Kehadiran kami bak Charlie Angels langsung menarik perhatian para mahasiswa yang lagi nongkrong di lorong koridor ruang kuliah. Mereka pada memperhatikan diriku, walaupun kami berjalan bertiga dengan Widya dan Cinthya. Rasanya ada yang aneh pada diriku di mata mereka. Mereka langsung membelalakkan matanya menelanjangiku dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Decak kagumpun meluncur dari mulut yang pada menganga, takhjub. Mereka menjadi heran melihatku tidak seperti biasanya. Biasanya aku selalu mempergunakan jean dan kemeja serta tanpa make up. Kini malah aku pakai gaun dan make up yang mempesona mereka. Melihat berpuluh pasang mata terperangah begitu, terselit nuansa tersendiri dalam hatiku. Ada kebahagiaan mengalir berhembus dalam sanubariku. Sorotan mata kagum dari cowok-cowok itu, mengundang nada-nada ceria di hatiku. Aku pun langsung melontarkan senyum simpul menyapa mereka satu persatu. Seolah-olah diriku ini merupakan primadonanya jurusan Psikologi…
Begitu juga
“Kalau kita lama-lama di sini, malah bisa-bisa orang menjadi curiga pada kita. Sebaiknya kita cari tempat yang tepat untuk memperhatikan dia,” Jonipun celingukan cari tempat yang cocok untuk mengamat-amati Aditya. Akhirnya matanya jatuh pada bangku panjang yang terdapat di depan Puskesmas Kampus tidak jauh dari Musholla. “Hei Raka, lihat di depan Puskesmas itu ada bangku dan cocok buat kita mengamat-amati Aditya dari sana.”“Betul juga kata kamu, Joni. Ayolah kita ke sana saja, tunggu apa lagi,” sambung Raka, ketika dilihatnya Joni menoleh memperhatikan satu persatu mahasiswa yang baru datang memasuki Musholla.“Gila juga itu Anak, banyak kawannya,” seru Joni, sembari berjalan menuju bangku di depan Puskesmas.“Itu sih belum apa-apa. Kalau mereka semua sudah kumpul bisa ratusan jumlahnya. Aku rada kecut juga, kalau terus memata-matanya. Kalau mereka tau apa yang sedang kita lakukan di sini bisa kita jad
Di ruangan Rektorat, Aditya dengan serius memperhatikan arahan dari Purek IV bidang kemahasiswaan, mengenai teknis penyambutan dan penyusunan materi acara yang tepat disajikan kepada tamu dari negeri jiran tersebut. Tidak terasa pertemuan dengan Purek IV tersebut memakan waktu sampai pukul 4 sore dan hanya jeda waktu makan siang saja. Begitu pertemuan dengan pihak Rektorat selesai, Aditya langsung melihat jam tangannya. Dia tidak lupa akan janjinya padaku, sehingga dia pun bergegas mohon diri dari Safira dan kawan-kawannya. Hanya Safira saja yang mengetahui tujuan Aditya sesungguhnya. Safira dapat memahami bagaimana gejolak yang membara di dalam hati Aditya, sehingga dia memakluminya dan dia mengiringi kepergian Aditya sampai tempat parkir kampus. Walau untuk itu, Safira harus menekan perasaannya. Safira rela memberi dukungan moril kepada Aditya untuk menemuiku dan dan dia melepas kepergian A
Begitu Widya dan Cinthya menampakkan diri di ujung escalator naik dan kebetulan pandangan Aditya tepat sedang menoleh ke arah kedatangan. Melihat kehadiran Widya dan Cinthya dada Aditya langsung bergemuruh, gembira. Ada suatu pengharapan muncul di dalam hatinya, bersamaan dengan munculnya Cinthya dan Widya. Ada keyakinan dirinya, bahwa diriku pasti datang bersama sobat karibku. Dia sangat berharap diriku cepat muncul di belakang Widya atau Cinthya. Tapi dilihatnya bayanganku tidak muncul-muncul juga, membuat perasaan cemas pun mulai mengglayuti hatinya kembali. Aditya menjadi gelisah. Widya dan Cinthya seolah-olah tidak mengetahui kehadiran Aditya, mereka berpura-pura bercanda, sembari berjalan menuju arah Aditya. Cinthya pura-pura tidak sengaja menoleh dan beradu pandangan dengan Aditya. “Hai Aditya, sedang ngapain kamu sendiri di sini?”
Entah kenapa saat aku sedang duduk berhadapan dengan Aditya, tiba-tiba terlintas wajah Andrew yang membuatku kesal tadi padi, sehingga menimbulkan pertanyaan dalam hatiku, jangan-jangan Aditya mengalami masalah yang serupa denganku. Apalagi kalau aku ingat dengan Dea, Anggi dan Donna. Alhasil, tak urung meluncur dari bibirku pertanyaan yang sempat mengganjal dalam hatiku tersebut. “Adit, dengan kehadiranmu di sini bersamaku apa tidak ada yang merasa kehilangan dirimu?” Aditya mengernyitkan keningnya, sembari memandangku. Lalu diapun tersenyum. “Tidak tu Ana. Aku tidak merasa ada orang yang kehilangan dengan hadirnya aku disini. Ketika aku menuju kemari, tidak ada masalah tuh.”
Ketika Andrew sadar, dia segera melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 9 lewat. Diapun langsung teringat akan diriku. Lalu dia bergegas menuju ke kamar pemondokanku untuk mencariku dan ingin menumpahkan kekesalan hatinya yang tertunda selama sehari.Sesampainya Andrew di depan pintu kamar pemondokanku dengan kasar dia menggedor pintu kamar pemondokanku, berulang kali. Bahkan, dia berusaha melongok ke dalam melalui daun jendela kamar pemondokanku. Kemarahannya semakin memuncak karena sudah beberapa lama pintu kamar pemondokanku tidak kunjung dibuka. Saking kesalnya, Andrew menendang daun pintu kamar pemondokanku. Sudah barang tentu tindakan Andrew ini, mengusik seluruh isi rumah pemondokan. Mereka masing-masing melongok dari balik pintu kamar pemondokannya. Tapi begitu mereka mengetahui Andrew yang membuat keonaran di rumah pemondokan tersebut, maka merekapun langsung kembali masuk. Mereka tidak ingin terlibat masalah antara Andrew dengan diriku.Bahka
“Kamu kenal dengan mereka Ana?” tanya pamanku.“Paman, mereka orang-orang sinting tidak perlu dilayani,” ujarku ringan.“Emangnya siapa mereka Ana?” timpal bibiku.“Ih Bibi, mereka itu tidak layak untuk diperhatikan. Mereka itu satu pemondokan denganku. Biarkan saja mereka membusuk di depan, emangnya aku pikiri.”“Tapi, lihat gelagatnya mereka itu punya maksud tidak baik padamu Ana,” sambung bibiku.“Bibi, tidak usah kuatir. Aku dapat mengatasi si Andrew itu kok.”“Tidak Ana, kalau dia itu dapat membahayakan dirimu, maka biarkan Paman yang mengurusnya. Paman tidak ingin melihat kamu diganggu oleh mereka.”“Sudahlah paman, tak usah repot-repot ngurusin mereka. Ana sendiri sudah cukup untuk mengatasi Andrew dan kawan-kawannya itu. Mereka itu tidak level Paman.”“Andrew itu siapa Ana?” tanya bibiku.“Dia itu, cu
Sementara itu, di Café Shop Medan Fair Plaza terlihat Dea, Anggi dan Donna terlibat perbincangan serius, di sela-sela menikmati juice buah dan makanan ringannya.“Dea, kelihatan hubungan Ana dengan Aditya sudah semakin dekat saja tuh. Kemarin ketika aku sedang jalan sore-sore dengan doi, aku memergoki mereka sedang kencan di Café Deli Plaza,” cetus Anggi.“Wah, bisa celaka kamu Dea. Peluangmu sudah semakin tipis untuk mendapatkan Aditya,” sambung Donna.“Sialan tuh anak. Berani benar dia mengabaikan peringatanku,” umpat Dea dengan emosinya. ”Kita tidak boleh membiarkan Ana merebut hati Aditya. Aku harus buat perhitungan dengan Ana.”“Tapi Dea, kalau kamu langsung melabrak Ana, maka tindakanmu itu berarti akan sia-sia saja. Kamu sendiri yang akan rugi. Toh, tindakanmu malah membuat Aditya semakin simpati pada Ana,” tukas Donna.“Benar pendapat Donna, Dea. Sudah pasti Adi
Ketika Dea, Donna dan Anggi sibuk meributi kabar yang disampaikan Anton, Anton menyempatkan diri menoleh memandang Andrew, sembari memainkan matanya, memberi tanda misinya sudah termakan oleh Dea, Donna dan Anggi.“Oke, Dea, Anggi, Donna aku sudah menyampaikan apa yang aku tau pada kalian. Maksudku menyampaikan ini, memang demi kepentingan temanku, Andrew. Dia tidak ingin kehilangan Ana, maka dengan terpaksa dia mengutarakan hal ini pada kalian. Padahal masalah ini sangat sensitif dan pribadi sekali serta tidak layak untuk dikonsumsi publik. Tapi Andrew itu sudah banyak berkorban untuk menyenangkan Ana. Wajar kalau diapun tidak ingin dicampakkan begitu saja oleh Ana. Sebagai temannya, maka kamipun tidak rela kalau Andrew itu dipermainkan begitu oleh Ana.”“Oke Anton, terima kasih atas cerita kamu ini. Tapi awas kalau kamu dengan sengaja menyebar cerita bohong, maka jangan panggil namaku Dea kalau tidak dapat membuat perhitungan denganmu!!!