Celine membuka pintu gubuk, tempat dia meninggalkan laki-laki asing kemarin dengan hati-hati. Sesuai janjinya, dia datang untuk memastikan keadaannya sembari membawa makanan dan beberapa perban serta obat-obatan. Entah keberuntungan atau apa, hari ini dan besok adalah hari di mana dia mengambil cuti. Celine lelah karena hampir tidak pernah mendapat hari libur. Dia juga ingin berkumpul dengan keluarganya. Meski saat ini, setelah menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya, dia menyempatkan diri untuk datang dan melihat keadaan laki-laki ini.
Masih sama. Laki-laki tersebut masih terbaring dengan kain yang kemarin membalut lukanya dan jaket miliknya yang menjadi selimut. "Kau masih hidup, ya?" ujar Celine saat tangannya menyentuh kening si laki-laki dan terasa hangat.Bibir yang kemarin pucat karena kehabisan darah juga sudah tampak sedikit memerah. Ini pertanda bagus. Tak menyangka jika apa yang dilakukannya cukup berhasil. Kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Celine senang, hingga dia lantas mengeluarkan pakaian milik suaminya, yang sudah tidak lagi digunakan dari dalam tas yang dibawanya. Bagaimana pun juga, dia tidak bisa membiarkan laki-laki ini begitu saja. Hati nuraninya terus mengatakan untuk membantu laki-laki asing tersebut.Tanpa ragu, Celine menyingkap jaket dan melihat tubuh laki-laki itu yang terbalut kain. Darah terlihat sangat jelas pada kain yang dia ikat sangat kencang itu. Namun begitu dibuka, darah itu sudah berhenti mengalir. Celine merasa lega begitu melihatnya. Segera saja dia melanjutkan tugasnya untuk mengganti perban itu dan memberi cairan antiseptik.Terdengar erangan lirih saat dia mengobati laki-laki itu. Membuatnya menjadi lebih berhati-hati. "Semuanya sudah selesai, kau akan baik-baik saja."Celine berusaha menghapus kerutan di dahi laki-laki itu. Menyingkirkan rambut hitam yang menghalangi wajahnya. Akan tetapi saat dia akan menariknya, tangannya tiba-tiba digenggam kuat. Mata yang awalnya terpejam pun mulai terbuka. Membuat Celine harus tersentak saat matanya bertemu tatap dengan mata hazel milik laki-laki yang dia tolong. Beberapa saat, Celine seperti dibuat terhipnotis oleh tatapannya. Dia sampai tidak bisa mengalihkan pandangannya.Kenapa dia baru sadar jika laki-laki ini memiliki paras yang tampan? Alis yang tegas, hidung yang mancung dan bibir yang tebal, juga garis rahang yang kokoh. Ditambah, mata Hazel yang indah."Siapa kau?""Apa?" Celine membelalakkan matanya. Dia mengernyitkan dahi merasa aneh setelah mendengar pertanyaan laki-laki ini. "Bukankah aku yang seharusnya bertanya seperti itu? Siapa kau?"Laki-laki asing itu mendengkus tak percaya, sembari menahan sakit. "Bukannya kau sudah tahu siapa aku?"Celine semakin tidak mengerti dengan jawaban laki-laki itu. Ekspresi wajahnya benar-benar menunjukkan rasa kebingungan. Dia berusaha menarik tangannya dan mengambil makanan yang tadi dia bawa pada laki-laki itu. "Makanlah, aku tidak bisa lama-lama. Aku harus pergi. Jika kau sudah sehat, tolong pergilah dari sini."Dibanding dia harus terus membalas dan berujung pada perdebatan yang sia-sia, Celine memilih untuk langsung mengakhiri semua ini saja. Lagi pula, dia tidak berniat terlibat terlalu dalam dengan laki-laki asing ini. Ditambah hari ini Celine memiliki waktu untuk bersama keluarganya."Tunggu! Kau adalah suruhan mereka 'kan? Apa yang kaulakukan semalam padaku?" Lagi-lagi, tangan Celine dicengkeram olehnya. Membuat dia sama sekali tidak bisa beranjak dari gubuk itu. Matanya menatap kesal pada laki-laki asing yang berkali-kali mengajaknya bertengkar setelah terbangun dari sakitnya. Harusnya dia yang bertanya! Siapa, bagaimana, dan apa yang terjadi pada laki-laki ini?"Apa kau benar-benar tidak ingat apa yang terjadi semalam? Kau terluka, tubuhmu tergeletak di jalan dan kau memohon agar aku menolongmu. Aku menyeretmu ke tempat ini dan mengobati semua lukamu. Itu semua yang terjadi," jelas Celine panjang lebar. Dia tidak mau disalahkan oleh laki-laki ini.Mata hazel itu tampak beralih menatap tubuhnya. Memerhatikan perban yang sudah Celine ganti. Darah pun tak lagi terlihat di sana. Tubuh itu menjadi bersih dibanding semalam. Hingga potongan kejadian berputar di kepalanya. Membuat dia menggeram marah. Sialan. Dia ingat kalau kejadian semalam adalah karena pengkhianatan bawahannya sendiri. Semua ini karena ulah dari mereka."Jadi kau bukan suruhan mereka?"Nada suaranya masih terdengar sedikit tidak yakin. Namun Celine memilih mengangguk. "Ya, aku hanya menolongmu. Aku pikir, kau akan mati, tapi sepertinya Tuhan masih menyayangimu. Dia memberimu kesempatan untuk kembali hidup. Sekarang, makanlah agar kau cepat sembuh."Tidak langsung menjawab, laki-laki asing itu malah menatap Celine dengan lekat. Tidak sedikit pun terlihat rasa canggung di sana. Sampai dia kemudian mengambil makanan yang disodorkan oleh Celine dan mencoba untuk memakannya. Namun karena posisinya yang tertidur, dan tangan kanannya yang sakit, dia jadi kesulitan untuk makan dengan benar. Berkali-kali mencoba tetap tidak berhasil. Membuat Celine yang melihatnya menjadi gemas sampai dia merebut makanan itu saat akan jatuh."Aku akan menyuapimu. Sebelum itu, lebih baik kau pakai baju ini."Celine memerlihatkan kaos hitam polos milik suaminya yang sudah tidak terpakai pada laki-laki itu. Dia dengan cepat mengangkat kepalanya dan memakaikan baju tersebut. Hanya berbalut perban saja sangat tidak enak untuk dilihat. Beruntungnya, laki-laki itu mau menurut dan tidak banyak bicara. Meski matanya tak henti menatap Celine yang sibuk membantunya. "Sepertinya sangat pas, aku pikir akan sedikit longgar, tapi sudahlah. Sekarang kau harus makan." Celine menyendokkan makanan ke dalam mulut laki-laki itu dengan hati-hati. Menyeka remahan nasi yang terlihat di bibirnya. Sedang laki-laki itu hanya diam dan menatap Celine dengan lekat. "Aku belum tahu siapa namamu.""Dom. Dominic.""Dominic? Hanya itu?"Laki-laki bernama Dominic itu mengangguk tanpa ragu. Membuat Celine langsung mengangguk paham."Kau ... siapa namamu?""Aku Celine. Kenapa kau bisa ada di sini semalam? Siapa yang melukaimu?" tanya Celine tanpa menghentikan tangannya yang terus menyuapi laki-laki tersebut. "Aku tidak ingat.""Kau tidak ingat? Bagaimana bisa?"Celine menatap Dominic penuh selidik, tetapi laki-laki itu justeru malah memalingkan muka. Seperti enggan memberi tahu apa yang terjadi dan siapa yang melukainya. "Hah, terserah saja. Jika kau sembuh, segeralah pergi dari sini. Keluargamu pasti sedang mencarimu sekarang."Disimpannya kembali makanan yang ada di dalam kotak makan itu saat Dominic sudah tidak mau lagi memakan makanannya. Celine membereskan apa yang tadi sempat dibawanya. Juga pakaian milik Dominic yang sudah dia robek-robek. "Minum obatnya dan ini makan siangmu. Tidurlah dan istirahatkan tubuhmu.""Kenapa kau menolongku sebanyak ini? Aku bukan siapa-siapamu." Pertanyaan itu meluncur dengan lancarnya saat Dominic sudah tidak lagi mampu menahan rasa penasaran akan apa wanita ini memiliki maksud terselubung atau tidak? Apakah wanita ini benar-benar tidak tahu siapa dia? "Jangan tanya itu padaku, karena aku juga tidak tahu. Mungkin Tuhan tidak mau melihatmu mati lebih cepat dari pada yang seharusnya, makanya dia membuat hatiku tergerak untuk menolongmu."Terdengar kasar dan seolah tidak peduli, namun jawaban dari Celine berhasil membuat Dominic terdiam seribu bahasa. Selama ini, tidak ada yang mengingatkannya pada Tuhan. Bahkan di saat-saat dia merasa akan mati semalam. Baru kali ini, ada seseorang yang menjawabnya seperti itu. Dia hidup karena Tuhan masih menyayanginya?"Apa kau akan datang lagi?" Dominic menatap Celine yang kini sudah hampir menutup pintu. Sungguh. Dia sama sekali tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Apalagi kakinya yang masih kaku. Mungkin karena efek syok yang dia terima semalam atau karena kekurangan darah. Hanya tangan kirinya yang masih bisa digerakkan. Selebihnya, cukup sulit."Aku tidak tahu."Sejurus kemudian, pintu pun ditutup. Dominic hanya bisa menatap pintu dengan pandangan berpikir. Dia masih belum mengetahui identitas wanita itu. Hanya nama yang dia tahu. Namun setidaknya, dia harus bersyukur karena masih selamat berkat wanita itu. Celine menahan pendarahan yang terjadi karena luka tusuk. Meski tubuhnya masih sangat lemah. Wajar karena dia kehilangan banyak darah.Saat sudah sembuh nanti, dia berjanji akan membalas semua pengkhianatan anak buahnya itu. Dia akan memberi mereka pelajaran yang tidak pernah terlupakan.Celine menatap anaknya yang tertidur setelah lelah bermain seharian. Wacananya untuk mengajak Arion main di taman tidak bisa terealisasi, karena dia tidak mungkin meninggalkan Rayyan di rumah. Alhasil, dia menemani anaknya bermain di rumah dengan mobil-mobilan yang baru dia belikan. Menyanyikan lagu tidur seperti biasa, sampai akhirnya Rayyan datang dengan kruk di tangan kanannya. Berjalan pelan menuju ke arahnya."Arion sudah tidur?""Ya, dia pasti lelah." Celine terkekeh melihat anaknya yang tidur di pangkuannya."Harusnya kamu pergi bersamanya, tidak usah memedulikanku." Rayyan mengusap Arion dan mengecup kening putranya. Lalu beralih mengecup bibir Celine. Merasa kasihan melihat istrinya yang kelelahan seperti ini. Padahal Celine mengambil cuti untuk beristirahat. Namun istrinya justru malah kelelahan seperti ini."Kamu bicara apa, Rayyan. Aku sengaja mengambil cuti agar bisa bersama kalian." Celine berdecak kesal mendengar suaminya yang selalu mengatakan unt
"Enghh, Ray–yan ...."Celine menatap wajah Rayyan yang memerah di bawahnya. Suaminya tampak menahan gairah karena godaan yang dilakukannya. Tubuh mereka banjir oleh peluh hingga suhu tubuh di sekitar mereka mendadak terasa panas. Namun itu tak menyurutkan Celine untuk terus menggerakkan pinggulnya. Mencari kepuasan yang jarang dia dapatkan."Ce-celine ... kamu sangat cantikh ...."Rayyan mengusap peluh yang membasahi tubuh istrinya. Dia membiarkan Celine melakukan apa yang diinginkannya. Celine yang seperti ini tampak benar-benar sangat seksi. Tubuh istrinya yang selalu ingin dia sentuh. Sampai akhirnya, Celine menurunkan tubuhnya dan membelit lidahnya dengan intens. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa puasnya Rayyan dengan sang istri. Dia melumat bibir penuh Celine, mencecap dan bertukar saliva. Meredam desahan panjang saat mereka sampai pada titik kepuasan.Celine melepas pagutan bibir mereka dan jatuh di tubuh suaminya dengan napas tersengal-s
"Kau yakin tidak mau ke rumah sakit atau ke kantor polisi? Kau bisa menangkap orang yang melukaimu dan kembali pada keluargamu," ujar Celine yang kini menatap Dominic makan.Pagi ini, dia juga memberi laki-laki itu sarapan, setelah sebelumnya berpamitan pada sang suami. Rayyan sudah memahami dan mengizinkannya tanpa banyak tanya. Celine menyempatkan untuk melihat Dominic pada saat sebelum dan sepulang kerja, itu pun jika hari masih sore, karena dia tidak berani lewat ke arah sini ketika hari sudah malam. Celine memilih jalan yang ramai, meski itu cukup jauh."Kau tidak perlu datang jika aku membebanimu," balas Dominic tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan di depan mata."Sepertinya kau salah paham, aku tidak mengeluh karena harus merawatmu. Aku hanya berpikir, mungkin keluargamu sedang mencarimu. Kau tahu, keluarga adalah satu-satunya yang paling berarti."Celine tidak ingin Dominic menyalahartikan perkataannya. Dia hanya khawatir karena l
"Kerja bagus, Celine, karena bantuanmu, restoran mengalami peningkatan pengunjung," puji sang manajer pada Celine. Dia terkesan dengan ide wanita itu yang membuat harga miring khusus untuk para pasangan tanpa harus merugikan restoran. Menargetkan para muda-mudi yang memang menghabiskan waktu untuk kencan. Serta menambah beberapa varian baru di menu makanan.Kini, di akhir pekan, restoran menjadi sangat ramai. Pengunjung yang kebanyakan anak muda datang bersama pasangannya. Terlebih mereka yang berniat merayakan hari valentine. Tak hanya pasangan, namun ada juga paket istimewa untuk mereka yang menghabiskan waktu akhir pekan bersama keluarga.Restoran yang memang berada di pusat kota dan memiliki tanah yang luas, membuat mereka bisa memakai area luar dan menciptakan pemandangan kota di malam hari. Hiasan yang dibuat senatural mungkin dan senada dengan alam dengan sedikit kesan yang menunjukkan hari valentine serta area berfoto bagi para pasangan atau keluarga."S
Dominic menatap rumah sederhana di depannya. Dia ikut masuk saat laki-laki yang tadi mengajaknya itu, mempersilakan dia masuk. Matanya seketika menjelajahi rumah tersebut. Memerhatikan dengan teliti. Sempit dan kecil, namun sangat bersih. Membuatnya tak henti menatap sekitar. Hingga dari arah salah satu ruangan, tiba-tiba muncul seorang anak kecil sambil mengganti seragam sekolahnya."Papa!" serunya, cukup memekakkan telinga Dominic yang ada di sisi pria itu. Dia hanya diam melihat si bocah tersebut memeluk pria di sebelahnya. Seolah senang dengan kedatangannya. Namun tidak dengan Dominic.Anak kecil adalah hal yang sangat mengganggu dan membuatnya terkadang kesal dengan keberisikkan mereka. Akan tetapi, dia yang merupakan tamu jelas tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa diam memerhatikan keduanya. Sedikit tak terduga jika ternyata pria di sebelahnya telah memiliki anak. Dia pikir, pria itu masih lajang."Papa 'kan nggak boleh ke mana-mana. Nanti kalau Mama tahu ba
"Ka-kau? Kenapa bisa ada di sini?" Mulut Celine terbuka dan matanya terbelalak. Dia kaget sekaligus tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dominic, laki-laki yang dia kira sudah pergi justru ada di depan matanya. Bagaimana mungkin Dominic bisa tahu rumahnya? Matanya seketika beralih menatap sang suami yang masih tersenyum. Rayyan seperti tidak tahu apa yang terjadi. "Rayyan, kenapa kamu membawa orang asing masuk?""Kamu mengenalnya, Sayang? Kami tidak sengaja bertemu tadi. Dia membutuhkan pertolongan dan aku hanya membantunya," jawab Rayyan dengan santai. Berbeda dengan Celine yang seketika menepuk jidatnya. Dia sengaja tidak memberitahu Dominic tempat tinggalnya karena takut kalau laki-laki itu orang jahat, tapi suaminya dengan sangat polos mengatakan membantu orang dan membiarkannya masuk?"Dia adalah orang yang kuceritakan kemarin."Rayyan menatap Celine heran, sebelum sang istri mengatakan tentang orang yang ditolongnya. Membuat Rayyan memutar kembali ingat
Cahaya yang hanya berasal dari lampu tidur, tak terlalu membuat Dominic bisa melihat kamar dengan jelas. Meski iris matanya bisa melihat sofa bed yang dimaksud oleh Celine juga Rayyan. Ada Arion yang saat ini tengah terlelap di ranjang. Ini sedikit tidak nyaman. Sudah dikatakan kalau Dominic tidak menyukai anak kecil, tapi kini dia harus tidur bersama salah satu dari mereka. Apa boleh buat, dia juga tidak mau tinggal di gubuk itu lagi.Dalam remangnya cahaya, Dominic melihat sekeliling kamar Arion yang tampak cukup besar. Matanya melihat ada rak mainan dan lemari pakaian. Sampai berhenti dan menatap Arion yang tertidur menghadap ke arahnya. Siapa anak kecil ini? Arion memanggil Rayyan, Papa dan Celine berkata anak. Apakah mungkin jika Rayyan dan Celine ...?Dominic terdiam. Semua ini tak ada urusannya dengan dia. Mau Celine sudah menikah atau tidak, dia tidak punya urusan. Walau dia merasa sedikit aneh, kenapa wanita itu masih mau bersama pria yang bahkan berjalan saja sus
Sia-sia Dominic menunggu kedatangan ayahnya. Pasti tua bangka itu sedang bersenang-senang bersama ibunya tanpa dia. Sampai matahari berada di atas kepala, tak terlihat sedikit pun batang hidung ayahnya atau anak buahnya datang. Hal yang membuatnya bosan setengah mati karena berada di dalam rumah.Tidak ada Celine di sini. Hanya Rayyan dan Arion yang sejak tadi tengah belajar bersama, setelah anak itu pulang dari sekolah. Biasanya, anak seusia Arion akan memilih bermain bersama anak-anak lain dari pada menghabiskan waktunya untuk belajar. Namun Arion sedikit berbeda. Entah ini hanya dugaannya saja atau memang dia merasa anak kecil itu cukup pintar. Tidak berisik dan banyak mengganggu seperti anak-anak lain."Papa, Al lapar. Al mau makan."Ucapan Arion mengalihkan perhatian Dominic. Dia menatap anak tersebut dengan alis terangkat. Di depan Arion terlihat Rayyan yang juga menatap anaknya. Buku yang dia pegang untuk mengajari sang anak, diletakkan kembali di atas me