Share

4. Kami Saling Mencintai

"Aku mohon, menikahlah denganku."

 

Mata Ana mengerjap beberapa kali. Ia tidak paham dengan situasinya sekarang. Apakah ia sedang dikerjai? Pria itu bahkan tidak mengubah ekspresi dan nada bicaranya sama sekali meskipun sedang memohon.

 

Ia pun menoleh sekitar, terlihat sepi. Tidak ada kamera, tidak ada tanda-tanda orang bersembunyi untuk menyorakinya nanti jika seandainya ia termakan dengan keadaan ini.

 

Lantas, ini apa?

 

Namun, jujur, jauh di dalam hati Ana, ada perasaan bahagia yang muncul. Bagaimana tidak? Pria yang tiba-tiba muncul di hadapannya saat ini, dan melamarnya, adalah cinta pertama yang selalu ia cintai dan jaga--ia menjaga perasaannya untuk terus mencintai pria itu sedari dulu walau tak berbalas. 

 

Mungkin terdengar konyol, karena Ana bertahan dengan perasaannya seperti itu, layaknya anak kecil yang percaya pada dongeng favorit mereka bahwa itu nyata.

 

Ya, orang lain tidak akan mengerti. Hanya Ana yang tahu. 

 

"Mengapa tiba-tiba?" tanya Ana, berusaha tetap tenang.

 

Ravi tersenyum kecil. Ia masih menatap Ana. "Aku membutuhkanmu."

 

Senyuman kecil refleks terukir di wajah Ana, tetapi berusaha ia hilangkan kembali senyuman itu. Lagian, ini tetap tak masuk akal. Dilamar tiba-tiba padahal sudah lama sekali tidak berkomunikasi? Mustahil. Namun, hal mustahil itu menjadi nyata sekarang.

 

"Butuh? Vi, bukannya--"

 

"Apa yang salah?" tanya Ravi. Sebelah alisnya terangkat, ia berkata dengan hati-hati kemudian, "Kamu sudah bekerja, usia cukup matang, dan belum menikah." Ia mendekatkan badan, menautkan jari-jari di atas meja. "Kamu juga sudah lama tidak dekat dengan siapa pun."

 

Ana mengernyit heran. "Kamu memata-mataiku?"

 

Ravi memutar bola matanya malas. Ia merasa muak, gadis ini lama sekali memberikan jawaban, padahal ia hanya ingin melamar. Ia butuh segera mendapatkan calon istri. Meski hanya gadis ini satu-satunya harapan yang dimiliki. Kalau begitu, ia akan berjuang dengan baik.

 

Ia menunjuk ke jari Ana. "Tidak ada cincin pernikahan di jari, sosial mediamu terlihat hampa dan jauh dari foto-foto pria bahkan jarang ada interaksi di sana." Ia kembali menatap serius. "Tidak perlu memata-matai, itu mudah sekali ditebak."

 

Ana terdiam sejenak, ia akhirnya menjawab, "Beri aku waktu."

 

"Berapa lama?" desaknya. "Oke, dua puluh empat jam," putus Ravi mutlak. Ia segera berdiri, lalu berlalu pergi menuju mobilnya yang terparkir di depan gerbang sekolah.

 

"A ...." Ana menutup mulutnya kembali. Ia terkejut karena pria itu pergi begitu saja, dan yang lebih parahnya, ia yang mengatur dan terkesan terburu-buru.

 

"Inka pasti tidak percaya ini." Senyuman Ana mengembang. Walaupun di satu sisi ia kebingungan dengan kejadian dadakan ini, tetapi ia cukup bahagia bisa melihat pria itu lagi.

 

Ternyata, perasaannya kepada pria itu belum berubah.

 

***

 

Sepanjang jalan, Ravi merutuki dirinya sendiri. Ia terus menyetir, dan mengeluarkan umpatan kecil karena kesal. Mengapa ia harus berada di situasi seperti ini? Namun, ia tetap tidak tega untuk menolak dan mengecewakan ibunya.

 

"Setidaknya dia yang paling aman untuk dinikahi sekarang, karena dia bukan tipe gadis yang macam-macam."

 

Ravi semakin merutuki dirinya ketika mobil yang dikendarai membawanya ke halaman studio foto, tempat Risa bekerja hari ini. Semenjak kejadian dua hari yang lalu, ia dan kekasihnya itu belum bertukar kabar. Namun, ia tahu jika kekasihnya ada di studio sekarang, karena dia sangat aktif di media sosial untuk merekam kegiatannya sehari-hari.

 

Ia memarkirkan mobil. Bagaimanapun, mereka harus bicara. Hubungan yang selama ini telah dibangun, tidak mungkin sia-sia begitu saja. 

 

Sepuluh menit berlalu, ia melihat Risa keluar dari studio. Sepertinya gadis itu hendak pindah lokasi pemotretan. Ravi pun segera keluar dari mobil untuk mengejarnya.

 

"Sa ...," panggilnya. 

 

Risa berbalik, kedua alisnya terangkat--cukup terkejut karena pria itu muncul di hadapannya. Ia menyuruh rekan kerjanya untuk pergi dahulu, dan mengatakan akan menyusul saja. Karena semua rekan kerjanya tahu jika ia memiliki hubungan spesial dengan Ravi, mereka setuju untuk pergi. Sebelum pergi, mereka menyapa Ravi dengan ramah.

 

"Ada apa, Vi?" tanya Risa cuek.

 

Ravi memangkas jaraknya dengan gadis itu. Ia menatap lembut, lalu berkata pelan, "Kita butuh bicara, Sa, tapi jangan di sini, ya ...," pintanya.

 

"Di sini saja!" Risa melipat kedua tangan di depan dada. "Kamu lihat, 'kan, kalau aku sedang bekerja?"

 

Ravi mengangguk. "Iya, maaf, Sa."

 

"Lantas?" Kedua alis Risa bertaut, ia memandang Ravi kesal. "Kalau kamu ke sini hanya untuk membujukku, maka semuanya hanya sia-sia." Ia berbalik, hendak melangkah pergi. 

 

Sebelah tangan Ravi menarik tangan Risa, untuk mencegah gadis itu agar tak meninggalkannya. Ia maju selangkah, dan menyambut tubuh kekasihnya dengan sebuah pelukan. "Maaf, aku egois," ungkap Ravi.

 

Risa tak membalas pelukannya, membuat Ravi melepaskannya, dan menatapnya teduh.

 

"Sa ... apa kamu bolehin aku nikah sama gadis lain?" Ravi menggenggam kedua tangan Risa. Pandangannya tak lepas dari gadis itu, sekan-akan tak mau melewatkan sedetik pun reaksinya. "Bantu aku ...."

 

Risa terdiam. Ia mencintai Ravi, tetapi ayo, lah! Ini kesempatan terbaiknya untuk karier yang lebih bagus. Bukankah kekasihnya ini juga sangat egois? Mengapa memaksa untuk menikah di saat seperti ini? Padahal, mereka berjanji akan menikah setelah Risa mencapai puncak kariernya.

 

"Aku berangkat tiga minggu lagi," ungkap Risa tanpa menjawab pertanyaan Ravi. "Ternyata, masih butuh sedikit waktu lagi untuk mengurus visa."

 

"Kamu ... tidak bisa menunggu?"

 

Risa mengembuskan napas berat. Emosinya tampak terpancing. Ia memandang kesal pria di hadapannya. "Harusnya pertanyaan itu untukmu, Vi! Tidak bisakah kamu atau ibumu itu menunggu!" serunya marah. "Mengapa harus aku? Kamu menyuruhku berkorban sebesar ini!?" tanyanya tak terima. "Mengapa bukan kamu yang berkorban! Padahal kamu dan ibumu hanya perlu bersabar beberapa tahun lagi!" teriaknya. Ia sudah kehilangan kesabaran.

 

Sesak menjalar memenuhi dada Risa. Gadis itu memegang kepalanya, dan langsung berjongkok. Ia menutup wajah dengan kedua tangan, lalu menangis. 

 

Melihat itu, Ravi menjadi sangat hancur. Ia tidak tega melihat gadis yang dicintainya menangis karenanya seperti ini. Ia segera memeluk gadisnya itu, mengusap pelan rambutnya, dan berusaha menenangkan.

 

Risa menghapus air mata. Ia mendorong tubuh Ravi agar menjauh darinya. Ia berdiri kembali, begitu pula dengan Ravi karena takut jika gadis itu akan pergi lagi.

 

"Kamu pasti tidak bisa menolak ibumu," kata Risa, ia berusaha mengatur napas, agar tetap tenang. "Aku juga mustahil mengabaikan kesempatan emas untuk karierku." Ia mendekat, menatap Ravi serius. 

 

Ravi yang selalu dicintainya, pria baik dan memesona, dan yang paling penting adalah pria itu sangat-sangat mencintainya. Di mana lagi Risa akan menemui pria sepertinya?

 

Tangan Risa terulur untuk mengusap pipi tirus Ravi. Ia menatap lekat, mengunci rapat tatapan pria itu. Wajah yang selalu menjadi candunya--iris mata cokelat, rahang tegas, hidung mancung, dan senyuman yang selalu memikatnya--, akan menjadi hal yang paling ia rindukan ketika jauh dari pria ini nanti.

 

"Jika kamu menikahi gadis lain, apa kamu akan melupakanku?" tanyanya mengiba. "Vi ... aku memilih karier, bukan berarti aku tak mencintaimu, dan kamu harus selalu ingat itu." Ia menatap yakin kemudian. "Gadis yang akan kamu nikahi pun, tidak akan memiliki rasa cinta sebesar cintaku untukmu, Vi," ungkapnya tulus.

 

Ravi menggenggam tangan Risa yang menyentuh pipinya. Ia berpikir sejenak, sambil tetap terus menatap gadis itu. Ide gila mulai bermunculan di pikirannya. "Aku tidak akan pernah melupakanmu, Sa." Ia bertanya, "Apa nanti ketika kamu kembali, kamu akan mencariku?"

 

"Di saat kamu telah berstatus suami wanita lain?" Risa menurunkan tangannya. Ia terlihat berpikir. "Tergantung bagaimana sikapmu nanti, Vi. Aku tidak bisa memastikannya. Aku juga belajar etika."

 

Tawa kecil terdengar dari bibir Ravi, lebih terdengar seperti tawa paksa. "Berarti, kamu benar-benar mempersilakanku untuk menikahi gadis lain?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tadi hanya mengujimu, Sa." Ia mengulum bibir, kepalanya tiba-tiba pusing. "Ternyata ... ambisimu lebih besar dari pada rasa cintamu untukku, Sa." Sebelum Risa berbicara, ia terlebih dahulu berkata, "Tetapi tak apa, karena ternyata mungkin keegoisanku juga lebih besar dari pada cinta."

 

"Ini hanya masalah waktu, Vi."

 

***

 

Dering dari sebuah ponsel terdengar, hingga membangunkan Ravi yang tertidur. Pria itu mengambil ponselnya, dan melihat jika jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi.

 

Ternyata, bukan ponselnya yang berdering. Ia pun segera bangun dari sofa menuju pintu--arah suara dari ponsel tersebut. Sepertinya Risa baru pulang, karena ia sudah menunggu gadis itu di apartemennya sedari tadi.

 

"Sa ... ya, ampun." Ravi bergegas menyambut badan Risa yang terhuyung-huyung kehilangan keseimbangan. "Kamu mabuk?" tanyanya tak percaya.

 

Risa berusaha membuka matanya yang hampir tertutup. "Ravi ...." Ia tampak bingung sesaat, kemudian tersenyum lebar. "Sayang!" serunya, lalu memeluk Ravi.

 

Ravi langsung menggendong Risa menuju kamar gadis itu, dan merebahkannya di ranjang. Gadis itu setengah sadar, dan terus mengoceh tidak jelas.

 

Dering pun kembali terdengar. Risa segera menjawab teleponnya, ia tampak senang sekali.

 

Iya, Mas, aku sudah sampai.

 

Terima kasih juga untuk malam ini, Mas.

 

Gadis itu menutup telepon, lalu tersenyum ke arah Ravi yang menatapnya penuh tanda tanya. Ia pun duduk, dan menyuruh Ravi untuk duduk di tepi ranjang.

 

"Kamu sedari tadi nungguin aku?" tanyanya sambil berusaha kembali menguasai diri untuk memeroleh kesadaran. Namun, sia-sia. Ia merasa tidak sanggup lagi, dan benar-benar mabuk. "Maaf ...." Matanya mulai terpejam-pejam.

 

"Kamu selingkuh, Sa?" tanya Ravi. Sebenarnya, ia tidak sanggup menanyakan ini.

 

Risa menggeleng. "Aku cinta kamu."

 

"Terus, kamu minum sama siapa? Sudah aku bilang jangan pernah minum lagi, Sa," nasihatnya. Ia menatap gadis itu khawatir. Mengapa gadis itu seperti ini?

 

Risa menampar pipinya sendiri, berharap kesadarannya kembali. Ia menegakkan badan, berusaha membuka lebar kedua matanya. "Ini gak mudah, Vi. Ada harga mahal yang harus dibayar untuk ambisiku."

 

"Karena itu kamu tidak bisa melepaskannya? Apa yang menelepon tadi ...." Ravi tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Hatinya terasa sangat sakit. "Kamu melakukan apa dengannya?" tanyanya pelan, sorot matanya redup.

 

"Bersenang-senang," jawab Risa singkat dengan senyuman yang lebar. Ia tertawa kemudian. 

 

Risa sepertinya sudah mabuk total. Ravi terdiam, ia berpikir berat. 

 

"Kamu meracau, Sa ...." Ravi tersenyum kecil. Ia mengelus pelan kepala Risa. Ia sangat menyayangi gadis ini. "Istirahat dulu, ya." Ia merebahkan tubuh Risa, gadis itu hanya menurut.

 

Saat ini, Ravi tidak mau berpikir macam-macam. Ia percaya sepenuhnya kepada Risa. Ia pun menyelimuti gadis itu. Matanya pun menatap wajah Risa yang selalu menyenangkan hatinya. Gadis itu selalu cantik, bahkan di kondisi seperti ini.

 

Ravi mengernyit, karena terukir senyuman di wajah Risa yang terpejam. Tiba-tiba, tangan Risa menarik tangan Ravi hingga hampir terjatuh menimpanya. Untung saja Ravi refleks menahan tubuhnya. Jika tidak, wajahnya bisa beradu dengan gadis itu.

 

Risa berkata menggoda, "Sekali lagi, Mas."

 

Kedua alis Ravi terangkat. Tidak, tidak mungkin. Ia berusaha menyingkirkan jauh-jauh pikiran buruknya. Dering ponsel Risa lagi-lagi terdengar. Kali ini hanya dering singkat, sepertinya notifikasi dari W*.

 

Ravi bergerak pelan untuk mengambil ponsel Risa yang terletak di dekat kepala gadis itu. Ia membuka kunci ponsel, yang sudah ia ketahui sandinya sedari dulu. Ternyata memang benar, ada pesan masuk. 

 

Ia belum tertarik dengan si pengirim, tetapi tertarik dengan pesan yang dikirim. Ada tiga buah foto, dan sedang ia unduh.

 

Ketika ketiga foto itu telah terunduh, tangan Ravi sontak bergetar. Ia menelan ludah. Perlahan, ia gerakkan kepala untuk menoleh memandang Risa. Sungguh, ia tidak pernah menyangka akan hal ini. 

 

 

***

 

Wah, kira-kira apa, ya?

Terima kasih sudah membaca. :))

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status