Share

Energi, Luka, Tian

Sepuluh tetes kombinasi minyak esensial grapefruit, lemon, dan rosemary menjadi aroma pilihan Irene untuk menyegarkan udara kamarnya sore ini. Di luar sedang hujan, dan ia baru selesai mandi. Kombinasi yang sangat pas untuk menenangkan diri di waktu petang.

Irene duduk di meja rias, mulai merawat wajah dan tubuhnya. Ia sedikit mencelos ketika tangannya tak sengaja menyentuh guratan kusam bekas luka yang melintang di atas dada kirinya. Luka fisik akibat ujung besi tumpul itu sudah lama mengering, tapi Irene masih merasa ngilu setiap kali mengingat bagaimana ia mendapatkan bekas luka permanen itu.

“Sakit."

Irene bergumam singkat, sedikit menyuarakan isi hatinya. Namun, ia tidak ingin mengenang luka itu sekarang. Ia lebih memilih untuk memulihkan energinya yang terasa habis setelah bertemu dengan banyak orang hari ini.

Memang menyenangkan bertemu kembali dengan teman-temannya setelah seminggu penuh menyendiri, apalagi banyak teman baru yang akan ia kenal di summer class nanti. Satu-satunya yang tidak menyenangkan hari ini adalah dirinya yang harus kembali bertemu dengan pria itu, Raka Januar.

Pandangan Irene lantas teralihkan pada sebuah sapu tangan berwarna merah marun di laci. Itu adalah sapu tangan milik Januar. “Segitu nggak mampunya kuliah ke luar negeri sampai betah kuliah di kampus yang sama sampai S3?”

Tangan kanannya lantas terulur, menyentuh permukaan sapu tangan polos yang ia lipat rapi. Perlahan ia memejamkan mata, dan tak butuh lama untuknya kembali merasakan ‘energi’ si pemilik sapu tangan itu dari sana.

Tidak direka-reka, Irene memang memiliki bakat materialistik seperti itu sejak kecil, tepatnya sejak ia berumur tiga atau empat tahun. Irene dapat merasakan energi benda-benda di sekitarnya, baik itu adalah sesuatu yang hidup, atau sesuatu berada di antara hidup dan mati. Irene tak dapat melihat wujud energi itu, ia hanya bisa merasakannya. Ia bahkan tidak pernah melihat satu pun sosok astral di sekitarnya.

“Apa dia memang seorang indigo satanis? Energinya bukan energi manusia biasa,” gumam Irene usai merasakan energi Januar yang terasa asing untuk kesekian kalinya.

Tidak seperti kebanyakan orang yang merasa ngeri akan rumor yang beredar tentang Januar, sebaliknya Irene justru tertarik. Beberapa kali ia melihat Januar berjalan sendirian sembari berbisik-bisik dengan seseorang, padahal tidak ada siapa-siapa di dekatnya saat itu.

Rumor itu bahkan sudah menarik baginya sejak empat tahun lalu, saat Januar menyeretnya ke gudang logistik sekretariat BEM. Saat itu, Irene merasakan dua energi kontras menyerang tubuhnya. Satu energi panas membakar seperti api, satu lagi energi dingin membekukan seperti es. Kedua energi itu tidak dimiliki manusia biasa.

Energi manusia cenderung terasa tentram seperti air atau tanah, maka hanya ada dua kemungkinan untuk menjawab keanehan itu. Pertama, bahwa Januar adalah manusia penganut satanisme yang menerima energi supranatural, atau Januar memang bukan manusia biasa. Rumor itu pun bisa jadi benar, dan Irene sekedar mencari tahu untuk bersenang-senang.

“Kalau dia masih memiliki energi es di samping energi api, apa mungkin dia masih manusia karena peleburan dua energi itu akan membentuk air?”

TOK! TOK!

Belum sempat Irene menjawab pertanyaannya sendiri, suara ketukan pintu yang menggema membuyarkan lamunannya. Ah, itu pasti Riyanto, ayahnya. “Masuk aja, Yah!”

“Ayah dengar dari bibi katanya kamu ada summer class mulai minggu depan. Betul?” Riyanto tak berbasa-basi, ia bahkan tak berniat untuk sekedar duduk di kursi kamar sang anak. Riyanto selalu terburu-buru, entah apa kesibukannya.

“Iya, Yah.”

Summer class itu ngapain aja? Memperdalam keilmuan sesuai jurusan kamu dengan aktivitas praktik lapang? Kalau begitu, cari mata kuliah lain saja, jangan politik. Sudah cukup empat tahun kamu nekat membantah ayah mempelajari bidang itu.”

Luntur sudah senyum tipis di wajah Irene. Ia lupa, bahwa hanya hal-hal seperti inilah yang Riyanto pedulikan darinya. Riyanto kembali mengekangnya, melarangnya ini dan itu atas dasar ketakutan dan trauma masa lalu.

“Memang kenapa sih, Yah? Hanya karena aku mengambil jurusan yang sama kayak Mas Tian—“

“Hanya karena? Kamu menganggap enteng pasal hilangnya kakak kamu itu? Iya?!” sergah Riyanto tanpa mendengarkan Irene selesai bicara.

Irene diam, tak berani menjawab sentakan Riyanto. Ayahnya masih selalu sentimental, sensitif setiap kali ada yang menyinggung tentang hilangnya Tian, anak sulungnya dua belas tahun lalu. Semua yang dianggap menjadi penyebab hilangnya Tian disangkut pautkan, dijadikannya larangan untuk Irene, sang adik sekaligus satu-satunya anggota keluarga Riyanto yang tersisa.

“Apa ini?”

Riyanto mengambil selembar kertas yang tergeletak di atas tempat tidur Irene, membacanya dengan alis menukik usai melihat sebuah logo yang sangat familiar.

“Aish, sial!” sesal Irene dalam hati. Kertas undangan BEM SI yang dibacanya sebelum mandi tadi malah lupa ia sembunyikan.

“Kamu masih ikut BEM?” tanya Riyanto. “Kamu masih ikut kegiatan-kegiatan seperti ini? Harus berapa kali ayah bilang untuk jauh-jauh dari politik, aksi, dan demonstrasi, Irene?!”

Riyanto mengeraskan rahang dan urat-urat tangannya, menunjukkan amarah. Ia tak ragu membentak Irene, menunjuk-nunjuk wajahnya meski anak gadisnya itu tampak tak menunjukkan rasa takut. Irene hanya menunduk karena rasa segan dan hormatnya pada orang tua. Itulah persamaannya dengan Tian, sama-sama keras kepala dan terlalu pemberani.

“Jawab Ayah!”

“Iya.” Irene akhirnya berani menegakkan kepala. “Jangan larang aku kali ini, Yah. Minggu depan adalah hari peringatan HAM internasional, dan itu adalah tema aksi yang harus aku ikuti untuk Mas Tian.”

“Sudah Ayah bilang, jangan mengulik apa pun soal hilangnya Tian! Kasusnya sudah ditutup, dan itu yang terbaik untuk kamu!”

“Yang terbaik untuk aku itu, apakah yang terbaik juga untuk Mas Tian? Aku masih bisa merasakan energi Mas Tian, Yah! Dia mungkin belum tenang atas kematiannya! Kita nggak bisa diam aja!”

“Hentikan omong kosong kamu! Tian sudah tidak ada!”

Irene menggeleng, kembali keras kepala. “Aku nggak akan berhenti mencari di mana Mas Tian meskipun aku harus menemukan jasadnya, Yah!”

Riyanto memejamkan matanya frustasi. “Irene, apa kamu sama sekali nggak pernah belajar dari masa lalu? Pertama, Tian hilang karena dia seorang aktivis mahasiwa yang vokal soal HAM. Kedua, tahun lalu kamu juga dipenjara dan hampir mati karena mengacau di aksi mahasiswa!”

“Bukan aku yang mengacau di aksi, Yah!”

“Ya, apapun alasannya, sebaiknya kamu berhenti. Sudah cukup, Ayah nggak bisa kehilangan lagi, Rene!”

Sejenak keduanya berhenti berdebat. Riyanto berharap kali Irene sungguh mendengarkannya dan berhenti, tapi sayang pemikiran putrinya lagi-lagi tak sejalan. Seberapa keras pun Riyanto berusaha melarang, Irene tetaplah Irene yang pemikirannya sama sekali tidak ada beda dengan Tian.

“Aku nggak akan berhenti, Yah! Kesalahan harus dihukum, dan kebenaran harus ditegakkan. Aku bersumpah, Mas Tian harus ditemukan, Yah!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status