Share

BAB 4 : Tempat Bersandar

Bik Ani segera turun dan menuju ke arah ruang makan, di mana majikannya berada.

“El mana, Bik?” tanya Nadya ketika wanita paruh baya itu kembali datang tapi hanya sendirian.

“Itu, Nyonya. Non katanya lagi nggak enak badan, jadi nggak mau turun dan katanya nggak lapar.”

“Kok nggak enak badan? Perasaan tadi juga baik-baik saja,” pikir Nadya berpikir sejenak tentang keadaan Ellina.

“Biarkan saja, mungkin Ellina memang ingin istirahat. Ya namanya anak kuliah, otomatis ada kalanya capek, kan,” respon Eva santai menanggapi pemikiran Nadya.

“Lebih tepatnya, lagi nggak enak hati, Tante,” tambah Arga mengarah pada Nadya. “Masa iya hal tadi sore nggak bikin dia kepikiran, nangis tuh pasti,” terangnya seolah mengingatkan Marion dan Nadya tentang masalah dengan Dafa.

Pernyataan Arga sukses membuat Marion dan Nadya agak kikuk. Ya, takutnya Eva dan Darwin malah mempertanyakan hal yang di maksud oleh Arga. Hanya saja ketakutan keduanya buyar saat seseorang datang.

“Ya ampun, akhirnya Kak Zian datang. Kuping ku jadi korban Tante Nadya loh dari tadi sore, pas tahu kalau Kakak nggak datang,” ujar Arga langsung mengumbar sikap tantenya.

Ini kalau bukan di meja makan, auto kena tarik nih kupingnya oleh Nadya karena main umbar aib. Emak-emak memang begitu, kan … hanya saja emaknya justru berbeda. Tak seperti seorang Ibu yang ia harapkan.

Zian menghampiri kedua orang tuanya dan orang tua Ellina, mencium punggung tangan mereka satu persatu.

“Maaf, Tante … bukannya nggak datang, tapi hanya telat,” ungkap Zian yang duduk di kursi di samping Arga.

“Kenapa tadi nggak masuk di kelas ku?” tanya Zian langsung pada Arga, yang sukses membuat dia sedikit tegang. Kemudian menatap fokus pada salah satu mahasiswanya itu dengan sorot mata menunggu penjelasan. “Penjelasannya?”

Arga memilih diam dan malah lanjut menikmati makanannya. Bukan hanya Ellina yang sepertinya akan kena mental jika memiliki hubungan dengan Zian, bahkan dirinya pun ikut kena imbas. Nggak masuk kelas satu kali saja, langsung kena introgasi.  

“Kamu nggak kuliah tadi?” tadi Marion pada ponakannya itu.

“Ya ampun, Om … masa izin satu kali aja nggak boleh,” balasnya.

“Izin sama siapa?” Giliran Zian yang bertanya.

Nah, mampus kan. Kalau Zian sudah membahas dunia perkuliahan, rasanya tuh aib nya di kampus pun bakalan dia bongkar habis. Mana ini di depan Om dan Tante nya lagi.

Tersenyum ramah, layaknya sikap seorang mahasiswa pada dosen nya.

“Daripada nanyain alasan saya nggak masuk kelas, mending Bapak samperin salah satu mahasiswi Bapak yang lagi nggak enak badan di kamar. Sepertinya itu jauh lebih penting,” ujar Arga memberikan saran. Daripada dirinya yang jadi pusat pertanyaan Zian, mending dia nyamperin Ellina saja.

“Dia sakit?”

“Patah hati lebih tepatnya,” gumam Arga sedikit memelankan volume suaranya, hingga hanya tertuju pada Zian yang duduk di sebelahnya.

“Itu, Zi … kayaknya dia masih tidur-tiduran. Dari sore nggak keluar dari kamar. Pas diminta makan malam, malah menolak dengan alasan nggak enak badan. Biasalah, tipe malas makan.”

Pandangan Zian mengarah pada Eva, mamanya. Seolah sedang meminta izin, karena setelah mendapatkan sebuah anggukan singkat, ia langsung beranjak dari posisi duduknya dan mengarah pada Nadya.

“Maaf, Tante … boleh aku cek kondisinya?”

Kalau orang lain, tentu saja Nadya menolak keras. Tapi berhubung yang meminta izin adalah Zian, rasanya tak ada rasa ketakutan yang ia pikirkan meskipun dia menemui Ellina di kamar. Saking percayanya dirinya pada sosok Zian.

“Iya, silakan. Kalau bisa, kamu paksa dia makan, Zi. Dari pulang kuliah belum makan sama sekali.”

Akhirnya Zian segera menuju ke lantai atas, di mana kamar Ellina berada. Bukan tempat yang asing lagi baginya, bahkan sedari kecil ia sering berada di rumah ini. Hanya saja untuk masuk kamar Ellina, tentu saja berbeda. Setidaknya sebuah izin harus ia dapatkan. Ya, tergantung situasi juga.

Mengetuk pintu bercat putih itu beberapa kali, berharap si pemilik kamar segera membuka pintu. Hanya saja dia seolah dengan sengaja mengabaikan.

“El, ini aku. Ayo, buka pintunya,” ujar Zian sambil mengetuk pintu itu perlahan. “Kamu baik-baik saja, kan?”

Tak lama, akhirnya pintu dibuka dari arah dalam. Perlahan, bisa ia lihat gadis itu berdiri di depannya diam tanpa kata dengan raut wajh tak baik-baik saja. Sebelum dia beritahu pun, bisa terlihat dengan jelas kalau dia juga habis menangis.

“Kamu ada masalah?” tanya Zian.

Tak menjawab pertanyaannya, tapi air mata dia justru tampak kembali jatuh dan membasahi kedua pipi yang masih memerah.

Zian mendekati Ellina, menghapus cairan bening di kedua pipi dia. “Kenapa, hem?” tanyanya lembut. “Bisa cerita padaku.”

Tak bicara apa-apa, tapi justru Ellina malah langsung memeluk Zian. Menenggelamkan wajah dan tangisnya di dada bidang itu, dengan kedua lengannya yang melingkar di badan Zian. Seolah benar-benar melepaskan semua perasaan sedih dan tangisnya.

Beberapa saat ia biarkan Ellina menangis, berharap setelah puas membuat dia jauh merasa lebih tenang.

“Masih belum puas kamu menangis?”

“Belum,” jawabnya masih mode terisak. “Aku lagi sedih banget sekarang, Kak.”

“Baiklah. Terserah kamu, mau menangis sampai air matamu kering juga silakan,” balas Zian. Namun dia mendongakkan kepalanya, menatapnya fokus.

“Nggak mau bertanya kenapa aku nangis?”

“Kalau sekiranya penting untukku, silakan katakan. Kalau tak ada urusannya denganku, nggak usah katakan padaku.”

Seketika Ellina melepaskan diri dari Zian. Memang, ya … meskipun sesayang atau seperhatian apapun Zian padanya, tetap saja dia adalah seseorang cowok yang begitu menyebalkan lewat perkataan nyelekit. Bukan hanya lewat jalur seseorang yang ia kenal, tapi juga di posisi seorang dosen pun dia begitu.

“Yaudah, sana keluar saja. Aku lagi mode kesal, jadi jangan bicara padaku.”

Menghela napasnya panjang, dengan sikap Ellina. Barusan memeluknya tanpa izin, sekarang malah mengusirnya. Bukannya keluar dari sana, justru Zian malah masuk dan menutup pintu kamar.

“Katakan masalahmu,” ujar Zian

“Ini masalahku. Kamu nggak usah tahu juga,” ujarnya menghapus kasar kedua pipinya yang basah. Padahal ia pikir Zian bisa membuatnya tenang, tapi malah mode nyelekit.

“Semua masalahmu, itu artinya juga masalahku,” balas Zian menghentikan tangan Ellina, kemudian menghapus air mata dia dengan lembut. “Katakan.”

“Aku …” Kenapa rasanya berat banget mau curhat perkara hubungannya dan Dafa pada Zian. Seperti melakukan kesalahan besar saja jika mengungkapnya. “Kakak lagi sibuk kah? Apa dari sini balik ke kantor lagi?”

“Nggak. Malam ini memang sengaja luangin waktu buat ke sini,” terang Zian.

“Ayok kita jalan keluar,” ajaknya.

“Ini sudah malam, El. Kamu mau aku ajak kemana? Di luar juga lagi hujan deras.”

Ellina tak menjawab dan membalas pertakaan Zian, ia menyambar tas dan mengenakan sepatu. Kemudian kembali pada Zian.

“Makan di luar, atau jalan kemana gitu. Aku sumpek di rumah terus.”

“Tapi …”

Langsung menyambar tangan Zian dan membawa dia dari sana. Turun menuju lantai bawah dan menghadap pada semua yang ada di meja makan.

“Woww.” Arga malah fokus pada sikap Ellina yang mode aktif pada Zian. Maklum saja, jarang-jarang matanya mendapati moment seperti ini. Meskipun tahu jika keduanya sudah kenal lama dan pasti mungkin lebih dari sekedar pegangan tangan, tapi tetap saja ia kaget jika melihat langsung.

“Ellina kamu ngapain, sih, Sayang?” tanya Nadya bingung dengan sikap Ellina yang tiba-tiba datang dengan sikap seperti itu pada Zian.

“Aku mau pergi keluar sama Kak Zian,” ujarnya.

Setelah mengatakan hal itu, langsung saja Ellina kembali memaksa Zian pergi. Membuat semua orang sampai dibuat bingung akan sikap dia.

Sampai di teras, Zian menghentikan langkahnya … membuat langkah Ellina ikut terhenti karena tangan dia bergelayut di lengannya.

“Ayo, Kak.”

“Kamu nggak sopan, Ellina,” ujar Zian akan sikap dia dengan tegas. “Ada orang tuaku, ada orang tuamu. Harusnya minta izin dulu, bukannya seperti ini. Kesal boleh, tapi rasa hormat tetap harus kamu nomorsatukan.”

“Aku udah minta izin, kan, barusan.”

“Lalu, sudah dikasih izin atau belum?”

Ellina terdiam, melepaskan pegangan tangannya di lengan Zian. Seperti biasa, jika dia sudah mode serius, jangankan membantah, bahkan menatap Zian saja ia tak berani.

“Ayo kembali masuk, izin dulu. Kamu seorang gadis, mana mungkin bisa ku bawa pergi begitu saja tanpa izin dari orang tuamu.”

Zian kembali melangkah masuk ke dalam rumah, sementara Ellina masih mode cemberut di teras. Tapi pada akhirnya tetap saja ia ikut mengekori langkah Zian. Rasanya kayak maju salah, mundur juga harus siapin mental buat ngadepin semua orang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status