Share

Bab 8 Suamiku Pengkhianat

"Semakin lama kamu kok semakin kasar sama aku sih, Mas? Apa ia kamu gak cinta lagi sama aku?" gumamku sambil menahan tangis. 

Aku pun menghela nafas kasar dan berusaha untuk tidak terfokus dengan masalah itu. Aku memilih berjalan menuju dapur membuat makanan untuk makan malam nanti. Seperti biasa, aku sudah tidak protes lagi dengan hal ini karena pekerjaan ini sudah menjadi kewajibanku.

***

"Iya, aku akan segera ke sana. Sabar dong, ini lagi di jalan," ucap Mas Rendy sambil berjalan menuruni tangga. 

Aku yang mendengar obrolan melalui sambungan teleponnya itu langsung menatap dengan tatapan aneh. Entah kenapa, saat ini perasaanku sangat tidak enak tiap kali Mas Rendy menerima telepon. Aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku.

"Mas, kamu nanti pulang jam berapa?" tanyaku. 

"Nggak tau."

"Aku udah masakin makanan kesukaan kamu loh."

"kamu makan sendiri aja, gak usah nungguin aku. Kayaknya aku akan pulang larut malam," jawabnya dengan ketus. 

Lagi-lagi aku hanya menghela nafas kesal mendengar jawabannya. Bukan karena apa, dari nada bicaranya saja sudah sangat berubah. Ada apa sebenarnya dengan Mas Rendy?

Mas Rendy berlalu begitu saja tanpa pamit dan aku semakin curiga saja dengan gerak-geriknya. Bagaimana tidak, dari penampilan saja sudah sangat beruabah. Sampai pada akhirnya, aku memilih ke kamar untuk memandikan Aira. 

Sampai saat ini perasaanku tetap tidak enak dan seolah ingin menangis sejadi-jadinya padahal aku juga tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. 

***

Waktu terus berlalu dan tak terasa kini malam sudah tiba. Seperti biasa, Caca dan Ibu mertuaku makan lebih dulu dan jika ada sisa barulah aku bisa makan, padahal aku yang membuat makanannya.

Di sisi lain aku juga bingung dengan diriku sendiri, apakah aku yang terlalu baik atau justru aku yang terlalu bodoh sampai mereka semena-mena kepadaku?

"Sabar, Mira. Semua akan indah pada waktunya, tenang saja ... suatu saat kamu akan mendapatkan kebahagiaan sebagai balasan dari rasa sakitmu ini."

Aku terus mensugesti diriku agar tetap berpikir positif dan tidak dendam terhadap mereka. Bukan karena aku takut, tetapi karena aku menghargai mereka saja. Aku juga menumpang di rumah ibu mertuaku. 

"Mbak, sana makan. Biar Aira aku yang jagain," ucap Caca dan langsung mengambil alih keponakannya. 

Aku hanya mengangguk mengiyakan tanpa sepatah kata. Tanpa menunggu waktu lama lagi, aku langsung berjalan menuju meja makan dan bersiap untuk makan malam. Sampai di sana, betapa terkejutnya aku saat melihat bekas makannya yang sama sekali tidak dibersihkan, makanan yang hanya tersisa beberapa bagian saja. 

"Sangat rakus, aku hampir gak kebagian makanan, padahal aku yang masak. Mana bekas makannya gak diberesin," gerutuku dengan kesal sambil membersihkan meja makan itu terlebih dahulu. 

Akhirnya, aku hanya makan seadanya. Yang tersisa hanya tempe dan tahu saja juga sayur, semua lauk habis disantap oleh mereka. 

Setelah selesai makan, aku langsung berjalan menuju ruang tamu dan mengambil alih Aira untuk menidurkannya. Sampai di dalam kamar, aku langsung melihat benda pipih yang aku letakkan di atas nakas sampaing tempat tidurku. 

Aku melihat ada sebuah pesan dari sahabatku, ia mengirim sebuah foto dan dengan cepat aku membukanya. Jantungku seolah berhenti berdetak dan tubuhku melemas saat melihat siapa yang ada dalam foto itu.

Tanpa kusadari, air mataku berlinang bahkan sampai merembes ke pipi. Hatiku sangat hancur seolah dihantam benda tumpul dengan kencang. 

Dalam foto yang dikirim oleh Indah, sahabatku terlihat kalau Mas Rendy sedang berada di sebuah restoran berdua dengan seorang wanita.

Tubuhku semakin melemas saja seolah tidak ada tenaga lagi. Aku langsung menatap wajah anakku yang sedang tertidur pulas. Seketika aku jadi merasa bersalah karena salah memilihkan ayah untuknya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana perasaannya nanti jika ia sudah mengetahui mengenai keburukan ayahnya. 

"Maafin Ibu, Nak. Ibu juga gak tega kalau kamu sampai kehilangan kasih sayang ayahmu, hiks ... hiks ... hiks ..."

Aku terus mengusap wajah lugu anakku yang masih tertidur pulas, aku bahkan menangis sesenggukan di sana karena sudah tidak sanggup menahan kesedihanku.

Cukup lama aku meratapi kesedihanku sampai pada akhirnya, aku langsung mengusap air mataku dan bersiap-siap untuk menyusul Mas Rendy. 

Aku hanya ingin memastikan kalau ia benar melakukan itu dan jika hal itu benar, maka ada kemungkinan juga aku akan membuat keputusan untuk segera pergi dari hidupnya.

Sebelum meninggalkan rumah, aku memilih untuk melihat keadaan adik dan ibu mertuaku. Aku tidak mau kalau sampai mereka melihatku pergi karena bisa saja ia akan menghalangi rencana yang sudah kususun sejak awal.

Setelah memastikan keadaannya aman, aku langsung bergegas keluar rumah hanya dengan menggunakan hoddie dan sebuah masker yang melekat menutupi wajahku. Sepertinya Caca dan ibu mertuaku sudah tidur lebih dulu. Langkah demi langkah kutempuh dengan jalan berjinjit agar tidak menimbulkan suara, bahkan pintu pun kututup dengan sangat pelan agar tidak terdengar.

Kini, aku sudah berhasil keluar dari rumah bak neraka itu. Rumah yang sama sekali tidak ada kedamaian dan selalu merendahkan orang lain.

"Hufft ... semoga saja Aira gak nangis."

"Sabar ya, Nak. Ini semua demi masa depan kita."

"Ibu tidak kuat berada dalam lingkaran setan ini, Nak."

Di sela-sela perjalananku, aku langsung merogoh saku mengambil ponselku untuk menghubungi Indah, sahabatku. Hanya sampai dering ketiga, kini sambungan teleponku pun terhubung.

"Halo, Ndah. Mereka ada di restoran mana? Aku akan menyusul dia, aku sudah di perjalanan nih," ucapku dengan suara bergetar menahan tangis.

["Kamu nyusul malam-malam begini? Kamu pakai apa?"] tanya Indah dari seberang sana dengan nada paniknya.

"Jalan kaki, soalnya taksi udah gak ada."

["Baiklah, bagikan lokasimu dan tunggu aku di sana. Aku akan segera ke sana."]

"Iya."

Kini, sambungan teleponku kembali terputus dan sebentar lagi Indah akan datang menjemputku. Mungkin dia juga ikut cemas dengan keadaanku, apalagi saat ini jalan tampak sepi dan aku hanya seorang diri. Sambil menunggu Indah datang, aku memilih untuk duduk di sebuah bangku panjang yang ada di pinggir jalan itu.

"Mas, mungkin ini akan menjadi malam terakhir kita. Aku akan segera pergi dari hidupmu jika benar kalau selama ini kamu selingkuh di belakangku."

Hingga tak berapa lama kemudian, sebuah mobil berhenti tepat di depanku yang kuyakini bahwa itu adalah Indah.

"Ayo cepat masuk!" teriak seorang wanita yang tak lain dan tak bukan adalah Indah dari dalam sana.

Aku pun bergegas masuk ke dalam mobil sambil berusaha menahan rasa sesak di dadaku. Air mataku kini masih saja kutampung, entah kapan akan kutumpahkan. Aku masih berusaha kuat.

"Mir, sebenarnya apa sih yang terjadi sama kamu? Aku gak nyangka banget loh sama Mas Rendy," tanya Indah penasaran.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status