Ayu mengusap air matanya, mengambil dua buah koper yang ada di dekat kaki, memakai keduanya sebagai penahan agar bisa berdiri. Ayu merasa tidak punya tenaga lagi. Dengan mata kosong, Ayu berjalan meninggalkan gerbang. Ayu tidak tahu harus melakukan apa, atau harus bagaimana. Dan Ayu tidak tahu bagaimana Kaede mengetahui apa yang terjadi.
Karin seharusnya tidak bicara lagi, karena sudah mendapatkan uang yang ia inginkan, dan keinginannya untuk pergi dari Hide pun dipenuhi. Tapi sekarang sudah tidak penting siapa yang memberitahu Kaede, apa yang ditakutkan Ayu menjadi nyata.
Ayu menghela nafas panjang, berusaha menahan tangis dan berjalan tertatih. Secara fisik, tubuhnya tidak sakit, tapi hatinya memar dan berdarah. Ia bahkan tidak mampu berdiri tegak.
Ayu berjalan tanpa memandang kemanapun, tapi menghentikan langkah saat menyadari ada mobil familiar berhenti di sampingnya. Hide tidak pergi. Semenjak tadi, Hide masih ada di depan rumah Kaito. Dan tentu melihat bagaimanakah Kaede mengusir Ayu. Sejak tadi mengikutinya.“Masuk!” perintah Hide, setelah menurunkan kaca mobil.
Ayu menggeleng. Meskipun tidak lagi mempunyai alasan Kaito untuk pergi dari Hide, tapi tetap Ayu tidak ingin bersama dengan pria yang baru saja mencoba untuk menggagahinya. Hide pamannya, tapi apa yang dilakukannya tadi membuat Ayu merasa tidak lagi mengenalnya.
“MASUK!” ujar Hide lagi, kali ini dengan membentak.
Tentu Ayu masih menolak. Ayu terus berjalan menyeret kedua koper miliknya, menyusuri jalan yang kini mulai terlihat ramai. Beberapa anak sekolah berseragam kerah sailor, berjalan melewatinya, sambil menatap dengan heran. Pemandangan nelangsa dari seorang wanita yang berpenampilan kacau-balau, sambil menyeret koper, tentu mengundang tanya.
“Masuk! Apa kau ingin menjadi tontonan banyak orang?” Hide yang masih menjalankan mobilnya dengan sangat pelan di samping Ayu, kembali mendesis.
“Ya, aku lebih baik menjadi tontonan banyak orang, daripada harus kembali bersamamu!” sergah Ayu, sedikit kasar. Tapi suaranya tercekat.
Sebenarnya, saat ini Ayu sangat ingin memiliki kerabat yang dapat dia jadikan tempat bergantung, setidaknya tempat untuk berpegangan agar tidak ambruk. Tetapi satu-satunya kerabat yang dimilikinya ternyata telah menyakitinya belum lama ini.
Tangan Ayu yang mencengkeram pegangan koper, juga terlihat memutih karena meremas pegangan kopernya dengan sangat kuat. Ketakutan itu datang kembali saat mengingat apa yang dilakukan Hide tadi.
“Lalu apa rencanamu? Kau ingin tidur di jalan? Kau ingin menjadi gelandangan? Atau kau ingin mengakhiri hidup begitu saja, hanya karena pria itu?!” Hide membeberkan masa depan nyata yang sejak yadi belum terpikirkan oleh Ayu.
Langkah Ayu melambat. Ayu mungkin ingin lari dari Hide, tapi bukan berarti dia ingin mati. Ayu tidak akan pernah menyerah untuk hidup, karena ia sudah pernah hampir kehilangan kehidupan ini sekali.
Ayu selalu ingin hidup, apa pun yang terjadi. Tapi saat ini, Ayu tahu benar dia sama sekali tidak memiliki apa pun. Ayu sangat tahu jika Kaede tidak akan menyertakan setumpuk uang di dalam kopernya.Selama ini, Kaede bahkan dak pernah mempercayainya untuk memegang uang belanja. Ayu kemarin membayar ongkos taksi dengan uang miliknya yang dibawa ke rumah Kaito dulu.
Jadi, tidak mungkin Kaede akan mengusir menantu jalang dengan memberinya uang untuk hidup. Selama berada di rumah Kaito Nakamura, Ayu hanya memasak dengan bahan apa yang dibeli Kaede. Semua pakaian dan apa yang dipunyainya berasal dari Kaito. Hartanya adalah nol, tapi Ayu selama ini tidak merasa jika hal itu adalah masalah.Ayu mungkin punya keinginan, tapi selalu menahan keinginannya itu. Ayu selalu mengingatkan dirinya jika apa yang diberikan oleh Kaito sudah cukup. Pria itu tidak pernah absen memberinya hadiah.
Tidak ada jadwal rutin, malah terkadang setiap minggu, Kaito selalu membawakan hadiah setiap kali pulang dari bekerja keluar kota. Pakaian, parfum, atau kadang perhiasan. Jadi, Ayu tidak pernah merasa memerlukan uang—sampai hari ini. Ayu mulai menyadari jika apa yang dikatakan Hide sangat tepat. Dirinya benar-benar akan menjadi gelandangan jika terus nekat seperti ini.Ayu berhenti melangkah, menunduk dan menelan rasa mual yang menyangkut pada tenggorokannya. Keputusan yang diambil membuatnya jijik. Tapi dia tidak punya pilihan.
“Masuklah.” Hide tidak lagi membentak, karena tahu Ayu tidak akan lagi menolak. Langkah itu terhenti karena Ayu memang menerima usulannya.
Hide membuka pintu dan turun, memutar untuk mengambil koper Ayu dan meletakkannya di bagasi.
Ayu masuk dan duduk. Tapi seperti tadi, Ayu mendesakan tubuhnya sejauh mungkin dari Hide. Tekadnya saat membuat keputusan tadi adalah sebisa mungkin menjauhkan dirinya dari Hide.
Untuk saat ini Ayu sedikit bisa bernapas. Hide tidak mengatakan apa pun, dia hanya diam selama perjalanan. Dan itu adalah suasana yang menurut Ayu sempurna.***Hide meletakkan koper Ayu di dalam kamar, lalu meninggalkannya. Masih tidak bicara. Tidak ada senyum, ataupun ucapan ‘Okaeri’—selamat datang kembali—yang biasa diucapkan Hide saat dirinya pulang sekolah dulu. Tapi semua itu melegakan bagi Ayu, terutama setelah pintu kamarnya tertutup.
Ayu memang ingin sendiri untuk menenangkan pikiran. Jelas apa pun yang dilakukan Hide saat ini tidak akan membuatnya tenang. Penghiburan dari Hide saat ini hanya akan membawa tangis dan umpatan. Pamannya bukan lagi ‘tempat’ yang aman untuknya.
Ayu duduk dan bersandar pada tembok, memeluk lutut lalu meremas lengannya. Menahan tangis yang kembali dengan mudahnya. Kilasan tentang Kaito, Kaede, dan lain sebagainya, membuat Ayu berharap penyakitnya belum sembuh. Setidaknya dengan begitu, ada kemungkinan dia bisa melupakan semua yang terjadi dalam beberapa jam terakhir ini, terutama apa yang terjadi malam kemarin.
Ayu meremas kembali kedua lengannya, mencegah dirinya untuk tidak berteriak maupun meraung. Tidak ingin mengundang perhatian Hide. Ayu bahkan tidak tahu harus menangis untuk apa. Apakah Kaito, hinaan Kaede, ataukah sikap Hide yang sungguh jauh berbeda dengan apa yang ada dalam ingatan Ayu.
Ayu mengikutinya ke rumah ini, karena memang Hide adalah satu-satunya keluarga yang masih mungkin menerimanya. Pilihan lain adalah Karin yang jelas tidak akan pernah memeluknya lagi.
Ayu ada di sini karena memang tempat ini yang tidak akan jijik menerimanya. Tapi bukan berarti Ayu tahu harus bersikap seperti apa kepada Hide. Ayu tidak yakin dirinya bisa menghapus ketakutan atas keberadaan Hide di dekatnya dengan cepat.
Apa yang tadi dilakukan Hide di kamar mandi, mencemari apa pun kenangan yang dimiliki Ayu tentang Hide. Paman yang dia kenal sangat lembut, tidak lagi sama. Ayu masih mengerti ketika Hide marah tentang keinginannya kembali kepada Kaito—kepada keluarga Nakamura yang memperlakukannya dengan tidak adil. Tapi Ayu tidak mungkin bisa menerima perlakuan Hide di kamar mandi itu.
Ayu tidak tahu berapa lama waktu yang dia habiskan untuk duduk diam di sudut kamarnya itu, karena saat tersadar, suasana di sekitarnya telah berubah gelap. Ayu bergerak menyalakan lampu, mengambil tumpukan futon dari dalam almari geser dan menggelarnya di lantai untuk tidur.Tapi meski sudah berbaring dan merasa sangat letih, Ayu tidak bisa tertidur. Selain gelisah dan ketakutan pada Hide, Ayu juga ketakutan pada masa depannya sendiri. Ayu belum pernah merasa begitu tersesat tanpa harapan, seolah seluruh dunia tak ingin menerimanya. Ayu lalu memejamkan mata, menarik nafas panjang beberapa kali. Menyingkirkan semua hal negatif yang ada di pikirannya saat ini, hal yang menggerogoti akal sehat dan kewarasannya.Saat ini, Ayu ingin memperbaiki kehidupannya saat ini, mencari jalan agar tidak terus terpuruk. Dan tentu memikirkan soal Kaito dan lain sebagainya bukan jalan yang tepat“Aku akan bekerja,” gumam Ayu. Setelah menyingkirkan pikiran itu akhirnya Ayu bisa sampai pada keputusan yang
Ayu mengatur sarapan di meja dengan sangat cepat. Sedikit tergesa, karena tidak ingin terlambat. Akan menjadi catatan buruk jika saat melamar saja sudah terlambat. Ayu mengatur nasi dan sup miso berdampingan. Karena tadi menemukan udang, Ayu memutuskan untuk membuat karage udang. Teringat pamannya itu menyukai karage.Lalu dengan hati-hati, Ayu meletakkan sumpit pada tatakan, persis di samping mangkuk. Tidak ada perbedaan tinggi pada sumpit itu, dan setelah merapikannya untuk kesekian kali, Ayu baru menyadari jika semua extra rapi itu tidak perlu. Tidak ada Kaede yang akan menegur, kalaupun sumpit itu memiliki perbedaan panjang saat ada di tatakan. Sedetail itulah kesempurnaan yang dituntut Kaede dari Ayu. Wanita itu akan mencaci saat menemukan kesalahan sekecil apa pun, bahkan jika itu hanya berupa perbedaan panjang sumpit.Ayu menggeleng, menyadari jika dia harus membuang kebiasaan untuk menjadi selalu sempurna itu. Tidak ada yang akan memarahinya lagi. Ayu men
Ayu membungkuk, melepaskan sepatunya dan melangkah ke dalam rumah, dengan kaki nyaris berjingkat agar tidak menimbulkan suara. Ayu harus hati-hati, karena dia pulang sangat terlambat. Restoran tempatnya melamar, ternyata hanya mau memberi kesempatan untuk wawancara setelah malam tiba—menunggu pemiliknya datang. Tentu saja Ayu dengan nekat menunggu, karena hanya restoran itu yang tersisa. Untung saja yang dilakukannya tidak sia-sia. Restoran itu juga memberinya pekerjaan. Dengan begitu, Ayu resmi mempunyai dua pekerjaan. Pekerjaan di pasar swalayan, dan juga sebagai pelayan di restoran.Meski keduanya pekerjaan kasar, tapi paling tidak, dengan bekerja di dua tempat sekaligus, Ayu memiliki harapan untuk bisa mengumpulkan uang dengan lebih cepat. Ayu sudah menghitung pendapatannya dengan sangat detail saat perjalanan pulang tadi, dan bisa membuat perkiraan jika dalam waktu tiga atau empat bulan ke depan, dia sudah bisa mengumpulkan uang untuk menyewa apartemen sederhana da
“AAGHH!” Ayu menjerit, menutupi wajahnya dengan tangan, dan menggelengkan kepala, tidak ingin menerima ciuman itu, tapi Hide menangkap kedua tangan Ayu dan menurunkannya dari wajah.“Apa lagi yang kau inginkan dari keluarga itu? Aku sudah menyuruhmu untuk tinggal di sini, dan lupakan mereka! Apa aku tidak cukup?” Suara Hide lebih lirih, tapi Ayu sudah telanjur ketakutan dan tubuhnya semakin gemetar.Dengan kenekatan yang terakhir, Ayu mengibaskan kedua tangan Hide, dan berhasil melepaskan diri. Cengkeraman itu tidak terlalu kuat karena Hide mabuk. Dan dengan mudah Ayu mendorong tubuh Hide ke samping.Tanpa menoleh lagi, Ayu berlari sekencang mungkin menuju ke kamarnya dan menutup pintu.Diiringi napas tersengal, Ayu kembali luruh. Terduduk memeluk tubuhnya sendiri. Untuk menenangkan gemetar, sekaligus menahan isakan yang sudah nyaris keluar dari bibirnya. “Kenapa…” Isakan itu akhirnya tetap datang seiring air mata.
“Shokuji o tanoshinde.” (Selamat Menikmati)Ayu membungkuk lalu mundur dengan wajah penuh senyum, sambil merapikan kimono yang dipakainya. Pakaian itu sedikit merepotkan pastinya—karena Ayu tidak terbiasa, tapi kimono itu adalah keharusan saat bekerja di restoran. Kimono itu adalah seragam karena restoran tempatnya bekerja bertema klasik. Menyajikan masakan tradisional asli Jepang dengan dekorasi yang juga kental dengan nuansa Jepang kuno.Ayu awalnya ragu bisa melakukan pekerjaan itu, karena pengalamannya memakai kimono hanya saat pergi ke festival musim panas bersama Rie beberapa kali, tapi setelah dua hari dan mendapat tips dari pramusaji lain yang ada di restoran itu, Ayu dengan mudah beradaptasi dan kini bisa dengan lancar melakukan pekerjaan—bahkan berlari memakai kimono itu tanpa merusak bentuknya. Ayu juga menyukai lingkungan kerja di restoran itu. Karena sangat sibuk, membuatnya cepat lupa dengan segala kehidupan mengenaskan di dunia ny
“Apa yang terjadi dengan tanganmu?” tanya Hide saat melihat telunjuk Ayu yang tertutup perban, saat mereka berpapasan di dekat dapur.“Tergores pecahan cangkir.” Ayu menjawab sesingkat mungkin, lalu membungkuk dan berlari keluar. Berangkat menuju ke stasiun untuk bekerja. Tentu saja Ayu tergesa keluar, mencegah Hide bertanya lebih lanjut, maupun mempunyai ide untuk melarangnya. Ayu sudah cukup menyesal dengan bangun terlambat tadi. Tentu saja karena menangis cukup lama semalam. Kehilangan salah satu pekerjaan nyaris membuat Ayu kembali pada titik yang membuatnya putus asa.Tapi kini Ayu sudah kembali mendapatkan tekadnya hari ini. Dia sengaja mengambil shift pagi di swalayan, jadi nanti akan punya waktu luang untuk mencari pekerjaan lain. Ayu akan mencoba bertanya di restoran lain, atau mungkin swalayan yang lain. Ayu tidak akan menyerah dengan satu pekerjaan saja. Dia tidak ingin memperpanjang masa tinggalnya di tempat Hide. Ayu mempunyai tujua
Hide yang duduk pada kursi kulit mengilat berwarna gelap, menatap dua orang yang membungkuk di depannya, dengan pandangan datar. Tapi diamnya Hide itu justru membuat dua orang itu terlihat gelisah.Mereka tahu jika Hide yang diam, lebih berbahaya daripada Hide yang bicara.“Siapa di antara kalian yang melukai tangannya?” tanya Hide. Setelah beberapa lama, pertanyaan akhirnya datang. Dua orang yang ada di depannya terlihat semakin gugup, saling menatap. Pernyataan itu menyiramkan ketakutan pada kegelisahan mereka yang menumpuk.“S...saya, Sandaime." (Ketua Generasi Ketiga)Pria dengan tato di pipinya menjawab terbata, sambil kembali membungkuk.“Yamada? Apa yang kau lakukan padanya?” Hide menyandarkan kepalanya, kini hanya menatap Yamada.“Saya menendang pecahan cangkir, tapi gadis itu memegangnya. Tangannya tergores karena itu.” Yamada bercerita dengan tubuh membungkuk semakin dalam, lebih dari s
Ayu mengelus pakaiannya untuk merapikan diri. Sudah beberapa kali Ayu melakukannya, semenjak dia melihat bagaimana wujud dari kantor Shingi Fusaya Real Estate. Ayu merasa penampilannya mungkin sedikit kurang rapi, saat menyadari jika perusahaan itu lebih besar dari bayangannya. Informasi yang tertulis di internet kemarin tidak lengkap.Perusahaan itu menempati gedung lima lantai yang berada di daerah perkantoran utama kota Tokyo. Yang mana, sudah pasti harga tanah dan juga properti di situ sangat mahal. Bisa menempati satu gedung di situ berarti Shingi benar-benar kuat. Lingkungan pekerjaan yang ini akan sangat jauh berbeda daripada sekadar swalayan maupun restoran yang kemarin. Ayu merasa salah tempat saat pertama datang tadi.Tapi saat menunjukkan surat panggilan di lobi tadi, sudah dipastikan Ayu tidak salah tempat. Surat itu disambut, dan Ayu dengan cepat diantar ke ke area HRD yang ada di lantai tiga untuk menjalani wawancara. Bahkan wawancara itu juga tidak