"Run, Baby! Run! Don't look back!"
Wanita cantik itu berlari dengan pipi basah, berderai air mata. Sesaat kemudian, wanita itu terpelanting dan terjatuh ke dalam lubang hitam. Kedua tangannya terulur, berharap seseorang akan menggapai. Namun, perlahan tubuhnya hilang ditelan kegelapan.
"Camila!" Meski Joseph berteriak sekuat tenaga, namun tidak ada satu orang pun yang mendengarnya.
Pria itu seperti ditarik ke dalam sebuah ruangan tanpa cahaya. Dalam sekejap, hanya gelap dan dingin yang dia rasakan. Dia terduduk memeluk lutut, meratapi kematian istrinya.
Sayup-sayup suara monitor menelusup ke dalam indera pendengaran Joseph. Perlahan suara itu terdengar semakin jelas, namun kelopak matanya terasa sangat berat untuk dibuka. Pria itu berusaha menggerakkan apapun di bagian tubuhnya yang mampu dia gerakkan. Namun, lagi-lagi dia harus menyerah karena kondisi tubuh yang terasa sangat lemah.
Perlu beberapa saat bagi Joseph untuk mengumpulkan tenaga hingga dia mampu membuka kelopak matanya.
"Kau sudah bangun?" Suara asing itu terdengar begitu jelas di telinga Joseph.
Dengan mata sayu, Joseph berusaha memutar kepala ke samping. Dia melihat seorang pria dengan setelan jas mahal dan rambut yang tersisir rapi ke belakang sedang berdiri di sisi kiri tempatnya berbaring.
"Minum?" Pria asing tersebut mengangkat gelas berisi air putih yang telah diberi sedotan lalu mengarahkan ujung sedotan tersebut ke bibir Joseph.
Joseph meminum sedikit air itu untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering. Secara bertahap kesadaran Joseph mulai terkumpul. Dia menilik ke sekeliling ruangan tersebut. Warna putih dan silver tampak mendominasi, dia merasa tidak asing dengan tempat seperti ini. Beberapa peralatan medis yang lazim berada di rumah sakit tampak mengelilinginya. Apa dia sedang berada di rumah sakit? Kedua mata Joseph terus menelusuri setiap sudut ruangan yang mampu dia jangkau. Hingga dia menyadari satu hal, tidak ada satu ruangan pun di rumah sakit yang seluas ini, lengkap dengan beberapa perangkat elektronik canggih dan beberapa pria kekar berjas hitam di sisi ruangan yang lain.
"Camila!" Dengan suara lemah, Joseph memanggil nama sang istri saat mengingat hal terakhir yang dia alami.
Pria itu hendak bangkit, namun tubuhnya terasa terlalu lemah dan terasa sakit hampir di semua bagian. Detak jantungnya langsung meningkat, seiring kewaspadaan yang juga meningkat. Siapa orang-orang ini?
Pria asing itu terkekeh melihat Joseph yang gagal bangkit.
"Kau terlalu lemah untuk bangun, Nak. Nikmati saja waktumu untuk beristirahat," ucapnya.
Dengan satu lambaian tangan, seorang pria dengan pakaian mirip dokter datang mendekat. Pria asing itu membiarkan Joseph menjalani beberapa prosedur pemeriksaan hingga selesai.
Joseph melihat beberapa kabel yang menempel di dadanya. Di beberapa bagian juga menempel kain kasa yang dia yakini untuk menutup bekas luka tembakan. Ya, dia masih ingat dengan beberapa timah panas yang menembus tubuhnya.
"Kau baru saja kembali dari kematian." Pria asing itu tersenyum sambil menarik kursi untuk duduk di samping pembaringan Joseph.
"Siapa kau?" desis Joseph, menatap tajam pada pria tersebut.
Pria asing itu tertawa lebar lalu berkata, "Kau bisa memanggilku Dreyfus. Aku yang telah menyelamatkanmu."
Tatapan mata Joseph masih setajam tadi, menatap curiga pada pria tersebut. Dia tidak akan percaya begitu saja dengan pria itu. Bisa saja pria yang mengaku bernama Dreyfus tersebut adalah salah satu anak buah Andrew, ayah Camila.
"Sudah kuduga." Dreyfus mengambil sebuah tablet lalu membuka folder penyimpanan gambar.
"See? Anak buahku menemukanmu di tepi pantai." Dreyfus menunjukkan beberapa foto ketika Joseph terkapar di atas pasir dengan wajah pucat dan bibir membiru.
Joseph mengerutkan kening. Hal terakhir yang dia ingat adalah saat Camila terjatuh ke laut dan dia dihajar habis-habisan oleh anak buah Andrew. Lantas, bagaimana dia bisa sampai di tepi pantai? Apa tubuhnya juga dilempar ke laut oleh mereka?
"Sudah kubilang kalau kau baru saja kembali dari kematian." Dreyfus menyimpan tabletnya kembali. "Kau punya banyak nyawa, Nak. Dan aku menyukainya," lanjut pria itu.
Otak Joseph kembali berputar. Jika mereka menemukan Joseph di pantai, apa mereka juga menemukan Camila di sana?
"Apa ada orang lain lagi selain diriku di sana?" tanya Joseph.
Dreyfus menarik sudut bibir ke bawah sambil mengangkat alis. Lantas, pria itu melihat pada Joseph dengan mata sedikit menyipit.
"Apa ada orang lain lagi yang harus kutemukan di sana?" tanya Dreyfus seolah mengulang pertanyaan Joseph.
Jawaban Dreyfus sama artinya jika tidak ada orang lain selain dirinya yang ada di pantai saat itu. Joseph mulai ditelan rasa kehilangan. Apa Camila bisa selamat dari kematian seperti dirinya? Apa wanita yang dia cintai itu saat ini tengah terbaring di sebuah rumah sakit?
Tidak! Joseph menggeleng kepala dengan raut wajah pias saat memikirkan hal terburuk yang terjadi pada istrinya. Dia sangat mencintai Camila. Begitu pula dengan wanita itu, meski hubungan mereka tidak mendapat restu dari ayah Camila yang berakhir dengan pelarian berujung petaka bagi mereka. Tepat di malam pertamanya, Joseph harus kehilangan wanita yang sangat dia cintai. Itu lebih menyakitkan daripada kematiannya sendiri.
"Jadi ... apa aku sudah boleh mengajukan pertanyaan sekarang?" Dreyfus berbicara seolah dia membutuhkan izin untuk mengajukan pertanyaan. Padahal kenyataannya, dengan izin ataupun tidak, dia tetap akan bertanya.
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Joseph. Pria itu masih kalut memikirkan kemungkinan terburuk yang terjadi pada Camila.
"Siapa namamu, Nak?" tanya Dreyfus.
Pertanyaan itu membuat Joseph memfokuskan pandangannya pada Dreyfus. Wajah pria itu tidak bisa berbohong jika dia sedang merasakan kekalutan yang besar. Apalagi dia juga tidak tahu siapa pria yang tengah duduk di samping pembaringannya itu. Apakah dia orang yang bisa dipercaya?
"Aku bukan pengangguran yang bisa menghabiskan waktu seharian untuk menunggu jawabanmu, Anak Muda." Dreyfus menghela napas panjang, menunggu jawaban Joseph.
Setelah diam beberapa saat, menimbang apakah dia bisa memercayai pria tersebut, akhirnya dia memutuskan untuk menjawab, "Joseph."
Kedua alis Dreyfus terangkat. "Hanya ... Joseph?"
Baiklah, rasanya tidak ada gunanya juga Joseph menutup mulut. Melihat fasilitas yang mengelilinginya saat ini, dia bisa menebak kalau Dreyfus bisa saja mendapatkan informasi tentang dirinya dengan mudah tanpa harus bertanya.
"Hunter. Joseph Hunter," jawabnya.
Pria dengan setelan jas mahal itu menyunggingkan senyum kecil.
"Hm... nama yang bagus. Tapi aku akan lebih senang memanggilmu Hunter. Pemburu," ujarnya dengan maksud tersirat.
"Apa kau akan memberitahuku, apa yang membuatmu berakhir mengenaskan dengan tubuh babak belur dan tiga peluru yang bersarang di dalam tubuhmu?" Dreyfus sama sekali tidak menutup-nutupi keingintahuannya.
Namun, Joseph tidak sepemikiran. Dia enggan untuk menceritakan masalah yang dia hadapi meski dia tidak tahu apakah Dreyfus bersungguh-sungguh ingin dia menceritakannya.
"Berandalan. Hal biasa," jawab Joseph.
"Sungguh?" Wajah Dreyfus mengerut, tidak percaya dengan jawaban Joseph. "Berandalan di tengah hutan?" lanjutnya.
Ayolah, Siapa saja juga bisa melihat kalau pertanyaan Dreyfus tidak lebih dari sekadar omong kosong. Jika Dreyfus menemukannya di pantai, bagaimana dia tahu kalau sebelumnya Joseph bertarung di hutan? Bukankah itu berarti Dreyfus telah mengetahui lebih banyak dari yang dia tanyakan? Hal konyol yang membuat Joseph enggan untuk menjawab pertanyaannya lagi.
"Sepertinya pohon dan ngengat sudah lebih dulu menjawab pertanyaan itu," tutur Joseph skeptis.
Ucapan Joseph mengundang tawa Dreyfus. Menjawab atau tidak, bukan perkara sulit bagi pria berjambang itu untuk mendapatkan informasi tentang Joseph.
"Dan sepertinya aku semakin menyukaimu," balas Dreyfus.
Firasat Joseph tentang Dreyfus tidaklah baik. Meski pria itu telah menyelamatkan nyawanya, namun Joseph merasa Dreyfus adalah orang yang licik. Jelas sekali bahwa pria itu bukanlah orang sembarangan. Dia merasa memercayai Dreyfus bukanlah keputusan yang tepat. Dia yakin jika akan ada harga sangat mahal yang harus dia bayar untuk semua ini. Namun tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang, di saat kondisinya sangat lemah.
"Beristirahatlah, Nak. Akan lebih mudah berpikir di saat kondisimu prima. Dua hari lagi aku akan mengunjungimu." Dreyfus menarik tipis satu sudut bibir ke atas lalu beanjak dari duduknya.
"Nyamankan dirimu. Anggap seperti di rumah sendiri," ujar Dreyfus sebelum dia berbalik meninggalkan Joseph.
Senyum tipis di bibir Dreyfus perlahan berubah menjadi seringai. Sekali melihat saja, pria berusia akhir empat puluhan itu bisa melihat potensi dalam diri Joseph yang akan memberikan keuntungan padanya. Dia hanya perlu memulihkan kondisi Joseph sehingga pria yang telah dia selamatkan itu akan berada di dalam genggamannya, dalam kendalinya.
Sudah tiga minggu sejak dirinya sadar, Joseph hanya menghabiskan waktu di tempat tidur. Belum sekali pun dia menghirup udara segar di luar ruangan. Dengan alasan medis, Dreyfus menurunkan perintah kepada anak buahnya untuk menjaga Joseph tetap berada di dalam ruangan. Hingga saat merasa dirinya sudah cukup kuat untuk berkeliling, Joseph mencoba bernegosiasi untuk bisa keluar."Dengan kondisi seperti ini, kalian pikir aku bisa melarikan diri?" Merasa seperti tahanan, Joseph kesal ketika permintaannya untuk keluar ruangan ditolak oleh anak buah Dreyfus yang berjaga di depan pintu."Maaf, Sir. Kami hanya menjalankan perintah," ucap salah satu dari mereka."Dreyfus, hah? Dia tidak ada di sini. Aku hanya akan keluar sebentar. Aku butuh udara segar," kata Joseph.Kalaupun ingin kabur, Joseph tidak akan gegabah. Dia perlu mempelajari medan terlebih dahulu. Untuk sekarang, dia hanya ingin melihat-lihat. Dia ingin tahu di mana dirinya berada saat ini."Maaf, Sir--""Aku dengar seseorang menyeb
Pembalasan dendam yang ditawarkan oleh Dreyfus sungguh menggelitik batin Joseph. Pria itu berhenti melangkah tanpa memalingkan wajah. Dia tahu, kematian Camila tak lepas dari ulah ayah mertuanya, Andrew Reyes. Bukan Camila yang seharusnya mati, melainkan dirinya. Camila hanyalah korban, dan dia yakin bahwa Andrew tidak akan pernah memberi perintah kepada orang-orangnya untuk menghabisi nyawa putri kesayangannya.“Tidak akan mudah untuk mendekati Andrew Reyes, Hunter. Aku tahu dia sangat membencimu karena telah membawa lari putrinya. Dan aku bisa membantumu untuk melakukan hal itu,” imbuh Dreyfus.Kedua tangan Joseph mengepal semakin kuat seiring dengan rahangnya yang mengetat. pria itu sangat menahan diri untuk tidak membalik badan, namun provokasi dari Dreyfus begitu mendistraksi pikiran.Sungguh! Joseph tidak ingin menjadi budak pria tua itu. Dia tidak mau diperdaya oleh Dreyfus untuk menjadi kacung yang tunduk pada perintah pria tersebut. Karena dia sangat yakin, sekali dirinya ter
Pada hari-hari tertentu, Dreyfus mengizinkan anak buahnya untuk berpesta. Hal ini dilakukan agar mereka tidak terlalu tertekan dalam melaksanakan tugas masing-masing. Carnicero memang bukan organisasi resmi yang didirikan oleh pemerintah. Namun, pekerjaan yang mereka ambil terkadang lebih berat dari pekerjaan badan intelijen pemerintah atau pasukan elit angkatan bersenjata di bawah naungan NAVY SEAL.Bagi anak buah Dreyfus, meski pesta semacam itu hanya diadakan di bar yang ada di markas, namun terasa sangat menghibur. Mereka bisa merilekskan otak dan otot setelah menjalankan misi yang bahkan beberapa dari mereka melakukan misi selama berbulan-bulan. Kembali dan disambut dengan pesta sederhana seperti itu, membuat hubungan di antara mereka semakin erat. Tak hanya sebagai rekan kerja namun juga sebagai keluarga.Candaan dan tingkah konyol beberapa orang membuat yang lain turut tertawa terbahak-bahak. Satu-satunya orang yang tampak tak menikmati pesta tersebut hanyalah Joseph. Pria itu
Jill sama sekali tidak terlihat seperti sedang bercanda ketika mengatakan bahwa Dreyfus akan menyerahkan misi tersebut kepada mereka. Wanita itu justru terlihat begitu antusias. Hanya saja … Joseph tak memiliki bayangan apa pun tentang misi yang dibicarakan oleh Jill.Apa yang harus dia lakukan dalam misi itu? Menghabisi nyawa seseorang? Meratakan markas kartel yang menguasai sebagian besar wilayah Amerika Selatan itu dengan bom berdaya ledak tinggi? Atau dia harus datang ke markas The Demon untuk berduel dengan anggota kartel tersebut?Joseph sama sekali tak mengerti. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Entahlah, Joseph merasa bahwa dia tidak seharusnya berada di tempat itu. Misi, kerjasama dengan pemerintah … itu semua omong kosong!“Dreyfus berjanji padaku bahwa dia akan memberiku jalan untuk membalas dendam kepada Andrew Reyes. Aku tidak seharusnya berada di dalam misi itu,” sangkal Joseph.Jill mengibas tangan di depan wajah dengan senyum miring saat berpaling sekejap dari
Tidak seperti yang Joseph pikirkan sebelumnya. Penampilan Jill memang sangat menipu. Paras cantik serta tubuh indah yang dikombinasikan dengan pakaian seksi, nyatanya menyembunyikan sosok predator yang sangat berbahaya di dalam diri wanita itu.Jika semula Joseph meremehkan kemampuan wanita itu hanya berdasarkan apa yang dia lihat dari luar, maka sekarang Joseph harus membuang stigma itu dari dalam pikirannya. Jika Jacob dan Helena terlihat tangguh dalam sekali lihat, maka dia harus mengenal Jill terlebih dahulu untuk bisa melihat kemampuan wanita itu yang sesungguhnya.Tak hanya ahli dalam menembak. Jill juga memiliki kemampuan bela diri yang sangat mumpuni. Malah bisa dikatakan kalau Jill memiliki hal lain yang membuat kemampuan berkelahinya menjadi semakin hebat. Wanita itu menggunakan pesonanya untuk memancing kelengahan lawan lalu menyerang tanpa ampun.“Tunjukkan kemampuanmu!” Di tengah matras, Jill memasang posisi kuda-kuda dengan senyum manis yang mengeluarkan aura mematikan.
“Apa kau bilang?” tanya Joseph saat tak begitu jelas mendengar apa yang diucapkan oleh Jill. Pria itu lantas mengangkat badan, duduk sambil melepas napas panjang seolah merasa begitu lega bisa bernapas kembali dengan baik.Wanita itu berpaling dengan bibir yang setengah terbuka. Kemudian dia menjilat bibir bawah dan menjawab, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengatakan kau harus banyak berlatih. Kemampuan bertarungmu masih perlu diasah lagi. Fokusmu juga kurang baik. Dan satu lagi! Dalam bertarung, jangan pernah menggunakan hati. Empati bisa membuatmu mati!”Sungguh pandai Jill bermain kata-kata. Meski dari sikap dan tatapannya, wanita itu terlihat sangat jelas mengagumi Joseph. Namun, lidah wanita tersebut tetap terkontrol untuk memainkan kata.Mungkin benar, Joseph sudah tidak asing lagi dengan perkelahian jalanan. Namun secara teknik, melawan Jill saja dia masih kuwalahan. Ya, Joseph menyadari hal itu.“Aku tahu,” sahut Joseph.“Berlatihlah lebih banyak. Jadi ketika perintah untuk melakuk
Meninggalkan Joseph di ruang berlatih, Jill masih mengenakan pakaian latihan kala menemui Dreyfus. Wanita itu melangkah dengan anggun. Dadanya tampak membusung, punggung tegak, dan dagu terangkat. Jill mengayun kaki jenjangnya menuju ruang kerja Dreyfus yang terletak cukup jauh dari tempatnya berlatih bersama Joseph.Ruang kerja Dreyfus terlihat jauh dari tempat berlatih karena untuk menuju ke sana, perlu melewati beberapa pintu serta lorong yang bisa menyesatkan siapa saja yang belum hafal dengan markas Carnicero. Oh, dan jangan lupakan bahwa Jill harus menaiki lift untuk dapat menjangkau tempat tersebut. Bahkan Joseph sekalipun belum pernah datang ke ruang kerja Dreyfus. Hanya beberapa orang yang memiliki akses khusus yang bisa datang ke sana. Para Gladiator adalah salah satunya.Setelah berjalan melewati jalur yang berputar-putar, Jill tiba di depan sebuah pintu besi dengan kunci digital yang ada di samping pintu. Dia harus menekan beberapa kombinasi angka untuk membuat pintu itu t
Semua sudah diserahkan kepada Jill. Pelatihan yang akan dia berikan kepada Joseph, tentu tak hanya dalam hal beladiri. Seorang Gladiator tak hanya harus memiliki kemampuan bertarung yang mumpuni. Tak jarang mereka harus melakukan aksi spionase yang mana itu membutuhkan keahlian menyamar dan membaur yang baik.Setelah pembicaraannya dengan Dreyfus, Jill kembali ke kamar untuk membersihkan diri. Letak kamar yang bersebelahan dengan milik Joseph, membuat gerak kaki wanita itu terhenti ketika tiba di depan pintu. Dia tidak tahu apakah Joseph sudah kembali ke kamar atau belum. Namun, ada hal yang menggelitik di dalam batin Jill hingga wanita itu nekat mengayun kaki ke kamar yang bukan miliknya, yaitu kamar Joseph.Perlahan, dia gerakkan tangan ke arah gagang pintu dan menyentuhnya dengan hati-hati. Saat sudah mendarat di sana, Jill tak langsung memutarnya. Wanita itu menipiskan bibir sambil mengumpat dalam hati.“Apa yang terjadi padaku?” gumam Jill seraya melepaskan tangan dari gagang pin