengan buru-buru memakai roknya. Dan yang ia tinggalkan di sana hanya kemejanya saja.

Sebelum melangkah, Hazel menatap ke arah mansion dengan perasaan cemas dan sedih. Dia tahu bahwa semua perbuatan yang dia lakukan dengan atasannya itu keliru dan tidak bisa diterima. Dia yang seharusnya dapat menghindari perbuatan terkutuk itu, namun dia terjebak dalam situasi yang tidak bisa dia kendalikan.

"Apakah setelah ini aku akan berhenti bekerja dan mengundurkan diri?" gumam Hazel. "Haaa..." Hazel membuang nafas panjang. "Nanti saja dipikirkan masalah pekerjaanku." Setelah itu, Hazel pun melangkah meninggalkan Mansion yang ia anggap sebagai mimpi buruk antara ia dan Jonathan.

Sementara itu, Jonathan berdiri dengan piyama menatap kepergian Hazel dari kaca transparan di dalam kamarnya. "Buah persik yang manis, hanya aroma dari parfum murahanmu, aku bisa-bisanya terjerat oleh wanita Kacamata Kuda sepertimu, Hazel. Memalukan!" gumam Jonathan.

Jonathan sudah mencoba mencari wanita yang bisa membuatnya bergairah. Namun, wanita-wanita di luar sana tampak biasa saja dan sama saja. Jonathan akan hilang selera setelah melihat tubuh wanita-wanita itu. Ia tidak akan segan-segan meninggalkan mereka tanpa melakukan hal yang lebih jauh.

Namun... Tidak dengan Hazel, saat mencium bau parfum murahan dari sekretarisnya, seketika hasratnya memuncak dengan liar. Meski dia tidak tahu apa yang membuatnya begitu bergairah pada wanita yang sebelumnya membosankan baginya.

Tok, tok, tok!

Saat memperhatikan Hazel dari kaca jendela, ketukan pintu kamarnya berbunyi. "Masuk!" Perintah Jonathan.

Carl, seorang bawahan Jonathan melangkah masuk. "Tuan, Nona Hazel—"

"Biarkan dia pergi. Jangan menahannya."

Carl membungkuk. "Baik, Tuan. Saya permisi," kata Carl undur diri.

Sorot mata biru jernih itu tidak lepas dari punggung Hazel yang semakin menjauh dari kediamannya.

"Kau tidak akan lolos dari genggamanku, Hazel. Kau yang datang menyerahkan takdirmu untuk aku permainkan." Jonathan bergumam sambil mencengkram buah persik di dalam genggaman tangannya, dan buah persik itu pun hancur di genggaman Jonathan.

Tiba-tiba ponsel Jonathan berdering. Pria itu memutar tubuhnya dan melangkah ke arah meja kecil di mana ponsel Jonathan tergeletak. Dengan cepat, Jonathan mengambilnya dan melihat layar untuk melihat siapa yang menelepon. "Halo," sapa Jonathan.

"Halo, Jonathan. Apakah kau sudah siap-siap untuk menjemput Natasya? Segera, Jangan membuat calon istrimu menunggu terlalu lama di bandara."

Dengan wajah yang selalu tenang, Jonathan melirik ke arah jam dinding. Sudah pukul sepuluh pagi. Natasya akan tiba dalam waktu kurang dari dua jam.

Jonathan menghela napas dan menjawab telepon tersebut, “Ya, aku akan segera menuju bandara untuk menjemputnya.”

"Segera, Nathan!"

Tanpa menjawab, Jonathan memutuskan sambungan teleponnya yang berasal dari ibunya itu. Pandangan Jonathan kembali teralihkan dengan buah persik yang sudah hancur di telapak tangannya.

"Hazel," gumam Jonathan dengan nada yang dingin, wajahnya dipenuhi dengan raut kepuasan yang jahat. "Tidak ada yang bisa melarikan diri dari Jonathan Parker."

Dengan langkah mantap, Jonathan meninggalkan kamarnya menuju ruang tengah untuk sarapan dan menyiapkan diri menjemput Natasya, calon istrinya yang sudah menjadi jodohnya sejak ia kecil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status