Share

Bab 4

“Ya sudah kamu maunya bagaimana?”

“Kenapa jadi Abang yang emosi, ya Abang usaha sendirilah bikin Rehan kembali percaya kalau ayahnya emang sayang sama dia. Aku tidur duluan ya, hari ini capek banget. Udah beres-beres dari pagi enggak selesai-selesai. Besok kayaknya aku juga harus bangun pagi buat melayani semua orang yang tinggal di sini,” ucapku.

Kala itu aku memang sengaja mengatakannya, karena ingin menyindir suamiku. Kenyataannya dia yang sering kali menampung keluarganya di rumah, tetapi seolah tutup mata tentang hal ini. Dalam segi makanan pun tentu saja akan bertambah banyak, tetapi jatah belanjaku bukannya ditambah malah tetap, padahal sekarang baru saja menambah anggota keluarga baru.

“Loh kenapa kamu harus melayani mereka? Biarin aja mereka mengurusi diri sendiri. Abang cuma minta kamu terima mereka di sini. Urusan makan ke depannya biar mereka yang berpikir sendiri.”

“Emangnya Abang sanggup minta mereka buat gak numpang makan sama aku? Enggak ‘kan?”

“Ya sudah mulai besok kamu enggak usah masak buat mereka. Cukup masak buat makan kita aja.”

“Ya sudah.”

Aku tidak tahu dia akan berani mengatakan hal itu pada adik-adiknya atau tidak, karena selama ini ia selalu saja mengutamakan mereka dari pada istri dan anaknya. Syukurlah kalau memang terjadi, aku jadi tidak perlu mengeluarkan uang dan tenaga untuk masak dengan porsi yang besar.

Aku jadi lebih banyak waktu bersama Rehan. Tahun depan ia sudah mulai masuk sekolah TK jadi sebagai ibu aku hanya ingin memperkenalkan sedikit pelajaran yang mudah supaya ia tidak terlalu kaget dengan lingkungan sekolah. Saking sibuknya mengurus mereka yang setiap hari membuat rumah seperti kapal pecah, kadang-kadang aku tidak punya waktu untuk mengajari Rehan banyak hal.

Jika bukan aku yang membereskan kekacauan itu, mereka akan membiarkan rumah dalam keadaan seperti itu bahkan sampai keesokkan harinya. Entah kenapa mereka bisa betah tinggal di tempat yang kotor seperti itu.

Malam itu kami memang berbagi tempat tidur yang sama, hanya saja tidak pernah ada yang tahu apa yang ada dalam hati kami.

Keesokan paginya seperti yang dikatakan Bang Romi, aku tidak memasak makanan seperti biasa, padahal sejak subuh biasanya aku sudah keluar untuk berbelanja sayuran, kalau tidak masak sendiri bagaimana mungkin uang 50 ribu bisa cukup untuk makan satu keluarga besar.

Hari itu aku hanya memberikan sarapan untuk Bang Romi, Rehan dan diirku sendiri. Melihat tak ada makanan di meja, mereka pun sepertinya tampak kebingungan.

Laila bahkan mulai mencari-cari di setiap sudut dapur, mungkin ia pikir aku menyembunyikan makanannya di suatu tempat. Perlu kalian tahu, Lalia terbiasa bangun di siang hari sekitar pukul 7 pagi. Di mana biasanya Bang Romi sudah lebih dahulu berangkat bekerja.

“Mah, aku laper! Kok enggak ada sarapan sih?” rengek Elsa.

“Iya, bentar Ibu lagi cari makananya. Kok enggak ada sih.”

“Ya, udah Bu goreng telur aja.”

“Oh, iya sebentar.”

Aku yang saat itu berada di kamar yang letaknya memang bersebelahan dengan dapur jelas saja mendengar percakapan ibu dan anak tersebut.

“Loh kok telurnya juga habis?” tanya Laila.

“Ya udah minta Tante Mayra beli lagi?” pinta Elsa.

Mendengar permintaan anak sekecil itu, sontak saja membuat keningku berkerut. Bagaimana bisa dia minta sesuatu padaku, sedangkan di sampingnya ada Laila, ibu kandungnya sendiri. Lagi pula jangankan Elsa, aku sendiri saja kehilangan telur di kulkas. Seingatku semalam masih ada beberapa di sana. Namun, saat pagi hari tak ada satu pun telur yang tersisa.

Makanya aku memilih untuk membeli sarapan di luar. Selain karena tidak ada beras, aku juga tidak punya stock telur yang bisa dijadikan lauknya. Sudahlah sepertinya mulai hari ini aku harus belajar tidak peduli, lagi pula aku baru saja mengisi stock telur kemarin, kalaupun hilang bukan lagi tanggungjawabku.

“Ya sudah Bu, beli aja nasi kuning di depan.”

“Tunggu dulu, nanti Ibu tanya Tante May dulu. Barangkali aja dia sembunyiin masakannya.”

“Ya sudah cepetan tanyain Tante May, aku udah lapar banget.”

Sepertinya aku harus bersiap sekarang, entah kenapa Laila seakan tidak mau mengeluarkan uang untuk membelikan sebungkus nasi kuning. Ia malah memilih menanyakan apakah aku menyembunyikan makanan atau tidak.

“Mbak, udah bangun belum?” tanya Laila dari arah luar.

Sungguh saat itu aku hanya menggeleng saja melihat tingkah iparku yang benar-benar tidak mau rugi.

“Bunda, itu ada Tante Laila.”

Sepertinya suara Laila juga mengganggu konsentrasi Rehan yang kala itu tengah belajar menulis.

“Iya Sayang, Bunda keluar dulu ya. Kamu di sini aja”

Aku bergegas keluar, tentunya sebelum Laila berteriak lebih keras lagi.

“Kenapa Dek, pagi-pagi udah teriak-teriak aja?”

“Bukan gitu Mbak, abisnya Mbak sih dipanggil-panggil gak keluar-keluar,” keluhnya dengan raut yang kesal.

“Mbak ‘kan harus pakai jilbab dulu, di rumah ‘kan ada suamimu.”

Entah berapa kali harus kujelaskan kalau di rumah ini ada laki-laki yang bukan mahram, tetapi seakan tak pernah mengerti setiap kali memanggilku Laila selalu saja minta buru-buru dibukakan.

“Ya deh terserah Mbak mau pakai hijab dulu atau enggak, ini kok enggak ada makanan di dapur. Emangnya Mbak sembunyiin semuanya ya di kamar?”

Tak hanya menuduhku seenaknya, Laila bahkan mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar kami. Seolah ia mencari keberadaan makanan di ruangan ini.

“Aku enggak masak.”

“Loh kenapa?”

“Ya, tadi juga aku beli sarapan di luar.”

“Terus mana sarapannya?”

“Mbak beli cuma buat Bang Romi sama Rehan.”

“Hah? Kok gitu? Kenapa enggak sekalian buat aku sama yang lainnya juga?”

“Emangnya kamu ada nitip sama Mbak?”

“Ya, ‘kan harusnya Mbak inget dong sama kami. Orang yang tinggal di sini ‘kan bukan cuma Rehan sama Bang Romi aja.”

“Emangnya kamu juga pernah inget sama kami?”

“Maksud Mbak tanya begitu apa? Oh, Mbak iri sama aku gara-gara ditinggal makan-makan kemarin sore? Terus sekarang Mbak enggak mau beliin kami sarapan?”

“Kamu nyuruh Mbak beli sarapan buat kamu sekeluarga?”

“Ya, bukan begitu. Kenapa jadi begini sih, biasanya juga Mbak yang nyiapin semuanya.”

“Lagian emang kamu minta dibeliin pernah nitip uang enggak?”

Entah kenapa kali ini aku tidak bisa menahan emosi ketika menghadapi Laila. Sepertinya memang benar, kejadian kemarin sore masih mempegaruhi alam bawah sadarku. Aku memang cemburu pada iparku yang selalu mendapatkan perlakuan baik dari suamiku, sementara aku justru sebaliknya.

“Kok Mbak jadi perhitungan banget sih?” tanya Laila yang sepertinya tambah kesal padaku.

Keningnya bahkan sampai berkerut karenanya.

“Bukan perhitungan, aku cuma heran aja pagi-pagi kok malah geger minta sarapan ke Mbak, kenapa enggak minta ke suamimu aja?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status