Share

Bab 7

“Kamu kok ngomongnya jadi melantur ke mana-mana, Dek? Siapa juga yang mau jadiin kamu pelayan di rumah ini. Kamu itu Abang nikahin buat jadi istri.”

“Ya terus, kenapa hanya aku yang suruh beres-beres dan masak? Tiap hari loh aku masak dan ngurus rumah. Emang salah aku minta ibunya beresin maianan bekas anaknya. Mereka yang enggak mau kemas mainan, malah aku juga yang disalahkan kalau anaknya nginjek mainan sampai terluka.”

“Abang tahu kamu kesinggung sama Laila, tapi enggak harus gini juga dong Dek. Nanti Laila juga malah kesinggung.”

“Oh jadi Abang lebih suka aku yang capek terus sendirian dari pada Laila dan Mbak Silvi yang hanya suruh beresin mainan? Aku enggak minta dia masak tiap hari, aku juga enggak minta sarapan ke dia. Apa lagi minta dia bersih-bersih serumah. Perkara sepele pun dia enggak mau gerak, masih aja Abang pikirin dia tersinggung atau enggak.”

“Dek, istigfar!”

“Sudahlah Bang, aku hanya berhenti masak sehari. Aku juga masih tanggung jawab buat nyediain makanan di rumah. Kenapa lagi masalahnya. Abang kasih uang 50 ribu buat nyukupin 3 keluarga, sementara pas Abang seneng-seneng Abang enggak pernah ingat anak istri sendiri, kalau emang Abang mau bantu orang ya sudah Abang kasih makanlah mereka pakai tangan Abang sendiri. Aku capek setiap hari begini. Rehan juga butuh perhatianku. Bukan cuma tentang keluarga Abang terus, makan minum bahkan urusan pakaian pun harus aku yang urus, aku ini udah kayak pembantu tahu enggak hiks, 24 jam full cuma buat ngurusin kalian. Terserahlah Abang mau usir aku sama Rehan dari sini sekarang juga.”

Aku sudah tak peduli jika percakapan kami didengar oleh mereka. Lagi pula ada baiknya mereka mendengarkan semuanya. Syukur-syukur jadi sadar jika perbuatan mereka membuatku tidak nyaman.

“Enggak gitu dong Dek, mana mungkin Abang usir kamu dari rumah kita. Terus nnti kamu mau tinggal di mana kalau bukan di sini.”

“Di mana aja yang jelas di tempat aku bisa istirahat dengan tenang. Bukan dikerjain terus-terusan. Ini makanannya, Abang makan duluan aja. Aku masih belum lapar.”

Setelah mengambilkan makan untuk Bang Romi aku kembali membawa lauk yang kubeli dari warung itu ke dalam. Hari ini aku hanya ingin melepaskan amarah yang selama ini aku pendam.

Sekaligus aku juga ingin tahu bagaimana respons Laila saat aku tak menyiapkan apa pun untuk dimasak. Akankah dia rela mengeluarkan uangnya untuk membeli makanan untuk disantap bersama atau justru hanya membeli makanan untuk keluarganya sendiri.

Bukannya makan, melihatku meninggalkannya begitu saja, pria itu malah menyusul sampai ke kamar. Namun, sebelum masuk aku sempat melihat Laila dan Mbak Silvi menatapku dengan pandangan yang tidak suka.

‘Sudahlah, kamu berharap apa May? Dibaikkin aja mereka tetap ketus apa lagi sekarang saat aku berani melawan sudah pasti ia akan juah lebih ketus. Lagi pula sebeleum melakukan semua ini aku sudah tahu konsekuensinya. Bisa jadi besok atau cepatnya nanti malam ibu mertuaku pasti akan di sini untuk menegurku,’ ucapku dalam hati.

Kebetulan rumahku dan ibu mertua memang cukup dekat. Itulah mengapa salah satu alasan mereka ingin tinggal di rumah ini, karena ingin berdekatan dengan orang tuanya. Sayang sekali rumah mertuaku tidaklah besar. Hanya ada dua kamar di sana. Tidak sebesar milik suamiku.

“Sayang, Abang minta maaf kalau kamu harus ngerjain semuanya sendiri. Abang pikir mereka juga mau bantuin kamu,” ucap Bang Romi kala kami tengah berada di kamar.

Ia bahkan sampai menahan lenganku, karena tak ingin aku beranjak darinya. Lagi pula siapa juga yang mau pergi, aku memang hanya ingin ke kamar untuk menenangkan diri sejenak. Lihat saja kelakuan saudara dari suamiku, sudah mengatakan ingin membereskan mainan anaknya sampai sekarang belum selesai juga. Bahkan aku biasa merapikannya dalam waktu 5 menit saja. mereka sepertinya lebih tertarik menyimak perdebatanku dengan Bang Romi.

“Abang pikir Laila nyuci sendiri,” tambahnya lagi, kala aku tak juga mengatakan sesuatu.

Entahlah, rasanya lelah sekali bahkan untuk sekedar menjelaskan sesuatu yang berulang-ulang. Entah karena suamiku memang tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti jika adiknya memang pemalas. Hanya agar ia masih bertahan di sini.

“Selama ini Abang ‘kan enggak ada di rumah. Jadi mana pernah Abang tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

“Tapi, kayaknya dulu sudah Abang tegur. Abang enggak nyangka kalau dia bakal nyuruh kamu nyuci lagi.”

Saat itu aku hanya tersenyum saja.

“Dia emang berhenti nitip cucian sama aku, tapi itu hanya berlangsung seminggu. Selebihnya masih sama, kalau Abang enggak percaya lihat aja ke belakang. Di keranjang pakaian kita itu penuh banget padahal masih ada keranjang kosong lain. Aku heran aja, istrinya siapa tapi aku yang suruh nyuci pakaian suaminya.”

Entah di mana letak pikirannya. Terkadang aku heran, apakah orang yang selalu diperlakukan dengan baik tidak ingin membalasnya dengan sedikit tahu diri saja? Tidak perlu membalasnya dengan kebaikan, cukuplah untuk melakukan semua hal yang bisa dikerjakan sendiri ia lakukan dengan tangannya. Bukankah dia masih muda dan sehat walafiat.

Aku tidak masalah jika memang yang aku cuci adalah pakaian mertuaku. Seburuk apa pun mereka memperlakukanku, aku sudah menganggapnya seperti orang tuaku sendiri. Dulu saat kami masih tinggal serumah dengan mertua, urusan rumah semuanya aku yang lakukan. Namun, aku pikir Laila akan berubah nyatanya ia masih saja sama seperti dulu.

Perlu kalian tahu, rumah yang ditempati mertuaku sekarang juga suamiku yang membangunkannya. Memang hanya bangunan sederhana yang berdiri di atas tanah yang minimalis juga, tetapi cukup nyaman untuk ditinggali. Suamiku bukanlah orang berada, hanya saja akhir-akhir ini ia terus menerus dibanjiri proyek yang bernilai fantastis. Memang hanya pemborong bangunan, tetapi pekerjaan itulah yang menopang kehidupan kami selama 10 tahun terakhir.

Rehan memang masih 4 tahun, tetapi pernikahan kami sudah berjalan lama. Kami tak kunjung dikaruniai momongan, jangan tanya bagaimana aku harus melewatinya hari-hari sebelum Rehan lahir ke dunia. Berat sekali, sungguh aku saja tidak sanggup membayangkannya. Satu yang mungkin membuatku bertahan adalah kebaikan Bang Romi yang masih memperlakukanku dengan baik di saat semua anggota keluarganya bahkan mengecapku mandul.

“Abang tegur Laila sekarang! Tunggu di sini!”

Aku hanya diam saja sambil menunggu reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan adik iparku itu. Kebetulan jika ada yang bicara di ruang tamu, aku bisa mendengarnya di kamar, jaraknya memang cukup dekat. Sengaja atau tidak pun akan tetap terdengar jika cara bicara mereka keras.

“Laila jadi kamu masih nitipin cucian ke Mbakmu?”

“Eng-enggak kok Mas, i-itu cuma salah masukin aja.”

“Punya suamimu juga Mbakmu yang cucikan?”

“I-itu juga kemungkinan salah, Mas Joko paling enggak tahu kalau pakaian kotornya harus ditaruh di keranjang yang mana.”

Aku bisa mendengar Laila sepertinya begitu gugup.

“Rom, istrimu itu keterlaluan. Dia dari kemarin loh nyari gara-gara terus. Apa memang dia sehari-hari seperti ini terus?”

“Nyari gara-gara bagaimana?”

“Ya, kamu pikir aja Mbak datang ke sini aja dia di kamar terus. Bukannya keluar.”

Ya Tuhan, apa salahnya aku kelelahan. Pakaian suami Laila bahkan sangat kotor dan bau busuk, tadinya aku tidak ingin membersikannya. Namun, sudah 2 hari Laila juga tidak kunjung mencuci pakaian suaminya. Mau tidak mau aku jadi harus mencucinya, karena bau busuknya bahkan sudah menyebar sampai ke dapur. Makan pun jadi tidak selera. Sudah ditegur pun Laila masih saja tidak segera mencucinya. Ia malah merendam pakaian kotor itu tanpa pernah memutarnya di mesin.

Bayangkan saja baunya sebusuk apa. Ini seperti buah simalakama, dikerjakan capek tidak dikerjakan juga bau busuk mungkin akan menyebar ke seluruh penjuru rumah.

“Namanya ada tamu ya wajar Rom, kalau disambut. Orang nyuci juga pakai mesin. Mbak di kampung malah nyuci di kali. Enggak capek juga. Ini perkara nyuci sama mainan aja sampai semarah itu. Lagian seberapa capeknya sih ngurus rumah, orang teras udah granit gini. Gampanglah dibersihin. Semua juga udah pakai mesin. Istrimu kurang bersyukur, baru direpotin sedikit aja ngomongnya ke mana-mana.”

Aku hafal sekali jika itu adalah suara Mbak Silvi. Ya Tuhan, bagaimana bisa mulutnya begitu tajam.

“Mungkin Mbak Mayra memang benci sama aku, ditambah kemarin dia enggak diajak makan-makan. Jadilah dia tambah benci sama aku!”

Apa lagi ini aku yang sudah tak tahan pun lantas keluar dan menatap mereka semua.

“Maksud Mbak ngomong begitu sama aku?” tanyaku.

“Loh kamu denger semua yang kami omongin?”

“Ya, Mbak ngomong keras. Enggak niat denger pun sudah pasti kedengeran Mbak. Asal Mbak tahu, coba tanya saja sama Laila, seberapa kotor dan busuknya pakaian suaminya. Apa sampai ke dalaman suaminya juga aku yang nyuciin. Yang bener aja Mbak, kalau cuma pakaian dia aku masih bisa tahan, tapi kalau sudah sekeluarga bagaimana bisa aku yang harus mengerjakannya?”

“Ya kan nyucinya pakai mesin bukan tangan.”

“Emangnya Mbak tahu aku nyucinya pakai mesin. Pakaian suaminya aja kotor banget dan penuh lumpur, belum lagi bau busuk harus disikat dan dibilas berkali-kali. Aneh banget sih keluarga kamu Mas, yang nikah siapa yang repot aku.”

“May, jaga bicara kamu ya! Romi kamu tegur istri kamu itu. Dia sudah keterlaluan banget itu!” pinta Mbak Silvi yang sepertinya tak menerima kenyataan yang baru saja aku ungkapkan.

‘Kalau sampai suamiku, memilih membela keluarga. Sepertinya aku memang harus memikirkan untuk bekerja dan menghasilkan uang. Agar ke depannya bisa mandiri, tanpa bergantung pada suamiku. Dia memang tidak mengusirku, tapi jika ia tak bisa membelaku untuk apa juga masih bertahan,’ ucapku dalam hati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status