Share

BAB 7: Hati yang Sudah Mulai Terikat

Pagi buta Afnan sudah bangun dari tidurnya, ia terlihat sibuk di ruang loundry room.

“Kak Afnan mencuci baju?” sapa Keyra sambil mengusap netranya memastikan jika suaminya sedang mencuci baju.

“Iya.. asisten paruh waktu sedang izin tidak masuk, daripada pakaian menumpuk jadi aku cuci, sekalian punyamu juga aku cuci,”

“Ih...dibawa ke loundry ‘kan bisa Kak?”

“Sekalian olahraga Key, membakar lemak, nanti setelah ini aku akan mengajakmu olahraga, supaya berkeringat sedikit, mau ya Key,” ajak Afnan menatap penuh arti.

“Jangan macam-macam ya Kak, ingat ‘kan, perjanjian kita, jangan sentuh aku selama aku tidak menginginkannya.”

Afnan tertawa lebar, ”Keyra Aninda, makanya otaknya jangan traveling, cepatlah ganti baju yang sopan, jangan lupa kerudung, aku tunggu kamu di depan!” suruh Afnan, senyum masih mengantung di bibirnya.

Keyra memicingkan matanya, tapi ia menuruti kemauan Afnan, tak selang berapa lama, Keyra sudah memakai baju gamis hijau tosca dan kerudung dengan warna senada, gadis yang dulunya sering mengenakan pakaian kurang bahan, sekarang lebih sering mengenakan pakaian tertutup, itu karena isi lemarinya sekarang dipenuhi dengan baju khimar, gamis, kemeja lengan panjang, bawahan rok panjang.

Terlihat Afnan juga sudah memakai setelan baju koko warna cokelat.

“Kita akan kemana, ini baru pukul 4 pagi Kak, perkebunan masih sepi?”

“Kita jalan saja,” balas Afnan.

Tidak lama terdengar adzan subuh sudah menggema, terdengar syahdu dan hikmat, Afnan dan Keyra berjalan menyusuri jalan setapak, beberapa karyawan yang tinggal di rumah petak perkebunan juga mulai keluar rumah mereka menuju ke moshola perkebunan.

“Kita shalat subuh berjamaah dulu Key,” ajak Afnan sambil menuju ke arah moshola.

“Oooo jadi Kak Afnan mengajakku shalat subuh, sekaligus jogging,” gumam Keyra.

Afnan menoleh ke arah Keyra dan tersenyum hangat. Kini Keyra berdiri di antara jamaah wanita, berdiri di deretan yang sama, dengan para pekerja perkebunan, terlihat jelas tidak ada yang membedakan mereka, semua terlihat sama, tidak ada istilah majikan dan buruh, atau atasan bawahan mereka sujud dalam ruang dan tempat yang sama. Keyra yang biasa di sanjung dan di hormati ketika berada di kantor Star Supermarket, kini terlihat sama dengan para pegawai suaminya.

“Setelah aku shalat berjamaah, aku mengerti bahwa kedudukan kita di mata Sang Pencipta itu sama, aku berdiri sejajar dengan karyawanmu, aku merasa jika diriku ini sama dengan mereka ketika beribadah,” ujar Keyra sambil mensejajarkan langkahnya dengan langkah Afnan

“Itulah hikmah jika kita shalat berjamaah Key, kedudukan kita sama dihadapan Allah,” Afnan memberanikan diri menggandeng telapak tangan Keyra, dan anehnya Keyra kali ini tidak menolak, ketika genggaman tangan Afnan terasa hangat, bahkan rasa hangat itu seakan mengalir ke dalam darahnya hingga ke jantung.

“Aku akan mengajakmu ke tempat favoritku,” ajak Afnan terus melangkah masuk ke dalam perkebunan.

Hingga Afnan menghentikan langkahnya ketika ada sebuah pohon mangga yang berukuran sangat besar, jika dilihat dari ukurannya, pohon itu mungkin sudah berusia puluhan tahun.

“Usia pohon ini, hampir seratus tahun Key, masih tetap kokoh berdiri,” ujar Afnan

Keyra menatap ke arah pohon. ”Itu rumah pohon Kak, tinggi sekali.”

“Yuk kita naik, kamu tidak takut ketinggian ‘kan?”

“Aku Keyra Aninda Dinata hoby mendaki gunung, jadi bagiku naik rumah pohon, adalah hal termudah,” cicit Keyra dengan semangat ia menaiki rumah pohon, setinggi10 meter itu.

Kedua insan itu kini sudah duduk di sebuah kayu yang kokoh, dari atas pohon, terlihat semburat kuning keemasan mulai muncul di ufuk timur.

“Woow indah sekali sunrise di sini kak,” ucap Keyra lirih.

Aku sering melihat sunrise, tapi bagiku di sini terlihat sangat cantik,” Keyra terkagum-kagum hingga tak sadar ia menyandarkan kepala di bahu Afnan.

***

Satu bulan berlalu, Keyra semakin terbiasa tinggal di vila tengah perkebunan. Siang itu Keyra mengunjungi Praja, ia mendengar dari Mbok Sum, jika Papinya sedang tak enak badan, oleh karena itu sepulang dari kampus, Keyra langsung pulang ke rumah Praja.

“Papi,” ucap Keyra lirih seraya duduk di tepi ranjang di samping ayahnya berbaring lemah.

“Oh..Keyra, Papi sangat merindukanmu, kamu mulai betah ‘kan tinggal di perkebunan, sudah belajar shalat dan ngaji?” cerca Praja, dengan tatapan sendu.

“Belajar sedikit...”

Praja tersenyum. ”Tidak apa-apa, nanti juga kamu bisa.” Praja terlihat bangkit dari tidurnya, beralih duduk dengan sandaran tumpukan bantal, dibantu Keyra.” Papi akan berobat ke Singapura. Kamu, Papi tugaskan untuk mengurus Star Supermarket. Minta bantuan Pak Ridwan, Kepala manager kita,” titah Praja.

“Jangan pikirkan Star Supermarket, aku akan mengurusnya dengan baik, yang terpenting kesehatan Papi,” jawab Keyra.

“Iya, Papi ingin hidup lebih lama lagi, supaya bisa menimang anak-anakmu.”

Praja tersenyum bahagia membayangkan mempunyai banyak cucu, tapi sebaliknya Keyra, ia tampak sedih, karena tidak akan bisa mewujudkan keinginan Papinya.

“Kenapa diam Key, kamu bahagia ‘kan?”

“Bahagia Pi, Keyra sangat bahagia.”

Satu minggu berlalu sejak Praja dibawa ke Singapura untuk berobat, Keyra terlihat sibuk di meja kerja Praja, ini kali pertamanya ia bekerja di kantor orang tuanya, arahan dari Pak Ridwan beberapa jam yang lalu cukup membuatnya paham, di dukung pendidikannya di fakultas ekonomi, membuat Keyra cepat memahami dunia bisnis.

Tok!..tok..

“Masuk,” suruh Keyra pada seseorang di balik pintu.

Pintupun terbuka pelan, sosok yang begitu dikenal Keyra, memasuki ruangan sambil melempar senyum.

“Apa kabar Key,” sapanya membuat Keyra yang semula menatap laptop beralih ke suara yang sangat tidak asing di telinganya.

“Sam... duduklah, satu bulan lebih kita tidak bertemu, bagaimana kabarmu?”

“Iya, dan kamu tampaknya mulai melupakanku, tapi aku akan setia menunggumu Key, ini sudah satu bulan, tinggal dua bulan lagi ‘kan seperti janjimu, kamu dan suamimu itu akan bercerai,” ungkap Samuel.

Keyra tiba-tiba tertunduk, bagaimana mungkin ia lupa akan janjinya pada Samuel, lelaki yang sangat ia cintai itu.

“Aku masih ingat, tapi sebelum aku resmi bercerai, aku tidak akan bersamamu ataupun laki-laki lain, kamu mengerti ‘kan.”

Samuel tersenyum sinis, ”Hanya mengajakmu makan siang Key, mumpung Pak Praja tidak ada di Jakarta, mau ‘kan?”

“Keyra menggeleng pelan, “Maaf, aku sudah ada janji makan siang dengan Kak Afnan, atau jika kamu mau, bergabunglah dengan kami.”

Samuel tertawa, ”menjadi obat nyamuk kalian, tidak Key, aku hanya ingin makan romantis bersamamu, bagaimana?”

“Maaf, aku tidak bisa, kamu tahu, aku sudah mempunyai kesepakatan dengan Kak Afnan, dan aku tidak akan melanggar kesepakatan itu, sekarang keluarlah dari ruanganku, jika tidak ada masalah pekerjaan yang dibicarakan!” nada suara Keyra meninggi.

“Key, kamu berubah, bukan Keyra yang 3 tahun ini bersamaku, lihat cara berpakaianmu pun sudah berubah,” cerca Samuel.

“Sam, aku tidak butuh komentarmu, pergilah,” usir Keyra sekali lagi.

“Kamu mengusirku Key, ingat Key akan janjimu, aku tetap menunggumu.”

Samuel, bangkit berdiri dari duduknya, dan berlahan melangah keluar. Keyra menghela napas panjang, ia sendiri juga bingung dengan perasaannya, entah memang hanya ingin mematuhi sebuah kesepakatan, atau karena hatinya telah terikat pada Afnan Noor Malik suaminya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status