Hari itu Alan benar-benar tidak pergi ke mana-mana. Seharian penuh ia menemani istrinya di rumah. Hanya Alvaro yang datang untuk menyampaikan laporan mengenai pekerjaannya di kantor. Jam lima sore, lelaki itu datang. Bersama Luna, keduanya langsung menemui Alan yang sudah menunggu di ruang kerja. "Apa Non Felisha tidak menerima panggilan hari ini?" Tiba-tiba Luna bertanya setelah duduk di depan sang tuan. "Apa maksud kamu? Apa kamu mengetahui satu gelagat aneh?" Alan menatap curiga. "Tidak pasti, Tuan. Tapi, sepertinya tadi saya melihat lelaki muda itu di toko kue tempat langganan Non Feli.""Apa korelasinya dengan panggilan istriku?""Terlihat ia menghubungi seseorang, saya pikir seorang perempuan. Dari obrolan yang saya dengar sepertinya ada ajakan mengunjungi satu tempat wisata." Luna mencoba menjelaskan apa yang ia tahu. Alan terlihat mulai tak nyaman. Meski awalnya ragu, tapi sekarang ia seperti mencurigai sesuatu. "Aku akan mengeceknya nanti," ujar Alan akhirnya. "Tapi, se
Alan muncul setelah Felisha selesai berbicara dengan seseorang di telepon. Ekspresi lelaki itu tampak masam ketika muncul di hadapan istrinya. "Sudah selesai, Kak?" tanya Felisha yang mencoba bersikap biasa meski ia menyadari perubahan muka Alan. "Hem." Alan menjawab singkat dengan deheman. Lelaki itu kemudian pergi ke kamar mandi tanpa menatap istrinya sama sekali. 'Ada apa dengannya? Apakah masalah kantor yang katanya mau dibicarakan itu benar-benar mengkhawatirkan?' batin Felisha mencoba bersikap tenang. 'Atau apa Gani kembali berulah setelah membawa kabur Kak Dina?' tebak Felisha kemudian. Ia teringat dengan cerita Alan tentang sosok lelaki itu saat membicarakan masalah di perusahaan. 'Enggak tahu, ah. Kak Alan juga enggak pernah mau aku terlibat untuk urusan pribadinya. Haha, siapa aku memang? Cuma seorang sandera yang dipaksa jadi istri demi memuaskan nafsunya.' Felisha mendadak merasa kasihan dengan dirinya sendiri. Lain dengan Felisha yang sepertinya tidak merasa sama s
Alan sudah akan memaksimalkan mode serangannya malam itu ketika ia tersadar bahwa ada sosok yang tengah ia jaga yang saat ini ada di dalam rahim istrinya. "Kenapa, Kak?" tanya Felisha ketika Alan tiba-tiba berhenti. Felisha melihat perubahan sikap Alan yang begitu dramatis, membuatnya sontak malu sebab merasa seolah-olah dirinya mengharap sesuatu yang lebih. Alan perlahan mundur dan menjauhkan wajahnya. Berupaya bangkit dari posisinya ketika kemudian suara Felisha membuyarkan rencananya. "Apa aku terlihat menjijikan karena sudah berbicara dengan lelaki lain?" Felisha kembali bertanya dan kali ini berharap jika Alan menjawab pertanyaannya. Alan terlihat masih diam. Ia seperti enggan menjelaskan maksud dari tindakannya yang mendadak berhenti. "Kak!" panggil Felisha yang tanpa sadar —untuk kedua kalinya menahan tangan Alan di malam itu. "Aku tidak selera untuk melanjutkan." Bukan menjawab jujur, jawaban Alan malah membuat Felisha tersinggung. Wanita itu merasa jika pembicaraannya
Suasana kamar VIP di salah satu rumah sakit terkenal di ibukota tampak sunyi dengan seorang pasien yang terbaring lemah di atas ranjang. Dina, wanita yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri, terlihat lemah dengan selang infus yang menempel di tangannya juga selang oksigen yang masih membantunya bernapas. Di sampingnya ada sang ibu yang setia menunggu sejak wanita itu masuk rumah sakit dengan tangan penuh darah akibat tindakan bodohnya beberapa malam lalu. "Bu, apa Alan sudah datang menjengukku?" tanya Dina yang tiba-tiba menanyakan mantan suaminya itu. Sang ibu tampak bingung sebab tak pernah sekali pun mantan menantunya itu datang sejak sang putri dibawa ke rumah sakit. Meski rumah sakit ini masih milik keluarga Tanujaya, tapi tak pernah ia melihat Alan hilir mudik di tempat tersebut, terlebih setelah perceraian yang terjadi antara pewaris keluarga konglomerat itu dengan putri semata wayangnya. "Bu?" Dengan suara lemah Dina memanggil ibunya. "I-iya, Din."Dina menatap sang
Sudah lebih dari tiga hari Felisha tidak diizinkan Alan keluar rumah. Lelaki itu memaksa agar Felisha tetap diam di rumah, bahkan bila perlu diam di dalam kamarnya saja sampai kondisi kesehatannya benar-benar pulih. 'Aku ini enggak sakit, tapi kenapa Kak Alan memperlakukan aku seolah-olah aku ini adalah seorang pasien,' gumam Felisha yang sore itu tengah menikmati langit senja di balkon kamar. Perempuan itu jelas kesal. Kondisi hamilnya saat ini adalah alasan utama mengapa Alan bersikap demikian padanya. "Buat apa aku diam diri terus di rumah ini? Jujur aja aku bosan," katanya tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Felisha menilai jika Alan terlalu berlebihan. Ia hanya pingsan malam itu, itupun karena faktor kelelahan. Tapi, sudah lebih dari cukup ketika dua hari lamanya ia benar-benar istirahat di atas kasur tanpa dibolehkan pergi kemana-mana. Sekarang ia sudah ingin berjalan-jalan, terutama ke kampus untuk mengejar mata kuliah yang tertinggal, juga bertemu dengan Gina —sahabatnya
Bu Rumi tampak terkejut saat ia membuka pintu kamar utama. Di depannya sudah berdiri Alan yang baru saja tiba sepulangnya dari kantor. "Ada apa? Kenapa Ibu seperti orang yang baru lihat setan! Apakah aku semenakutkan itu?" tanya Alan datar. "Eh, tidak, Tuan. Saya cuma kaget saja.""Kaget kenapa?""Enggak kenapa-kenapa, Tuan." Bu Rumi tampak gugup. Entah setan mana yang sudah membuatnya seperti itu. Yang pasti, Alan melihat sikapnya yang lain dan berbeda. "Sedang apa istri saya di dalam? Apakah hari ini ia banyak makan? Apa ada keluhan sama kehamilannya?"Pertanyaan Alan dilontarkan bertubi-tubi, membuat sang kepala asisten terdiam sejenak demi membiarkan pengusaha itu selesai bertanya. "Non Felisha banyak makan hari ini. Tidak ada juga keluhan atas kondisi kehamilannya. Semua baik-baik saja. Bahkan tadi sempat Non Feli berenang setelah Tuan berangkat.""Hah! Apa? Berenang?" Alan berseru kaget. Ada ekspresi tidak suka mendengar fakta jika sang istri berenang di kondisi kesehatanny
"Perempuan jalang kurang ajar! Tak tahu diuntung dan terima kasih!"Sebuah kalimat kasar terdengar dari arah kamar Alan. Seorang pengusaha yang sudah menikah dan memiliki anak itu, seperti tengah mengamuk sebab alasan tertentu. Beberapa orang pembantu rumah tersebut bisa mendengar dengan jelas karena pintu kamar yang tidak ditutup. Mereka tampak ketakutan dan saling memandang satu sama lain.Alan baru pulang dari kantor beberapa menit yang lalu. Tak lama kemudian, suara membahana itu langsung menghiasi seluruh sudut ruangan di lantai tiga tersebut. Di tengah Alan yang masih marah, juga para pembantu yang masih bersiaga di depan pintu kamar, tiba-tiba sosok perempuan muda muncul di anak tangga terakhir. Ia yang muncul dari bawah, tampak heran dan bingung ketika melihat empat orang pembantu berdiri di depan kamar kakaknya dengan kepala menunduk. "Ada apa?" tanya perempuan muda itu setelah mendekat dan menghampiri salah satu pembantu. Namun, belum sempat pembantu di depannya membuka
Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk mata Felisha. Ia sudah bisa membayangkan maksud dari pelayanan yang Alan katakan. Bagaimana mungkin gadis itu melakukan hal tersebut. Ia adalah adik ipar Alan. Sosok kakaknya masih ada meski entah di mana keberadaannya sekarang. Bagaimana mungkin ia mengkhianati Dina dengan melayani kakak iparnya sendiri. Selain ia tidak memiliki perasaan cinta kepada Alan, perasaan enggan di hatinya membuatnya tak mau menyetujui permintaan Alan barusan. "Kalau kamu tidak mau, biar aku yang melakukannya!" seru Alan seraya menarik paksa pakaian Felisha keluar dari tubuhnya. "Tidak, Kak. Jangan seperti ini. Ki-kita bisa bicarakan baik-baik. Pasti terjadi kesalahpahaman di sini." Felisha mencoba menghentikan aksi Alan di tengah kondisi tubuhnya yang kini menyisakan dua pakaian dalam yang masih melekat. Namun, Alan tetap bergeming. Ia seperti enggan mendengar perkataan Felisha. Kedua tangannya sudah akan melepas kain terakhir pada tubuh adik iparnya ketika ia