“Aku masih tidak ingin melakukannya.” Hide menggerutu.“Aku tahu, tapi aku yakin kau juga tahu kalau ini yang paling benar.” Ayu menatap suaminya yang kini sedang melepaskan sabuk pengamannya. Sudah sekitar dua menit lalu mereka sampai, tapi belum ada yang mencoba turun.Keputusan yang mereka—Ayu ambil, memang sangat besar. Ayu perlu menenangkan diri. Dan Hide sudah menyerahkan pilihan pada Ayu, tapi tetap menjalaninya dengan setengah hati.“Sudah, ayo.” Ayu akhirnya membuka pintu dan turun.Anak-anak yang tadi bermain di halaman, berhamburan mendekat saat melihatnya.“Tanaka–san! Apa yang kau bawa hari ini? Gula-gula? Buku cerita?”Aneka suara bersahutan menyambut Ayu. Ia memang sudah sering mengunjungi panti asuhan itu dengan membawa hadiah, tentu mereka berharap Ayu akan membawa sesuatu.“Aku membawa sesuatu di mobil untuk kalian, tapi rahasia. Kalian bisa…”Ayu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya, karena rombongan anak yang megerubunginya langsung berlarian meninggalkannya menuju
“Tempat ini tidak buruk.” Hide tidak menolak secara langsung, tapi keberatan itu terlihat.“Memang, aku akan memastikan tempat ini tidak akan pernah buruk untuk anak-anak itu. Tapi Kenzo berbeda dengan anak-anak itu. Mereka anak-anak yang benar-benar tidak punya keluarga, terpaksa tinggal di sini. Kenzo punya aku. Aku keluarganya. Aku satu-satunya yang dimiliki oleh Kenzo.”Ayu tidak ingin mengakui hal itu ketika mengingat perbuatan ibunya, tapi Kenzo tetap adalah anak dari adik ibunya—keluarganya. Satu-satunnya keluarga kandung yang pantas dimilikinya saat ini, tidak ada yang lain.“Aku tidak bisa melupakan fakta itu, dan berpura-pura kalau Kenzo adalah orang lain. Hal ini akan menghantuiku saat tidur.” Ayu kembali membujuk.Hide memainkan kunci mobil yang di bawahnya sambil menatap bagian belakang kepala Kenzo yang kini kembali mencoba untuk menggambar sesuatu dengan krayon di kertas yang baru.“Aku tahu kau membenci ibunya—aku juga sama. tapi kau tidak harus membenci Kenzo. Anak it
“Himawari! Natsu!”Terdengar bocah berumur sekitar sepuluh tahun menegur dengan keras, saat menemukan dua bocah yang lain bersembunyi di balik semak yang ada di bawah pohon.“Kenzo–aniki!”Natsu kaget melihat Kenzo yang tiba-tiba muncul lalu menarik anak perempuan—Himawari yang ada di sampingnya untuk berdiri, akan mengajaknya berlari, tapi tentu saja dicegah oleh Kenzo.“Tidak boleh! Kau membuat Okaa-san khawatir. Kau harus kembali.” Kenzo meraih lengan Natsu.“Tapi Himawari takut. Ia tidak suka sekolah.” Natsu menunjuk Himawari yang kini terisak.“Hima–chan.” Kenzo berlutut, lalu mengelus kepala Himawari yang menunduk.“Sekolah tidak menyeramkan. Kau akan bertemu banyak orang baru, dan teman-teman baru.” Kenzo membujuk lembut, sampai Himawari mendongak menatap mata Kenzo.“Tapi… tapi… aku ingin bersama Natsu. Aku tidak mau sekolah…”“Tapi…” Kenzo mengusap wajahnya. Himawari tentu akan ada di sekolah yang berbeda dengan Natsu. Himawari baru akan masuk taman kanak-kanak hari ini, bukan
“Dasar wanita sial! Kau memutus generasi penerus keluarga ini dengan kemandulanmu itu!" Ayumi mengusap air matanya, tidak berani menampakkan diri. Terus bersembunyi dibalik dinding, sementara mertuanya lewat di lorong. Dari wajahnya, bisa terlihat kalau ia amat murka. Amarahnya kali ini awet. Sejak tadi sebelum suaminya berangkat pagi---sampai sore. Ayumi tadi hanya mengusulkan agar suaminya ikut ke dokter memeriksa kesuburan juga, karena Ayumi sudah melakukannya beberapa kali, tapi hasilnya normal. Usulan yang diterima setara bencana, mertuanya marah, dan suaminya juga menolak, lalu meninggalkannya. "Kau dimana? Kau tak lebih dari wanita mandul dan sakit-sakitan!" Teriakan terdengar lagi, dan Ayumi tersentak. Khawatir kalau mertuanya itu akan benar-benar menyakitinya. Ia belum pernah marah selama ini. Ayumi mengendap mendekati pintu, secepat mungkin, tetap tanpa suara, mendekati pintu depan. "Kau hanya memanfaatkan nama kami untuk menjadi terhormat. Tapi kau sendiri tidak berguna
Hideki menahan tangan Ayumi, Masih tersisa akal sehat, dan mengingatkan untuk mencegah Ayumi membuka pakaiannyay."Ayumi, hentikan! Kau mau apa?"Niat baik yang tidak sejalan dengan keinginan Ayumi, karena ia justru mendorong tangan Hideki menjauh, dan benar-benar menurunkan seluruh gaun tidur tipis itu, beserta yang lain. Tidak ada lagi sisa kain menempel di tubuh Ayumi, dan Hide hanya bisa memandang sekarang. Mulai membatin apakah semua itu mimpi---terlalu mustahil.“Panas---” Desahan Ayumi terdengar lembut, sementara ia membaringkan diri. Mata Ayumi terpejam, seperti tidur, tapi tangannya terus mengelus tubuhnya sendiri, seakan mengusir gerah yang melanda seluruh tubuhnya.Ada mata yang tidak berkedip sejak tadi, menatap gerak-gerik Ayumi sambil menelan ludah beberapa kali. Tidak mungkin ada pria yang bisa mempertahankan akal sehat setelah melihatnya. Hideki yang tadi berniat benar, sudah melupakan niat itu. Ia berusaha mengingat kalau gadis yang amat menggoda itu adalah Ayumi, tapi
"Aku tidak tahu, Bibi. Sungguh, ini kesalahan. Aku tidak mengerti." Ayumi merintih dan memohon ampun. Ia tidak punya ingatan tapi tahu benar kalau apa yang dilakukannya menjijikkan. "Aku kasihan padamu! Aku mencoba mengerti bebanmu! Sebagai satu-satunya keluarga dari ibumu, aku mencoba membantu! Aku datang kesini berharap kita bisa dekat lagi meski berpisah lama, tapi kau malah menusukku dari belakang! Kau menjijikkan!" Karina terus menghujamkan hinaan, dan semua benar. Ayumi tahu semua itu pantas untuknya. Ayumi meninggalkan tanah kelahikan ibunya---di Indonesia---saat kecil karena harus mengobati penyakitnya di Jepang. Ia baru bertemu Karina lagi setelah dewasa, saat Karina menikah dengan Hideki. Ia satu-satunya keluarga Ayumi selain Hideki, tapi kini perbuatannya yang menjijikkan menghancurkan hubungan itu. “Air mata buaya! Kau tidak pantas menangis! Aku yang pantas!" Karina mendorong bahu Ayumi dan membuatnya terhunyung. Untung ia masih bisa bersandar agar tidak terjatuh. Mende
Tapi tangan Hideki lebih cepat, ia menyambar lengan Karina dan menariknya masuk lagi, sambil mendorong pintu shoji itu sampai menutup."Jangan berani-beraninya kau melakukan hal itu!" desis Hideki. Ia tidak peduli pada pernikahan Ayumi, tapi tidak ingin Karina melakukan hal yang membuat Ayumi menangis berhari-hari."Oji-san!" Ayumi berseru panik, karena Karina kini menjerit kesakitan. Hideki bukan hanya menarik, tapi meremas lengan Karina sekuat tenaga."Jangan menyakiti, Bibi!" Ayumi menarik tangan Hideki, berusaha membebaskan Karina. Perlahan tangan Hideki merenggang, bukan karena tarikan Ayumi, tapi tangisannya."Oji-san, aku tidak mau berpisah dari Kaitto. Aku tidak mau kehilangan dirinya. Aku mohon, terima permintaan Bibi."Ayumi setelah itu memohon.Hatinya beberapa detik lalu masih berdilema, tapi mimpi buruk berpisah dari Kaitto lebih menakutkan untuknya. Ayumi tahu permintaannya itu mungkin lebih dari sekadar kurang ajar---meminta pamannnya melepaskan istrinya adalah gila.Baya
Ayu segera merapat ke sudut kamar mandi dan meremas ponselnya. Tidak ada yang bisa dilakukannya. Tubuh Ayu menegang, sementara matanya terus menatap Hide yang terlihat sangat marah.Dengan suara bergetar, Ayu berbisik, "Ojisan ..."“Oji-san!” Ayu menjerit, saat tangan Hide dengan kasar merebut ponselnya.Tanpa berkedip, Hide melemparkan ponsel itu ke tembok kamar mandi, ambyar menjadi kepingan.“Kenapa kau melakukannya?” Ayu meratap sambil jatuh terduduk, mengambil puing-puing ponsel yang tidak mungkin bisa dipakai lagi. Ponsel itu bahkan tidak lagi menyala, dan layarnya retak.“Aku sudah mengatakan padamu untuk tinggal disini! Kau tidak pantas kembali pada keluarga itu!” Hide mendesis, lalu memaksa tubuh Ayu berdiri, tapi Ayu menepis tangannya.“Tidak. Aku ingin kembali. Aku harus bersama dengan Kaito!”Hide menarik wajah Ayu mendekat, mencengkeram pipinya dengan tangan. “Apa yang kau sukai dari pria itu? Pria itu lemah! Dan dia sama sekali tidak membuatmu bahagia!”“Aku bahagia bers