Tapi tangan Hideki lebih cepat, ia menyambar lengan Karina dan menariknya masuk lagi, sambil mendorong pintu shoji itu sampai menutup.
"Jangan berani-beraninya kau melakukan hal itu!" desis Hideki. Ia tidak peduli pada pernikahan Ayumi, tapi tidak ingin Karina melakukan hal yang membuat Ayumi menangis berhari-hari.
"Oji-san!" Ayumi berseru panik, karena Karina kini menjerit kesakitan. Hideki bukan hanya menarik, tapi meremas lengan Karina sekuat tenaga.
"Jangan menyakiti, Bibi!" Ayumi menarik tangan Hideki, berusaha membebaskan Karina. Perlahan tangan Hideki merenggang, bukan karena tarikan Ayumi, tapi tangisannya.
"Oji-san, aku tidak mau berpisah dari Kaitto. Aku tidak mau kehilangan dirinya. Aku mohon, terima permintaan Bibi."Ayumi setelah itu memohon.
Hatinya beberapa detik lalu masih berdilema, tapi mimpi buruk berpisah dari Kaitto lebih menakutkan untuknya. Ayumi tahu permintaannya itu mungkin lebih dari sekadar kurang ajar---meminta pamannnya melepaskan istrinya adalah gila.
Bayangan Ayumi, mereka menikah dan berbahagia. Buktinya Hide menolak permintaan cerai itu. Itu yang terlihat di mata Ayumi, tanpa mendengar gumam dan desisan diantara mereka berdua.
"Oji-san, aku mohon. Aku akan melakukan apapun permintaanmu, aku akan menebus jasamu ini, tapi aku mohon kabulkan permintaannya." Ayumi meminta lagi, sambil menatap Hideki. Air matanya kini menetes membasahi punggung tangan Hideki yang ada ada dalam genggamannya.
“Kau amat mencintai pria lemah itu?" Hideki bertanya dengan nada tidak percaya.
“Benar, Kaitto adalah duniaku." Ayumi mengangguk sementara air matanya semakin deras.
"Putuskan cepat! Aku ingin kejelasan sekarang juga!"Karina melihat kesempatan dimana Hideki melemah dan menyambarnya.
“Ayumi akan menjadi bulan-bulanan mertuanya kalau aku mengatakan hal menjijikkan ini pada mereka! Kau lihat saja...”
“Diam!” Hideki membentak. Tidak tahan lagi mendengar teriakan Karina.
Hideki menghela napas. "Baiklah, kita bercerai."
Ayumi lega, tapi isakannya tidak berhenti. Ia menyesal telah memaksa pamannya mengambil keputusan itu. Rasa bersalah itu membuat Ayumi melewatkan kepuasan yang terlintas di wajah Karina.
Ia tersenyum lebar sekarang. "Akhirnya aku bisa lepas dari kehidupan menderita bersamamu," desis Karina.
“Menderita? Kapan aku membuatmu menderita?" Hideki mendengus.
“Kau tidak pernah memberiku kebahagiaan, kau busuk dan …”
"Aku tidak perlu mendengarnya!” Hideli menghentikan hinaan Karina dengan bentakan, karena isakan Ayumi berkurang. Ia tidak ingin Ayumi mendengar.
“Aku sudah mengabulkan permintaanmu, Maka sekarang diam sebelum aku membuatmu tidak bisa bicara!"
Karina sangat marah, tapi mengenali ancaman serius, maka ia diam.
Ayumi yang berhenti menangis, sedikit bingung, menyadari atmosfer aneh diantara keduanya, tapi tidak bisa menunjuk dengan tepat. ia tidak paham kenapa paman dan bibirnya kini saling memandang penuh benci.
Ia paham kalau Karina sedang marah, tapi Hideki tidak punya alasan yang sama> Seharusnya Hideki merasa jijik dan bersalah seperti dirinya. Ayumi sedikit bingung pada sikapnya. Memang setelah menikahi Ayumi hampir tidak pernah berhubungan dengan Hideki.
Ayumi masih mencoba menghubunginya tapi lebih sering Hideki tidak menjawab, atau sibuk dan hanya bicara sebentar. Lama kelamaan Ayumi berhenti menghubungi, dan kini bingung melihat pamannnya begitu berubah.
“Aku akan menunggu peresmian status cerai itu." Karina mengucap dengan lebih tenang.
“Secepatnya. Hari ini aku akan langsung meminta pengacara mengurusnya. Akan selesai seminggu paling." Hideki sudah kembali datar.
Ayumi kembali menatap mereka berdua bergantian. Bingung oleh kedamaian yang tiba-tiba itu. Mereka tidak terlihat sedih atau patah hati, malah terdengar seperti menyetujui kontrak kerja.
“Biaya tutup mulutnya lima ratus Jutta yen.” Karina menyebut jelas kompensasi yang diinginkannya.
"Kau ingin berapa?" Hideki mengernyit.
“Lima ratus juga yen." Karina mengulang lebih keras.
Ayumi membelalak. Lima ratus juta yen itu sangat banyak. Jika dirupiahkan maka akan mendekati lima puluh milyar. Ayumi memandang Hideki, kembali panik. Pamannya tidak mungkin punya uang sebanyak itu. tapi Ayumi kembali harus takjub, saat Hideki mengangguk. Ia tidak tahu Hideki sekaya itu.
"Oke."
Hideki berjalan menuju ruang tengah, membuka salah satu laci untuk mengambil buku cek dan menuliskan jumlah yang diinginkan oleh Karin, dan memberi cap nama keluarga di atasnya. Ia lalu melemparkannya ke arah Karina.
“Ambil dan pergi! Jangan kembali” bentak Hideki. Belum puas karena gagal menghukum Karina, tapi untuk sekarang lebih baik menjauhkan Ayumi dari Karina.
Karina mendecak saat memungut cek itu dari lantai.
“Terima kasih atas setahun pernikahan yang terasa seperti di neraka. Dan terima kasih untuk ini." Karina menunjukkan cek, lalu kembali membuka pintu, tapi ia berpaling memandang Ayumi terakhir kali.
Jika sejak tadi mereka berbincang menggunakan bahasa Jepang, Karina beralih menggunakan bahasa ibu miliknya, dan Ayumi paham meski sudah lama tidak memakai. Bahasa Indonesia.
“Kau sepertinya sudah terlalu lama berada di negeri ini, sampai melupakan adat budaya negeri tempat asalmu. Aku yakin Ayah dan ibumu akan menangis dalam kuburnya saat tahu kau tidur dengan pamanmu sendiri.”
Air mata Ayumi kembali turun deras. Ayumi berharap akan meminta maaf sebelum Karina pergi, tapi justru teguran keras didapatnya.
“Pergi!” Hideki mendorong Karina keluar.
Kertas shoji yang menempel pada kerangka pintu tampak bergetar saat Hideki menutupinya dengan bantingan.
"Masuk dan bersihkan diri. Kau kacau." Hideki memberi perintah pada Ayumi.
"Aku mau pulang sekarang. Aku harus kembali pada Kaitto. Aku sudah tidak pulang semalaman." Ayumi menolak perintah pamannya.
"Kau tidak perlu kembali ke keluarga itu!" Hideki menceraikan Karina, tapi bukan berarti akan membiarkan Ayumi kembali kesana. Ia hanya tidak Ingin Karina menghancurkan nama Ayumi
“Tapi aku…”
“Pria itu dan keluarganya menyiksamu! Bagaimana kau masih ingin ke sana?!” Ayumi tidak pernah melapor padanya, tapi Hideki tahu perlakuan keluarga Nakamura padanya.
“Aku mau pulang!" Ayumi tidak ingin mendengar Hideki menjelekkan keluarga Kaitto.
“Kau ingin pulang pada pria lemah itu? Pria yang selamanya tidak akan pernah keluar dari ketiak ibunya? Tidak boleh. Kau tetap berada di sini!” Hideki kini menghina Kaitto.
Ayumi tersentak terkejut dan menatap mata gelap Hideki. Mata itu menyorot tajam tanpa kelembutan sama sekali.
“Aku harus kembali Oji-san, aku masih istri Kaitto."Ayumi meminta lebih tenang. Tidak ingin pamannya semakin marah.
“Kau tadi mengatakan akan mengabulkan keinginanku bukan? Balasan agar aku menceraikan Karina.”
Ayumi terkesiap. Firasat buruk muncul. Janji itu seharusnya tidak boleh diucapkan sembarangan.
"Jangan itu, Oji-san..." Ayumi menggeleng.
“Permintaanku adalah kau tinggal di sini.” Hideki malah memperjelas.
Ayumi menggeleng kuat-kuat, dan air matanya kembali berlinang. “Tidak bisa, Oji-san. Yang lain saja. Jangan itu. Aku mencintai Kaitto, dia suamiku.”
“Suami? Kau lupa apa yang kita lakukan tadi malam? Sepertinya kau cukup menikmati belaianku meski aku bukan suamimu."
"JANGAN!” Ayumi memekik dan menutup telinga, tidak Mau mendengar pembahasan itu.
“Aku harus pulang!” Ayumi berlari masuk ke kamar, menerjang Hideki.
"AYUMI!" Hideki berseru marah.
Ayumu mendengar tapi terus berlari. Ia teringat pada ponsel di dalam tas, yang masih tertinggal di kamar Hideki. Ayumi melupakan tas itu tadi. Ayumi dengan cepat menyambar tas itu dan mengambil ponsel, sementara terus berlari ke kamar mandari dan mengunci pintu, agar pamannya tidak mengganggu.
Panggilannya terhubung dengan cepat. "Kaitto-kun, aku..."
Bernturan keras membuat Ayumi terdiam. Hideki baru saja menerjang dengan mendobrak pintu kamar mandi.
Ayu segera merapat ke sudut kamar mandi dan meremas ponselnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Tubuh Ayu menegang, sementara matanya terus menatap Hide yang terlihat sangat marah.Dengan suara bergetar, Ayu berbisik, "Ojisan ..."“Oji-san!” Ayu menjerit, saat tangan Hide dengan kasar merebut ponselnya.Tanpa berkedip, Hide melemparkan ponsel itu ke tembok kamar mandi, ambyar menjadi kepingan.“Kenapa kau melakukannya?” Ayu meratap sambil jatuh terduduk, mengambil puing-puing ponsel yang tidak mungkin bisa dipakai lagi. Ponsel itu bahkan tidak lagi menyala, dan layarnya retak.“Aku sudah mengatakan padamu untuk tinggal disini! Kau tidak pantas kembali pada keluarga itu!” Hide mendesis, lalu memaksa tubuh Ayu berdiri, tapi Ayu menepis tangannya.“Tidak. Aku ingin kembali. Aku harus bersama dengan Kaito!”Hide menarik wajah Ayu mendekat, mencengkeram pipinya dengan tangan. “Apa yang kau sukai dari pria itu? Pria itu lemah! Dan dia sama sekali tidak membuatmu bahagia!”“Aku bahagia bers
Ayu mengusap air matanya, mengambil dua buah koper yang ada di dekat kaki, memakai keduanya sebagai penahan agar bisa berdiri. Ayu merasa tidak punya tenaga lagi. Dengan mata kosong, Ayu berjalan meninggalkan gerbang. Ayu tidak tahu harus melakukan apa, atau harus bagaimana. Dan Ayu tidak tahu bagaimana Kaede mengetahui apa yang terjadi. Karin seharusnya tidak bicara lagi, karena sudah mendapatkan uang yang ia inginkan, dan keinginannya untuk pergi dari Hide pun dipenuhi. Tapi sekarang sudah tidak penting siapa yang memberitahu Kaede, apa yang ditakutkan Ayu menjadi nyata. Ayu menghela nafas panjang, berusaha menahan tangis dan berjalan tertatih. Secara fisik, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya memar dan berdarah. Ia bahkan tidak mampu berdiri tegak. Ayu berjalan tanpa memandang kemanapun, tapi menghentikan langkah saat menyadari ada mobil familiar berhenti di sampingnya. Hide tidak pergi. Semenjak tadi, Hide masih ada di depan rumah Kaito. Dan tentu melihat bagaimanakah Kaede meng
Ayu tidak tahu berapa lama waktu yang dia habiskan untuk duduk diam di sudut kamarnya itu, karena saat tersadar, suasana di sekitarnya telah berubah gelap. Ayu bergerak menyalakan lampu, mengambil tumpukan futon dari dalam almari geser dan menggelarnya di lantai untuk tidur.Tapi meski sudah berbaring dan merasa sangat letih, Ayu tidak bisa tertidur. Selain gelisah dan ketakutan pada Hide, Ayu juga ketakutan pada masa depannya sendiri. Ayu belum pernah merasa begitu tersesat tanpa harapan, seolah seluruh dunia tak ingin menerimanya. Ayu lalu memejamkan mata, menarik nafas panjang beberapa kali. Menyingkirkan semua hal negatif yang ada di pikirannya saat ini, hal yang menggerogoti akal sehat dan kewarasannya.Saat ini, Ayu ingin memperbaiki kehidupannya saat ini, mencari jalan agar tidak terus terpuruk. Dan tentu memikirkan soal Kaito dan lain sebagainya bukan jalan yang tepat“Aku akan bekerja,” gumam Ayu. Setelah menyingkirkan pikiran itu akhirnya Ayu bisa sampai pada keputusan yang
Ayu mengatur sarapan di meja dengan sangat cepat. Sedikit tergesa, karena tidak ingin terlambat. Akan menjadi catatan buruk jika saat melamar saja sudah terlambat. Ayu mengatur nasi dan sup miso berdampingan. Karena tadi menemukan udang, Ayu memutuskan untuk membuat karage udang. Teringat pamannya itu menyukai karage.Lalu dengan hati-hati, Ayu meletakkan sumpit pada tatakan, persis di samping mangkuk. Tidak ada perbedaan tinggi pada sumpit itu, dan setelah merapikannya untuk kesekian kali, Ayu baru menyadari jika semua extra rapi itu tidak perlu. Tidak ada Kaede yang akan menegur, kalaupun sumpit itu memiliki perbedaan panjang saat ada di tatakan. Sedetail itulah kesempurnaan yang dituntut Kaede dari Ayu. Wanita itu akan mencaci saat menemukan kesalahan sekecil apa pun, bahkan jika itu hanya berupa perbedaan panjang sumpit.Ayu menggeleng, menyadari jika dia harus membuang kebiasaan untuk menjadi selalu sempurna itu. Tidak ada yang akan memarahinya lagi. Ayu men
Ayu membungkuk, melepaskan sepatunya dan melangkah ke dalam rumah, dengan kaki nyaris berjingkat agar tidak menimbulkan suara. Ayu harus hati-hati, karena dia pulang sangat terlambat. Restoran tempatnya melamar, ternyata hanya mau memberi kesempatan untuk wawancara setelah malam tiba—menunggu pemiliknya datang. Tentu saja Ayu dengan nekat menunggu, karena hanya restoran itu yang tersisa. Untung saja yang dilakukannya tidak sia-sia. Restoran itu juga memberinya pekerjaan. Dengan begitu, Ayu resmi mempunyai dua pekerjaan. Pekerjaan di pasar swalayan, dan juga sebagai pelayan di restoran.Meski keduanya pekerjaan kasar, tapi paling tidak, dengan bekerja di dua tempat sekaligus, Ayu memiliki harapan untuk bisa mengumpulkan uang dengan lebih cepat. Ayu sudah menghitung pendapatannya dengan sangat detail saat perjalanan pulang tadi, dan bisa membuat perkiraan jika dalam waktu tiga atau empat bulan ke depan, dia sudah bisa mengumpulkan uang untuk menyewa apartemen sederhana da
“AAGHH!” Ayu menjerit, menutupi wajahnya dengan tangan, dan menggelengkan kepala, tidak ingin menerima ciuman itu, tapi Hide menangkap kedua tangan Ayu dan menurunkannya dari wajah.“Apa lagi yang kau inginkan dari keluarga itu? Aku sudah menyuruhmu untuk tinggal di sini, dan lupakan mereka! Apa aku tidak cukup?” Suara Hide lebih lirih, tapi Ayu sudah telanjur ketakutan dan tubuhnya semakin gemetar.Dengan kenekatan yang terakhir, Ayu mengibaskan kedua tangan Hide, dan berhasil melepaskan diri. Cengkeraman itu tidak terlalu kuat karena Hide mabuk. Dan dengan mudah Ayu mendorong tubuh Hide ke samping.Tanpa menoleh lagi, Ayu berlari sekencang mungkin menuju ke kamarnya dan menutup pintu.Diiringi napas tersengal, Ayu kembali luruh. Terduduk memeluk tubuhnya sendiri. Untuk menenangkan gemetar, sekaligus menahan isakan yang sudah nyaris keluar dari bibirnya. “Kenapa…” Isakan itu akhirnya tetap datang seiring air mata.
“Shokuji o tanoshinde.” (Selamat Menikmati)Ayu membungkuk lalu mundur dengan wajah penuh senyum, sambil merapikan kimono yang dipakainya. Pakaian itu sedikit merepotkan pastinya—karena Ayu tidak terbiasa, tapi kimono itu adalah keharusan saat bekerja di restoran. Kimono itu adalah seragam karena restoran tempatnya bekerja bertema klasik. Menyajikan masakan tradisional asli Jepang dengan dekorasi yang juga kental dengan nuansa Jepang kuno.Ayu awalnya ragu bisa melakukan pekerjaan itu, karena pengalamannya memakai kimono hanya saat pergi ke festival musim panas bersama Rie beberapa kali, tapi setelah dua hari dan mendapat tips dari pramusaji lain yang ada di restoran itu, Ayu dengan mudah beradaptasi dan kini bisa dengan lancar melakukan pekerjaan—bahkan berlari memakai kimono itu tanpa merusak bentuknya. Ayu juga menyukai lingkungan kerja di restoran itu. Karena sangat sibuk, membuatnya cepat lupa dengan segala kehidupan mengenaskan di dunia ny
“Apa yang terjadi dengan tanganmu?” tanya Hide saat melihat telunjuk Ayu yang tertutup perban, saat mereka berpapasan di dekat dapur.“Tergores pecahan cangkir.” Ayu menjawab sesingkat mungkin, lalu membungkuk dan berlari keluar. Berangkat menuju ke stasiun untuk bekerja. Tentu saja Ayu tergesa keluar, mencegah Hide bertanya lebih lanjut, maupun mempunyai ide untuk melarangnya. Ayu sudah cukup menyesal dengan bangun terlambat tadi. Tentu saja karena menangis cukup lama semalam. Kehilangan salah satu pekerjaan nyaris membuat Ayu kembali pada titik yang membuatnya putus asa.Tapi kini Ayu sudah kembali mendapatkan tekadnya hari ini. Dia sengaja mengambil shift pagi di swalayan, jadi nanti akan punya waktu luang untuk mencari pekerjaan lain. Ayu akan mencoba bertanya di restoran lain, atau mungkin swalayan yang lain. Ayu tidak akan menyerah dengan satu pekerjaan saja. Dia tidak ingin memperpanjang masa tinggalnya di tempat Hide. Ayu mempunyai tujua