“Ya sudah kamu maunya bagaimana?”
“Kenapa jadi Abang yang emosi, ya Abang usaha sendirilah bikin Rehan kembali percaya kalau ayahnya emang sayang sama dia. Aku tidur duluan ya, hari ini capek banget. Udah beres-beres dari pagi enggak selesai-selesai. Besok kayaknya aku juga harus bangun pagi buat melayani semua orang yang tinggal di sini,” ucapku.Kala itu aku memang sengaja mengatakannya, karena ingin menyindir suamiku. Kenyataannya dia yang sering kali menampung keluarganya di rumah, tetapi seolah tutup mata tentang hal ini. Dalam segi makanan pun tentu saja akan bertambah banyak, tetapi jatah belanjaku bukannya ditambah malah tetap, padahal sekarang baru saja menambah anggota keluarga baru.“Loh kenapa kamu harus melayani mereka? Biarin aja mereka mengurusi diri sendiri. Abang cuma minta kamu terima mereka di sini. Urusan makan ke depannya biar mereka yang berpikir sendiri.”“Emangnya Abang sanggup minta mereka buat gak numpang makan sama aku? Enggak ‘kan?”“Ya sudah mulai besok kamu enggak usah masak buat mereka. Cukup masak buat makan kita aja.”“Ya sudah.”Aku tidak tahu dia akan berani mengatakan hal itu pada adik-adiknya atau tidak, karena selama ini ia selalu saja mengutamakan mereka dari pada istri dan anaknya. Syukurlah kalau memang terjadi, aku jadi tidak perlu mengeluarkan uang dan tenaga untuk masak dengan porsi yang besar.Aku jadi lebih banyak waktu bersama Rehan. Tahun depan ia sudah mulai masuk sekolah TK jadi sebagai ibu aku hanya ingin memperkenalkan sedikit pelajaran yang mudah supaya ia tidak terlalu kaget dengan lingkungan sekolah. Saking sibuknya mengurus mereka yang setiap hari membuat rumah seperti kapal pecah, kadang-kadang aku tidak punya waktu untuk mengajari Rehan banyak hal.Jika bukan aku yang membereskan kekacauan itu, mereka akan membiarkan rumah dalam keadaan seperti itu bahkan sampai keesokkan harinya. Entah kenapa mereka bisa betah tinggal di tempat yang kotor seperti itu.Malam itu kami memang berbagi tempat tidur yang sama, hanya saja tidak pernah ada yang tahu apa yang ada dalam hati kami.Keesokan paginya seperti yang dikatakan Bang Romi, aku tidak memasak makanan seperti biasa, padahal sejak subuh biasanya aku sudah keluar untuk berbelanja sayuran, kalau tidak masak sendiri bagaimana mungkin uang 50 ribu bisa cukup untuk makan satu keluarga besar.Hari itu aku hanya memberikan sarapan untuk Bang Romi, Rehan dan diirku sendiri. Melihat tak ada makanan di meja, mereka pun sepertinya tampak kebingungan.Laila bahkan mulai mencari-cari di setiap sudut dapur, mungkin ia pikir aku menyembunyikan makanannya di suatu tempat. Perlu kalian tahu, Lalia terbiasa bangun di siang hari sekitar pukul 7 pagi. Di mana biasanya Bang Romi sudah lebih dahulu berangkat bekerja.“Mah, aku laper! Kok enggak ada sarapan sih?” rengek Elsa.“Iya, bentar Ibu lagi cari makananya. Kok enggak ada sih.”“Ya, udah Bu goreng telur aja.”“Oh, iya sebentar.”Aku yang saat itu berada di kamar yang letaknya memang bersebelahan dengan dapur jelas saja mendengar percakapan ibu dan anak tersebut.“Loh kok telurnya juga habis?” tanya Laila.“Ya udah minta Tante Mayra beli lagi?” pinta Elsa.Mendengar permintaan anak sekecil itu, sontak saja membuat keningku berkerut. Bagaimana bisa dia minta sesuatu padaku, sedangkan di sampingnya ada Laila, ibu kandungnya sendiri. Lagi pula jangankan Elsa, aku sendiri saja kehilangan telur di kulkas. Seingatku semalam masih ada beberapa di sana. Namun, saat pagi hari tak ada satu pun telur yang tersisa.Makanya aku memilih untuk membeli sarapan di luar. Selain karena tidak ada beras, aku juga tidak punya stock telur yang bisa dijadikan lauknya. Sudahlah sepertinya mulai hari ini aku harus belajar tidak peduli, lagi pula aku baru saja mengisi stock telur kemarin, kalaupun hilang bukan lagi tanggungjawabku.“Ya sudah Bu, beli aja nasi kuning di depan.”“Tunggu dulu, nanti Ibu tanya Tante May dulu. Barangkali aja dia sembunyiin masakannya.”“Ya sudah cepetan tanyain Tante May, aku udah lapar banget.”Sepertinya aku harus bersiap sekarang, entah kenapa Laila seakan tidak mau mengeluarkan uang untuk membelikan sebungkus nasi kuning. Ia malah memilih menanyakan apakah aku menyembunyikan makanan atau tidak.“Mbak, udah bangun belum?” tanya Laila dari arah luar.Sungguh saat itu aku hanya menggeleng saja melihat tingkah iparku yang benar-benar tidak mau rugi.“Bunda, itu ada Tante Laila.”Sepertinya suara Laila juga mengganggu konsentrasi Rehan yang kala itu tengah belajar menulis.“Iya Sayang, Bunda keluar dulu ya. Kamu di sini aja”Aku bergegas keluar, tentunya sebelum Laila berteriak lebih keras lagi.“Kenapa Dek, pagi-pagi udah teriak-teriak aja?”“Bukan gitu Mbak, abisnya Mbak sih dipanggil-panggil gak keluar-keluar,” keluhnya dengan raut yang kesal.“Mbak ‘kan harus pakai jilbab dulu, di rumah ‘kan ada suamimu.”Entah berapa kali harus kujelaskan kalau di rumah ini ada laki-laki yang bukan mahram, tetapi seakan tak pernah mengerti setiap kali memanggilku Laila selalu saja minta buru-buru dibukakan.“Ya deh terserah Mbak mau pakai hijab dulu atau enggak, ini kok enggak ada makanan di dapur. Emangnya Mbak sembunyiin semuanya ya di kamar?”Tak hanya menuduhku seenaknya, Laila bahkan mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar kami. Seolah ia mencari keberadaan makanan di ruangan ini.“Aku enggak masak.”“Loh kenapa?”“Ya, tadi juga aku beli sarapan di luar.”“Terus mana sarapannya?”“Mbak beli cuma buat Bang Romi sama Rehan.”“Hah? Kok gitu? Kenapa enggak sekalian buat aku sama yang lainnya juga?”“Emangnya kamu ada nitip sama Mbak?”“Ya, ‘kan harusnya Mbak inget dong sama kami. Orang yang tinggal di sini ‘kan bukan cuma Rehan sama Bang Romi aja.”“Emangnya kamu juga pernah inget sama kami?”“Maksud Mbak tanya begitu apa? Oh, Mbak iri sama aku gara-gara ditinggal makan-makan kemarin sore? Terus sekarang Mbak enggak mau beliin kami sarapan?”“Kamu nyuruh Mbak beli sarapan buat kamu sekeluarga?”“Ya, bukan begitu. Kenapa jadi begini sih, biasanya juga Mbak yang nyiapin semuanya.”“Lagian emang kamu minta dibeliin pernah nitip uang enggak?”Entah kenapa kali ini aku tidak bisa menahan emosi ketika menghadapi Laila. Sepertinya memang benar, kejadian kemarin sore masih mempegaruhi alam bawah sadarku. Aku memang cemburu pada iparku yang selalu mendapatkan perlakuan baik dari suamiku, sementara aku justru sebaliknya.“Kok Mbak jadi perhitungan banget sih?” tanya Laila yang sepertinya tambah kesal padaku.Keningnya bahkan sampai berkerut karenanya.“Bukan perhitungan, aku cuma heran aja pagi-pagi kok malah geger minta sarapan ke Mbak, kenapa enggak minta ke suamimu aja?”“Cuma sarapan aja loh Mbak sampai segininya sama aku!” keluh Laila.“Loh kamu lebih aneh Dek, kenapa perkara sarapan yang enggak seberapa aja bukannya beli sendiri malah nyalahin orang lain.”Menghadapi Laila yang tak mau rugi sepertinya memang harus kuat mental. Kali ini aku juga tak mau kalah, bukan perkara uang sedikit, hanya saja aku tidak ingin dia terbiasa mengandalkanku dalam segala hal. Aku bisa maklum kalau memang suaminya tengah berada di tanah rantau. Mungkin saja ia memang belum diberikan uang untuk belanja sehari-hari. Hanya saja kemarin aku melihat ia habis memberi emas dan banyak baju, lantas kenapa makan masih minta aku?“Bu, mana makanannya? Elsa udah lapar.”Laila tampak menarik nafas kasar, sepertinya ia kesal karena aku tak kunjung mengabulkan apa yang ia mau. Lagi pula enak sekali semuanya minta dilayani. Apakah aku juga harus melayani makan dan pakaian suaminya harus aku cucikan juga. Aku punya suami dan anak sendiri. Sudah kubelikan mesin cuci agar mereka bisa
Setelah mendapatkan sedikit wejangan dari Bu Siska, aku menjadi sedikit bersemangat. Kami memang akrab sudah akrab sejak lama. Sebenarnya aku tidak punya masalah dengan tetangga sekitar. Mereka cukup baik padaku, hanya saja entah dengan orang-orang di rumah, kenapa senang sekali memanfaatkan kebaikanku.“Aku pamit dulu ya Bu, sebentar lagi kayaknya Bang Romi juga mau datang.”“Iya May, hati-hati ya. Pokoknya jangan mau kalah.”Wanita paruh baya yang seumuran dengan almarhumah ibuku bahkan tampak jauh lebih bersemangat dariku. Seringnya aku bahkan nyaris kehilangan harapan untuk hidup. Setelah ditinggal ayah dan ibu, sekarang justru diuji dengan pasangan yang sikapnya seperti Bang Romi. Ia baik dengan semua orang, tetapi tidak dengan anak dan istrinya.Sampai di rumah rupanya mereka sudah menyambutku dengan wajah yang ketus. Laila, Mba Silvi bahkan tampak sangat kesal padaku.“Kamu ke mana aja, May?” tanya Mbak Silvi.“Abis keluar sebentar,” ucapku santai.Aku hanya mencoba bersikap bi
“Kamu kok ngomongnya jadi melantur ke mana-mana, Dek? Siapa juga yang mau jadiin kamu pelayan di rumah ini. Kamu itu Abang nikahin buat jadi istri.”“Ya terus, kenapa hanya aku yang suruh beres-beres dan masak? Tiap hari loh aku masak dan ngurus rumah. Emang salah aku minta ibunya beresin maianan bekas anaknya. Mereka yang enggak mau kemas mainan, malah aku juga yang disalahkan kalau anaknya nginjek mainan sampai terluka.”“Abang tahu kamu kesinggung sama Laila, tapi enggak harus gini juga dong Dek. Nanti Laila juga malah kesinggung.”“Oh jadi Abang lebih suka aku yang capek terus sendirian dari pada Laila dan Mbak Silvi yang hanya suruh beresin mainan? Aku enggak minta dia masak tiap hari, aku juga enggak minta sarapan ke dia. Apa lagi minta dia bersih-bersih serumah. Perkara sepele pun dia enggak mau gerak, masih aja Abang pikirin dia tersinggung atau enggak.”“Dek, istigfar!”“Sudahlah Bang, aku hanya berhenti masak sehari. Aku juga masih tanggung jawab buat nyediain makanan di rum
“Sudahlah May, Mbak Silvi dan Laila juga. Jangan membesar-besarkan masalah. Kalian dari tadi ribut terus, malu juga kedengeran sama tetangga,” keluh Bang Romi.Kenapa kamu harus mengatakan hal itu Bang, jelas-jelas keluargamu yang salah. Atas semua pengorbananku ini, tak bisakah kamu meluruskannya saja. Aku tidak minta untuk dibela, hanya sekedar mengarahkan Laila supaya ke depannya ia bertindak sesuai dengan usia dan statusnya sebagai seorang istri dan ibu.Aku kecewa, kenapa orang yang aku harapkan akan memberikanku sedikit saja rasa nyaman kenyataannya ia bahkan tak bisa memberikannya bahkan di tempat yang dia sebut rumah.“Kamu juga harusnya sadar Rom, yang dari tadi nyari ribut itu siapa? Orang suami pulang, bukannya disambut diurusin makan malah diajak debat," ucap Mbak Silvi.“Ya kalau emang Mbak sanggup, cucikan saja pakaian punya Laila dan suaminya sekalian. Jangan nyindir aku begitu,” ucapku.“Kamu masih aja ya May, bahas-bahas pakaian.”“Mbak yang mulai duluan, masih baik a
Kala itu sebelum pulang ke rumah aku memilih untuk mengajak Rehan makan di rumah makan baru yang kemarin dikunjungi keluarga besar Bang Romi.“Kamu boleh pesan apa aja Sayang, nanti Bunda yang bayar!” ucapku.Rehan tampak sangat senang, karena untuk pertama kali setelah sekian lama akhirnya Rehan bisa makan di luar. Ia juga turut mencoba wahana bermain yang kala itu sedang agak lengah. Mengingat di jam-jam menjelang magrib memang sedikit pengunjung yang datang ke tempat ini. Setahuku biasanya akan kembali ramai usai jam salat magrib. Namun, karena aku sudah terlanjur lapar lebih baik makan dulu sebelum pulang. Tidak akan pernah ada yang tahu apa yang terjadi di rumah.Dari pada ribut dan berakhir kehilangan nafsu makan lebih baik mengisi perut lebih dahulu. Kenyataanya hidup perlu makan agar kuat menghadapi masalah. Tak menunggu lama akhirnya makanan yang kami pesan datang. Rehan makan dengan lahap, mungkin karena energinya cukup terkuras habis usai bermain berjam-jam.“Enak?” tanyaku
“Dek, tolong jangan kasih Abang pilihan yang sulit!”“Aku juga sulit selama ini, Bang. Cuma demi kamu aku bisa tahan semuanya. Awalnya aku pikir Abang ini berbeda. Abang tulus sama aku, ternyata nggak.”“Abang kurang tulus apa sama kamu, Dek? Kamu tahu sendiri keadaan ekonomi mereka. Dari semua keluarga Abang, kitalah yang paling mapan? Apa salah Abang pengen bantu mereka?” Di saat seperti ini pun aku masih dipaksa untuk mengerti keadaan mereka. Memangnya di dunia ini yang susah hanya mereka. “Nggak salah kok, cuma aku aja yang nggak sanggup nemenin Abang.” “Enggak sanggupnya kenapa? Apa karena Ilham?” “Suami Laila mungkin hanya salah satu pemicu saja, selebihnya aku memang sudah nggak nyaman tinggal ramai-ramai dalam satu rumah. Aku ngerasa udah nggak punya privasi. Abang biarin Ilham masuk ke kamar kita, padahal di sana ada aku. Abang tahu aku berhijab dan harusnya
“Bunda kita mau ke mana?” tanya Rehan.Ya Tuhan aku bakal tidak berpikir jauh, anakku pasti merasa bingung dengan kepergianku secara mendadak ini. Sudah pasti ia akan bertanya-tanya. Maafkan Bunda yang egois Nak, Bunda bukan bermaksud menjauhkan dari ayahmu. Hanya saja jika kita memutuskan untuk tetap tinggal di rumah itu, kita hanya akan terus sakit hati.Ayahmu selalu saja mengutamakan keluarganya di atas segalanya. Bahkan tega mengabaikan kita yang seharusnya menjadi prioritas.“Kita mau tinggal di rumah baru Sayang, ini sebentar lagi sampai kok.”“Tapi, kenapa harus pindah Bun? Itu ‘kan rumah Rehan.”“Iya Sayang, hm Bunda lagi pengen nyari suasana baru aja.”“Nanti kita ke sini balik lagi ke rumah enggak Bun, ‘kan ayah masih ketinggalan? Emangnya ayah enggak diajak ke rumah baru?”“Ayah kayaknya masih ada kerjaan Sayang, mungkin nanti ayah bakal nyusul kalau pekerjaannya sudah selesai.”“Kapan ayah nyusul?”
Bahkan tanpa menengok ke belakang aku sudah tahu jika suara itu sudah pasti milik Bang Romi. Entah bagaimana bisa dia tahu keberadaan kami. Aku bahkan tak merasa memberitahunya sama sekali. Sekarang kalau sudah begini jangankan menenangkan diri, sekedar ingin beristirahat dari pekerjaan rumah tangga yang tak pernah ada akhirnya bisa dipastikan tidak akan pernah terjadi.Rehan terus saja mengajak bicara ayahnya, sementara aku hanya mencoba menyibukkan diri dengan ponsel. Rasanya aku juga tidak punya hal yang ingin dibicarakan dengannya. Meskipun aku tahu sejak tadi Bang Romi terus saja mencuri-curi pandang padaku. Sayangnya, Rehan juga tak memberinya kesempatan untuk bisa berbincang denganku. Anak itu terus saja mengajaknya bicara. Syukurlah aku jadi tidak harus bicara dengannya.Cukup lama ayah dan anak itu terus membicarakan hal-hal yang entah. Dari yang penting bahkan sampai hal konyol. Sampai akhirnya aku merasa Bang Romi sudah tak tahan lagi.“Rehan en