Mata sayu itu menatap semakin dalam meski kekosongan begitu jelas tergambar di dalamnya. Perlahan, hampa dalam pandangan itu mulai terisi dengan rindu yang membiru. Dengan kedua alis yang berkerut samar, Joseph terlihat begitu merindukan sosok yang seolah dia lihat di depan mata.“Camila …,” lirih Joseph penuh rindu.Jill terkesiap mendengar pria di bawahnya ini memanggil nama mendiang sang istri. Dia pun menahan napas. Tak hanya karena keinginan yang semakin membara di dalam dada, namun juga karena setitik ketidaksukaan kala lisan si pria menyebut nama wanita selain dirinya dengan tatapan begitu memuja.“Aku sangat merindukanmu, Sayang,” lirih Joseph masih dengan tatapan mengarah lurus pada netra satin grey milik Jill. “Lensa kontak yang cantik. Aku selalu suka dengan apa yang kau pilih,” racaunya lagi sembari menyipitkan mata, berusaha fokus pada warna mata wanita di hadapannya ini yang tampak berbeda dari warna mata sang istri.Tak hanya lisan saja yang terus meracau. Melepas sebel
Jill memijit pangkal alis saat tiba-tiba merasa pening. Wanita itu mengumpat berkali-kali sebelum akhirnya mengganti pakaian dengan yang baru. Dia tak ingin Dreyfus mencium aroma alkohol di tubuhnya, atau bahkan sisa feromon yang mungkin tertinggal di sana. Meski dia sangat yakin alasan Dreyfus memanggil, berhubungan dengan kepergiannya dan Joseph malam ini.“Kenapa dia tidak menunggu hingga besok pagi saja?” gerutu Jill.Namun, wanita itu tak bisa membantah. Suara Dreyfus terdengar cukup tegas saat memberikan perintah. Membantah ataupun menawar perintah pria tersebut hanya akan membuatnya berada dalam masalah lain.Meski sangat malas, langkah wanita itu tetap saja terlihat anggun ketika menyusuri lorong menuju ruang kerja Dreyfus. Hingga dia tiba di depan pintu dengan dua pria kekar berdiri di sisi kanan dan kiri.“Dreyfus sudah menungguku,” ujar Jill dengan nada malas yang jelas terdengar.“Silakan, Nona,” balas salah satu pria itu seraya membukakan pintu.Wanita itu segera memasuki
Rasanya kelopak mata Joseph sangat berat untuk dibuka. Kepalanya pun terasa pening bukan main. Untuk kesekian kali, Joseph mencoba untuk membuka kelopak mata dengan sedikit memaksakannya. Seketika itu pula pening langsung menyerang. Seolah kepalanya baru saja dihantam oleh balok kayu dengan sangat keras. Hangover adalah penyebabnya.“Errgh!” Joseph mengerang sambil memegangi kepala yang terasa berat.Pria itu menggeleng kepala beberapa kali lalu berusaha bangkit. Rasa pengar yang menghantam membuat pria itu mengingat hal terakhir yang dia lakukan. Tentu saja saat masih di kelab milik pria bernama Justin Reed. Di mana dirinya nekat menenggak minuman berkadar 60% itu.“Sepertinya aku terlalu mabuk semalam,” gumam pria tersebut.Setelah duduk di tepi ranjang beberapa saat, Joseph lantas mengangkat badan dan berjalan menuju kamar mandi. Dia butuh mengguyur kepala dengan air dingin untuk menghilangkan efek minuman memabukkan yang dia tenggak semalam.Di dalam kamar mandi, usai dirinya memb
Beberapa kali Jill mendapati Joseph yang menunduk sambil menggeleng kepala ketika mereka sedang berjalan menuju tempat makan siang. Jill bisa menebak bahwa Joseph sedang mengalami hangover akibat mabuk semalam. Dia sudah berusaha menahan mulutnya untuk tidak bertanya apa pun pada pria itu selama beberapa waktu. Namun, pada akhirnya dia tak kuasa menahannya lagi.“Kau baik-baik saja?” tanya Jill seraya menoleh dengan raut khawatir pada Joseph.Suami Camila itu berpaling lalu tersenyum sekilas. “Kepalaku … kau pasti sudah tahu,” jawab pria tersebut.“Hangover, right?” tebak Jill yang sekadar basa-basi.Joseph mengedikkan bahu lalu melepas napas. Pria itu memasukkan tangan ke saku celana sambil terus melangkah dengan pandangan lurus ke depan.“Aku ingin jujur padamu,” ucap Joseph tiba-tiba. Pria itu berpaling pada Jill dengan senyum tipis lalu kembali melihat ke depan.“Aku sudah lama sekali tidak mabuk. Yang semalam adalah pertama kali yang kulakukan,” ungkap Joseph.“Oh, benarkah?” Jil
Dreyfus membuka map di hadapannya dan mengeluarkan tiga buah berkas dengan stempel melintang bertuliskan “classified” dari sana. Pria itu menggeser dua berkas ke arah Joseph dan Jill, menyisakan sebuah berkas untuk dirinya sendiri.“Di dalam berkas itu, ada informasi tentang The Demon yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah. Termasuk nama-nama orang penting dalam kartel itu,” terang Dreyfus. Pria itu menjeda ucapannya dan memberikan kesempatan pada Jill dan Joseph untuk membuka berkas.“Rahasia, hum?” seloroh Joseph dengan satu sudut bibir terangkat.“Ya. Informasi ini bersifat rahasia,” kata Dreyfus membenarkan.Jill dan Joseph membaca isi berkas itu dengan seksama. Nama-nama yang cukup dikenal di negara mereka tampak terselip di antara pemegang peran penting dalam kartel. Bahkan ada beberapa di antara mereka yang berasal dari Asia.“Evangeline Patricia.” Dreyfus menyebut satu nama di antaranya. “Jejak aktivitas terakhir The Demon terendus di perbatasan Meksiko. Sebuah transaksi di
Pesta yang digelar di kediaman Walikota Ferdinand itu terlihat begitu meriah. Hunian bak kastil itu benar-benar disulap layaknya pesta meriah sebuah kerajaan. Bukan orang sembarangan yang berkesempatan mendapat kehormatan untuk menghadiri pesta tersebut. Dan, di antara nama-nama yang tercatat dalam daftar undangan, Andrew Reyes adalah satu-satunya nama yang Jill harap tidak akan membubuhkan tanda tangan pada buku tamu.“Kau siap, Mr. Walker?” tanya Jill pada saat mobil yang dikendarai oleh anak buah Dreyfus itu berhenti melaju di pelataran bangunan megah tersebut.“Tentu saja, Mrs. Walker,” balas Joseph.Kendati mengatakan dirinya sudah siap, namun Jill dapat melihat gurat kegelisahan dalam wajah Joseph. Wanita itu tahu bahwa suami gadungannya tersebut sedang merasa gugup. Hal yang wajar, mengingat ini adalah pertama kalinya Joseph melakukan tugas sebagai gladiator.Jill tertawa kecil lalu menyentuh tangan Joseph yang mengepal di atas paha.“Rileks, Jerome. Bersikaplah seperti kau sed
Pasangan suami dan istri palsu itu mulai menuju tengah ruangan. Mengambil gelas champagne dari meja lalu menyesapnya sambil mengedarkan pandangan. Berakting layaknya tamu undangan pada umumnya. Sesekali mengulas senyum elegan untuk memperkuat penyamaran.“Jadi, siapa sebenarnya Jerome Walker dan Griselle Walker?” tanya Joseph yang tiba-tiba penasaran dengan sosok tersebut.“Pemilik pabrik anggur di Houston,” jawab Jill seraya melirik pria itu.“Apa mereka benar-benar ada?” Joseph mengerutkan alis.Jill melemaskan bahu lalu menurunkan gelas berkaki yang dia pegang. “Ya, mereka benar-benar ada.”“Jika kita yang ada di sini, lalu … di mana Tuan dan Nyonya Walker yang asli?” Sungguh, Joseph tak bisa menahan rasa ingin tahunya.Menatap Joseph beberapa saat, Jill lantas menjawab, “Untuk masalah itu, kau bisa menanyakannya kepada Dreyfus.” Wanita itu mengakhiri ucapan dengan satu sudut bibir terangkat lalu menyesap minuman dalam gelasnya.Dalam wajah Joseph masih tergambar raut penasaran. Ap
Untuk beberapa waktu, Joseph merasakan dunianya seolah berhenti berputar. Netra abu-abunya tak berhenti memandang ke arah yang sama, pada seorang wanita yang tengah berkutat dengan ponsel pintar di dekat angsa kristal.“Camila?” Sekali lagi nama itu terucap dari bibir Joseph. Namun masih sama, nyaris tak bersuara.Degup jantung yang kian bertalu membuat pria itu tak kuasa menahan kaki untuk melangkah menuju sosok yang dimaksud.Seorang wanita dengan rambut pirang yang digelung cantik tampak sedang berbicara dengan seseorang dalam telepon. Wanita itu memutar badan hingga membelakangi Joseph yang terus melangkah dengan perlahan mendekatinya.Saat ini, kaki Joseph seakan bergerak tanpa kendali dari otaknya. Satu nama yang lolos dari bibirnya beberapa waktu lalu telah membuat pria itu kehilangan kontrol atas diri sendiri. Hingga tanpa sadar, pria itu telah tiba di belakang si wanita yang mencuri seluruh perhatian sejak beberapa waktu yang lalu.“Camila?” Nama itu terucap seiring telapak t