Share

EMPAT

ISTRIKU POLOS-POLOS BIAD*B

"Waalaikumsalam," jawab seorang wanita paruh baya dari dalam. Tak lama, ia menyembul dari balik pintu dengan wajah yang sembab.

"Ma," ucapku, seraya mencium takzim tangannya.

Mama langsung salah tingkah, "Aa." Kemudian seketika menangis meraung dan merunduk ke arahku. 

Segera kutahan dengan memeluknya. "Jangan begitu, Ma," ucapku parau.

"Mama malu sekali dengan kelakuan si Resty, A' Irfan. Huhuhuhu maafkan Mama sudah gagal didik anak." Kalimat-kalimat yang dilontarkan Mama benar-benar menyentuh relung hatiku yang paling dalam.

Betapa kelakuan Resty sudah menyakiti banyak pihak. Bukan hanya aku dan Salsa tapi, juga keluarganya. Terutama Mama. Beliau pasti sangat kecewa dan malu.

Selama ini, aku selalu bersikap adil, pada mertua maupun orang tuaku yang tinggal Emak. Seperti tahun lalu, aku memberangkatkan Emak bersama kedua orang tua Resty untuk umroh. Mereka senang bukan main. Karena memang itu impian mereka. Terutama orang tua Resty. Karena Emak sudah kuberangkatkan sekali sebelumnya. Wajar kalau Mama merasa sangat terpukul.

"Resty saat ini masih istri Irfan. Tanggung jawab Irfan. Sehingga kejadian ini adalah kegagalan Irfan mendidik istri!" ucapku seraya menepuk-nepuk pelan punggung Mama yang semakin erat memelukku dalam tangisnya.

"A' Irfan, kapan sampai?" Bapak tiba-tiba muncul masih dengan koko dan sarung. Serta sajadah di pundak. Beliau baru pulang dari mesjid. 

Melihat betapa agamisnya mertua, sungguh disayangkan wanita seperti Resty berasal dari keluarga mereka.

"Baru sampai, Pak." Perlahan aku melepas pelukan Mama, dan beralih hendak mencium tangan Bapak. Namun, pria paruh baya itu malah merangkul dan menepuk-nepuk punggungku. 

"Bisa kita bicara di dalam, Pak? Malu dilihat tetangga," ucapku menahan haru dan sedih.

A' Samsul tak berapa lama muncul bersama Teh Tina, istrinya. Kakak sulung Resty yang berprofesi sebagai guru SMA itu rumahnya memang persis di sebelah Mama dan Bapak. Sehingga pasti mendengar pembicaraan kami di luar dan mengetahui bahwa aku datang.

"A', Teh," sahutku, seraya menyalami kedua kakak iparku itu bergantian. 

Kini kami berempat duduk berkumpul di kursi ruang tamu. Tak lama, Nazwa, adik Resty datang membawa nampan berisi empat gelas teh panas. Meski sama-sama cantik, berbeda dengan kakaknya, Nazwa yang terpaut tiga tahun dari Resty cenderung pendiam dan sopan. Itu menurut pengamatanku selama ini. Entah, aslinya bagaimana.

Setelah menaruh isi nampan, dengan sopan, ia menyalamiku dan kembali berlalu ke belakang.

Setelah beberapa jenak suasana tak nyaman menguasai, akhirnya aku membuka percakapan

 

"Sebelumnya, Irfan minta maaf karena tadi lekas pulang dan ...."

"Gak pa-pa, Fan. Aa ngerti. Justru kami yang harus minta maaf sama kamu atas kelakuan Resty," ujar A' Samsul bijak dan tenang. Meski aku tau, ia juga begitu kecewa dan terpukul atas kelakuan adiknya.

Syukurlah, pasti mereka mengerti betapa terpukulnya aku tadi, sehingga tak sanggup berada lama di tempat kejadian, dan menyerahkan semua urusannya pada mereka.

"Seperti yang Irfan tadi bilang sama Mama, ini semata-mata kegagalan Irfan sebagai kepala keluarga, A'," sanggahku parau.

"Entahlah, A', tidak paham Mama sama jalan pikiran si Resty itu," sahut Mama masih diiringi tangis sedu sedan. "Punya suami tanggung jawab, sayang, dan baiknya luar biasa. Bisa-bisanya dia malaweung seperti itu," lanjutnya penuh nada kekesalan.

(Malaweung; semacam teledor atau bertingkah)

"Irfan juga yang salah udah ijinin Resty kerja. Harusnya Irfan bisa lebih tegas ngelarang," ucapku tidak enak. "Padahal waktu itu Irfan sangat keberatan. Bagaimana lagi, Resty bersikeras," sambungku.

"Itu yang paling aneh. Punya suami mapan, orangmah senang bisa diem di rumah. Ini, kok, disuruh enak gak mau. Malah ngotot pengen kerja. Udah, ini mah, kebodohan dan kegobl*kan dia sudah melempar kotoran ke muka keluarga ini." A' Samsul geleng-geleng kepala seraya mengusap wajahnya. "Sampe gak nafsu maka aa sampe sekarang, saking gak kuat nahan malu. Mama sama Bapak juga dari tadi ngelamun terus," imbuhnya panjang lebar. 

Hal itu membuatku tiba-tiba merasa bersalah yang bukan pada tempatnya. Menyesal sudah mempermalukan Resty tadi. Padahal itu sudah sangat wajar, bahkan kurang untuk memberi pelajaran istri yang nyeleweng sampai berhubungan badan seperti Resty. Tapi, imbasnya, seluruh keluarga jadi ikut malu.

"Jadi, sekarang, keputusan A' Irfan bagaimana?" Bapak yang sejak tadi diam turut membuka suara. Pria sepuh itu sejak tadi terpekur menyimak obrolan kami. 

"Irfan ...." Aku menggantung kalimat.

"Semua ada di tangan A' Irfan. Kami sebagai orang tua sangat merasa terpukul harus kehilangan mantu sebaik Aa. Tapi, ya, mengingat kelakuan si Resty yang kelewat fatal, kami sadar betul terlalu tak tau malu kalau berharap Aa masih mau mempertahankan." Mama kembali bersuara.

"Betul, Fan. Kamu berhak ambil keputusan menurut yang hati kamu kehendaki. Hanya, jangan sampai setelahnya kita jadi renggang. Ada Salsa yang menjadi ikatan kuat kita sebagai keluarga," sahut A' Samsul lagi.

Nyut! Tentang Salsa, selalu saja menjadi penyebab luka ini semakin terkoyak sejak tadi. Semoga keputusan yang kuambil menjadi yang terbaik untuknya.

"A-anu, Irfan ke sini mau antarkan barang-barang Resty, Ma. Mohon maaf, kalau selama menjadi menantu di keluarga ini, Irfan banyak kekeliruan." Kalimat itu meluncur diiringi air mata yang sejak tadi tertahan. Hari ini, aku benar-benar menjadi laki-laki cengeng. Bahkan saat Bapak meninggal sepuluh tahun lalu, aku tidak secengeng ini.

Bapak, A' Samsul, dan Teh Tina terlihat mengangguk. Sementara Mama seketika kembali terisak menutupi wajah dengan kedua belah tangan seraya tertunduk. Nampak betul Mama sangat terpukul. Saat itulah, terdengar juga suara isakan tertahan dari kamar. Ternyata, sejak tadi Resty menyimak obrolan kami dari kamar depan yang tepat bersebelahan dengan ruang tamu.

"Res, keluar kamu. Minta maaf sama Irfan. Jangan cuma nangis di dalam. Istri durhaka, kamu. Banyak sekali dosa-dosamu pada suami," ucap A' Samsul lantang. Membuat tangis Resty semakin kencang di kamar. Aku hanya tertunduk memainkan jemari. Menyembunyikan air mata yang mulai membanjiri kedua belah pipi. 

"Bener kata Aamu. Keluar!" Bapak turut buka suara.

Tak kunjung mendapat sahutan, A' Samsul menepuk paha istrinya, mengisyaratkan sesuatu. Wanita berjilbab lebar itu pun bangkit, dan masuk ke kamar di mana adik iparnya berada.

Beberapa saat, terdengar percakapan yang tidak begitu jelas di dalam. Kemudian, Teh Tina keluar mengapit Resty yang masih dalam keadaan yang ... memprihatinkan. Mata bengkak, bagian pipi lebam membiru. Entah siapa yang menghajarnya. Rambut berantakan. Serta masih mengenakan pakaian yang tadi pagi. Jujur, aku kasihan.

Namun, mengingat bagaimana kejamnya ia memperlakukanku, rasanya itu pantas ia terima. Bahkan belum cukup setimpal. Kuseka wajah yang basah dengan lengan jaket yang dikenakan. Aku harus tegar. Tidak boleh terlihat sedih di depan wanita laknat itu. Harus kutunjukan bahwa dengan melepasnya, aku masih bisa hidup normal dan bahagia.

Aku menatapnya dalam dari tempatku duduk. Beberapa saat tatapan kami beradu. Bukan lagi saling menatap penuh cinta seperti dulu sebelum badai ini akhirnya memporak-porandakan mahligai rumah tangga yang kami bangun dengan suka cita. Semua berbanding 180 derajat. Ia bukan Restyku yang dulu. Gadis polos dan manja yang kupinang sebagai permaisuri.

Kemudian ia menghambur memeluk kakiku untuk kedua kalinya seperti tadi siang. "Pa ... m-mama minta maaf, mama udah sangat berdosa sama Papa," ucapnya terbata seraya menangis terisak.

Kulepas pelukannya di kakiku, dengan meraih kedua bahu yang berguncang kencang itu dan memundurkannya pelan. Kupindai mata indah yang memerah dan berair itu dalam.

Lalu menghela napas panjang, berharap bisa sedikit menyirnakan sesak di dada, "Resty Sundari, mulai saat ini, terlepas semua kewajiban dan hakmu atasku. Aku ... menalakmu."

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status