Share

BAB 8: Masa Lalu Yang kelam

Siang itu Keyra menikmati makan siangnya bersama Afnan, sepasang suami istri itu kini semakin akrab, berbincangan ringan seputar perkebunan, bisnis dan juga agama semakin membuat Keyra nyaman bersama Afnan.

“Kak Afnan, kita sudah menikah selama satu bulan, tapi belum pernah sekalipun kakak mengajak aku ke pondok pesantren,” ucap Keyra

“Kamu ingin kesana?”

“Iya, kapan-kapan ajaklah aku.”

“Bagaimana jika akhir pekan ini.”

“Okay.”

Tanpa mereka sadari sepasang mata nyalang menyaksikan keakraban Afnan dan Keyra, siapa lagi jika bukan Samuel, yang sejak tadi mengikuti Keyra.

“Key...Key...ternyata kamu memang berpaling dariku, ingat Key, janjimu harus kamu tepati, dua bulan lagi kamu harus menyerahkan dirimu padaku,” gerutu kesal Samuel.

***

Akhir pekan tiba, Keyra begitu antusias mengunjungi pondok pesantren dan yayasan panti asuhan milik Afnan, mobil sedan putih milik Keyra melaju sedang menuju sebuah pondok pesantren.

Begitu tiba, sejumlah santri sudah menyambut kedatangan mereka, terlihat seseorang seumuran dengan Afnan berjalan mendekati keduanya.

“Assalamu’alaikum,” sapa salam Afnan.

“Waalaikumsalam, aku senang kamu berkunjung disini.”

“Ini Keyra istriku, ”Afnan memperkenalkan Keyra yang berdiri di sampingnya.

Keyra pun mengulurkan tangan bermaksud untuk berjabat tangan pada pria yang diperkenalkan oleh suaminya, tapi tangan pria itu tidak menyambut uluran tangan Keyra, tapi ia melipatkan kedua telapak tangannya di dada.

“Rafif, sepupu Afnan,” jawab pria itu dengan santun. Rafif, menatap dalam Keyra sambil mengingat sesuatu.” Sepertinya aku pernah melihatmu, kamu pernah di pusat rehabilitasi pengguna obat-obatan terlarang ‘kan?” tanya Rafif.

Keyra terkejut, dan terdiam sejenak, tapi ia langsung melempar senyum pada Rafif. ”Maaf, mungkin Anda salah lihat,” balasnya dengan tenang.

“Oh...maaf, tidak mungkin seorang Afnan memilih istri dengan latar belakang seperti itu, iya ‘kan Afnan?”

“Benar,” jawab Afnan singkat.

Keyra menelan salivanya, ia sedikit kesal dengan pertanyataan Rafif dan jawaban Afnan, memangnya kenapa, jika pernah mengkonsumsi barang itu, Keyra merutuk dalam hati.

“Oh Ya Afnan, kebetulan kamu disini, aku ingin membicarakan hal penting denganmu mengenai pembangunan tanah hibah yang diberikan Pak Praja dan juga program pondok pesantren, bisakah kita bicara di pendopo?”

“Tentu saja, aku akan menyuruh seoarang santri untuk menemani Keyra.”

“Afnan melambai pada salah satu santriwati, lalu seorang gadis berusia 16 tahun datang, dan mengucap salam.

“Assalamu’alaikum, Kak Afnan?”

“Waalaikumsalam, bisakah aku minta tolong, untuk menemani Keyra berjalan-jaln keliling pondok,” pinta Afnan.

“Bisa Kak.”

“Terima kasih.” Balas Afnan.

Setelah itu Afnan dan Rafif melangkahkan kaki menuju pendopo, sedangkan Keyra bersama santriwati mulai berjalan-jalan mengelilingi pondok.

“Siapa nama kamu?” Keyra bertanya pada gadis yang berjalan di sampingnya.

“Saya Anisa, Kak.”

“Panggil aku Keyra.”

Keduanya pun berjabat tangan, sebagai tanda perkenalan.

“Boleh aku bertanya tentang Kak Rafif?”

“Oh..Ustad Rafif, boleh Kak.”

“Kak Afnan dan Kak Rafif, aku dengar mereka sepupu?”

“Benar Kak, Ustad Afnan dan Ustad Rafif itu sepupu, sutu kakek yaitu Kiai Darmajati yang merupakan salah satu pendiri pesantren ini selain Kiai Sastra dan Nyai Rukmini. Tapi Ustadz Afnan tidak mau memimpin pesantren ini sepeninggal Abi dan Uminya, oleh karena itu Kiai Damarjati menunjuk Ustadz Rafif, sebagai pemimpin.”

“Kenapa kamu tadi memanggil Kak Afnan bukan Ustadz Afnan.”

“Karena Ustad Afnan lebih suka dipanggil Kakak. Begitulah Ustad Afnan, ia sangat rendah hati tidak suka menunjukkan gelar dan kekayaannya, padahal beliau memliki perkebunan, dan aku dengar sedang merintis pabrik pengolah buah menjadi minuman kemasan.”

Keyra mengeryitkan dahi. ”Benarkah?”

“Iya kak, masa Kak Keyra tidak tahu ‘kan istrinya.”

Keyra hanya mengulum senyum, suami tampannya itu benar-benar seorang yang pengusaha yang sholeh.

“Kak Keyra sangat beruntung menikah dengan Kak Afnan, beliau juga aktif di bidang sosial dan pendidikan, sering kali di undang ceramah untuk mengisi siraman rohani, di sekolah dan kampus. Kalau Ustadz Rafif, lebih suka memberikan siraman rohani di rumah tahanan dan di pusat rehabilitasi pecandu obat-obatan.

“Oh... begitu,” jawab Keyra.

Sementara itu, terlihat Afnan dan Rafif berbicara dengan sangat serius, setelah hampir satu jam membahas tentang kegiatan pondok pesantren, mereka kembali bercanda dan berbicara ringan layaknya seorang saudara.

“Rafif, aku penasaran dengan pernyataanmu tadi, waktu bertemu Keyra, apa benar kamu melihat Keyra di pusat rehabilitasi?”

“Aku, yakin sih, tapi jika Keyra menyangkal itu, mungkin aku salah duga,” balas Rafif.

”Lagi pula itu sudah lama sekali sekitar 4 tahun yang lalu, waktu itu juga kunjungan pertamaku ke pusat rehabilitasi yang ada Jakarta Utara.

Afnan mengangguk mengerti, tapi ia sangat penasaran, tidak mungkin juga Rafif mengarang cerita, atau Keyra yang menyembunyikan sesuatu.

Di tempat lain, Keyra tampak senang waktu ia berada di arena pacuan kuda.

“Kalian di sini belajar berkuda juga?”

“Iya Kak, berkuda dan memanah, olahraga utama di pondok ini.”

“Wow.. seru sekali, bolehkan aku menungang kuda?”

“Sebentar, biar dibantu oleh yang lebih profesional.”

“Tidak perlu, aku sudah profesional.”

Keyra langsung menuju salah satu kuda berwarna hitam yang terikat, lalu dilepaskannya ikatannya, sejenak ia mengusap lembut kepala kuda, lalu perlahan ia mulai naik ke pungung kuda, terlihat Keyra memang seperti sudah terbiasa berkuda, kuda pun berjalan pelan , mengitari arena.

Tapi Anisa terlihat cemas menyaksikan Keyra menunggangi kuda, kali ini kuda itu berjalan lebih cepat, tapi Keyra tampak tenang dan bersemangat bahkan sesekali senyuman terbit di bibirnya.

“Kak Afnan, ayo naik kuda!” teriaknya ketika melihat Afnan berjalan menuju pacuan kuda.

“Key hati-hati!” teriak Afnan, ia juga terlihat cemas. Tapi laki–laki itu sekilas tersenyum, ia tahu dengan melihat cara Keyra mengendalikan kudanya, gadis itu memang sudah profesional.

Setelah puas menungang kuda, Keyra menghentikan aksinya, lalu dangan pelan ia turun dan mengikat kembali kuda, setelah mengusap punggung kuda, Keyra berjalan ke arah Afnan berdiri.

“Bagaimana Kak Afnan, lain kali kita harus bertanding.”

“Aku akui caramu mengendalikan kuda sudah profesional, sejak kapan kamu belajar berkuda?”

“Sejak berusia 10 tahun, Papi dan Mami sering mengajakku ke pacuan kuda, mamiku adalah penungang kuda yang tanguh,” kenang Keyra sambil mengusap keringat yang mengucur di dahinya.

“Minumlah.” Afnan menyodorkan air mineral kemasan kepada Keyra.

“Oh ya Kak, katanya disini juga ada arena bermain panah, ayo kak, ajari aku,” pinta Keyra tanpa sadar ia menguncang pelan bahu Afnan seperti anak kecil yang merengek meminta mainan.

“Jika belajar, harus serius Key, bukan hanya main-main.”

“Okey, aku akan serius Kak.”

Keduanya pun berjalan menuju ke area memanah, tampak sepi karena sebagian santri sedang fokus pada ujian akhir semester, sedangkan yang lainnya sedang ada kegiatan camping di luar kota.

Afnan mengambil sebuah busur dan anak panah.

“Pegang yang benar Key!” Afnan membetulkan letak tangan Keyra yang masih tampak kaku memegang busur, tubuh Afnan berada di belakang tubuh Keyra kini tubuh keduanya saling mendekat nyaris menempel, Keyra merasakan hembusan napas Afnan, dan sentuhan tangan Afnan yang memegang tangannya.

Keyra menjadi salah tingkah, ada apa dengan gadis bermata cokelat itu, kenapa dadanya berdebar kencang, ketika tubuh dan tangan kekar milik Afnan menyentuh bahunya, seakan dunia terbalik, ia bahkan tidak bisa mengambarkan perasaannya untuk saat ini.

Keyra mendesah pelan, kedua bola matanya fokus pada sasaran yang berjarak 10 meter.

“Tarik yang kuat, dan fokuslah pada satu titik tengah, setelah itu lepaskan,” bisik Afnan pelan, tapi cukup membuat desiran halus di jantung Keyra.

Anak panah melesat menuju sasaran, tapi gagal mencapai sasaran.

“Sial... meleset, ” umpat Keyra diiring wajah masamnya.

“Mulailah belajar untuk tidak mengumpat, apa pun hasil yang kamu dapatkan harus kamu syukuri,” ujar Afnan.

“Huemm,” gumam Keyra.

“Bagaimana, mau coba lagi?”

“Mau sih Kak, tapi kayaknya jantungku ini yang kuat,” balas Keyra.

“Kamu punya riwayat sakit jantung?”

“Nggak sih,” Keyra nyengir kuda.

“Lalu.” Mata Afnan menyipit.

Keyra berlari kecil, ”Aku ke toilet dulu Kak,” teriaknya.

Afnan mengeleng–ngelengkan kepala melihat tingkah Keyra yang seperti anak kecil.

Sambil menunggu Keyra, Afnan duduk di gazebo, ia menyalakan ponselnya, kini ia masih penasaran dengan ucapan Rafif. Di bukanya akun media sosial milik Rafif.

Rafif, adalah orang yang suka membagikan kegiatannya di media sosial, termasuk setiap kunjungnya mengisi siraman rohani, kini mata Afnan fokus pada kegiatan Rafif di tahun 2020.

Mata Afnan terfokus pada deretan foto, para remaja yang duduk di deretan paling depan, salah satunya gadis yang mengenakan celana pendek dan kaos putih dengan duduk bersila, rambut diikat asal.

“Jadi banar Keyra pernah masuk ke pusat rehabilitasi kecanduan obat terlarang,” gumam Afnan lirih sambil bibirnya mengigit jarinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status