Share

TEMPAT YANG AMAN

***

Dari kejauhan, Aksa dengan empatinya memandang ke arah seorang perepuan yang sedari tadi hanya menangis di atas tempat tidur.

Setelah kejadian itu, Aksa segera membawa Zeva ke rumah sakit untuk pengobatan luka fisiknya. Bahkan di sepanjang jalan Zeva hanya terdiam dengan tangis yang terus mengalir.

Aksa menjadi tak tega melihat kondisi Zeva semakin meprihatinkan. Ia tidak tahu betul apa yang sedang terjadi, karena keterlambatannya untuk mengetahui bagaimana Deren menyiksa Zeva dengan sangat keji.

Sejurus kemudian, Aksa melihat sebuah nampan masih lengkap berisi makan dan minum yang sedari tadi tidak disentuh oleh Zeva.

Selangkah demi langkah pria itu berjalan mendekat ke arah ranjang. Ketika tubuhnya berdiri tepat di belakang perempuan tersebut, Aksa kemudian ikut membaringkan tubuh di sebelah Zeva.

Aksa menghadapkan tubuhnya ke atas dengan kedua tangan saling memegang di atas perut.

“Kamu boleh tinggal di sini selama yang kamu mau,”

Mengingat kejadian mengerikan itu, Aksa tidak akan membiarkan Zeva bertingkah ceroboh dengan kembali pada suaminya. Jika suatu saat itu akan tiba, Aksa harus memastikan sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Atau bahkan jika diperlukan, Aksa tidak akan segan membuat perhitungan dengan Deren.

“Apakah setelah ini kamu akan tetap menganggap Deren sebagai seorang suami?”

Zeva masih diam dengan air matanya.

Aksa benar-benar tidak rela jika perempuan tersebut harus tersakiti untuk kesekian kali. Jadi, sebisa mungkin Aksa harus memastikan bahwa Zeva bisa berpikir jernih terkait dirinya yang akan tetap menganggap Deren sebagai suaminya atau tidak.

“Apakah kamu tahu? Rasanya sakit sekali melihatmu menunjukkan luka itu sambil menangis.” Aksa kembali membuka percakapan yang sekali lagi hanya dibalas diam oleh Zeva.

Aksa menghela napas pelan. Ia tak tahu harus menghibur Zeva dengan cara apa. Selama ia kembali ke apartemen itu, Zeva memilih untuk mengistirahatkan diri tanpa berbicara sepatah kata pun.

“Kepalaku sakit,” lirih Zeva mengundang perhatian Aksa seketika.

Pria tersebut langsung memposisikan tubuhnya dengan benar dan mengarahkan tangan untuk membantu meredakan rasa sakit yang Zeva rasakan.

“Apakah di sebelah sini?” Aksa bertanya untuk memastikan letak dari rasa sakit itu.

Zeva mengangguk tanpa berucap lagi. Matanya terus terpejam ketika pijatan yang Aksa berikan mampu meredakan rasa sakit hingga ia berhasil tertidur pulas.

***

Jam menunjukkan pukul sebelas malam. Deren terbaring di atas sofa dengan perut kelaparan. Ia memandangi sekitar rumah yanh terlihat bersih, namun terasa kosong.

Di sudut lain, Deren memperhatikan dapur yang sunyi tanpa seoran pun. Di meja makan hanya ada bahan-bahan mentah yang tadinya akan dimasak istrinya untuk makan malam. Namun, rumah itu sekarang hanya terisi oleh dirinya sendiri yang tidak bisa melakukan itu semua tanpa kehadiran Zeva.

Deren menghela napas kasar. Ia mengingat bagaimana raut wajah sang istri ketika merintih menahan rasa sakit.

Sejenak Deren merasakan sakit di dadanya. Rasa sakit yang begitu dalam hingga ia merasa khawatir terhadap sesuatu.

“Apa yang telah aku lakukan padanya?” Deren berbisik pada dirinya sendiri memikirkan seseorang yang telah ia sakiti.

***

Malam ini, Aksa begadang untuk memastikan jika Zeva membutukan sesuatu. Meskipun Aksa tahu jika ia bukan siapa-siapa, namun simpati dan empati sebagai seorang manusia mengharuskan Aksa untuk saling peduli. Lebih-lebih jika yang menjadi korban adalah seorang perempuan.

Bersama dengan Zeva membuat Aksa merasa kagum pada kegigihan perempuan itu. Aksa paham seberapa besar rasa sayang Zeva kepada suaminya. Mengingat terakhir kali Zeva menolak untuk menerima bantuan Aksa terkait tempat tinggal yang lebih aman, dan sekarang ia harus melakukan itu karena sesuatu yang buruk terjadi pada Zeva.

“Tangan Zeva sakit, Mas. Tolong jangan sakiti aku lagi,” terdengar racauan seseorang yang masih dalam kondisi tertidur.

Mendengar suara tersebut, Aksa langsung menghampiri Zeva dan memastikan keadaannya.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya sembari terus memohon ampun. Aksa yakin bahwa Zeva bermimpi buruk tentang kejadian itu.

“Zeva, bangun. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi,” lirih Aksa tepat di telinga Zeva sembari tangannya menepuk pipi perempuan tersebut agar cepat terbangun.

Namun, tubuh Zeva malah semakin gemetar dan mulutnya terus meracau. Suhu tubuhnya bahkan kembali naik setelah beberapa jam dikompres.

Aksa semakin kalut melihat kondisi Zeva sekarang. Ia segera menghubungi perawat yang bisa hadir di malam itu. Namun, tidak seorang pun dari pihak rumah sakit yang bisa menolong. Mau tidak mau, hanya Aksa yang bisa merawat Zeva.

“Jangan, Mas. Jangan! Aku minta maaf, jangan sakiti aku lagi. Siapa pun, tolong Zeva,”

Mendengar racauannya semakin menjadi-jadi, Aksa segera berbaring di belakang Zeva dan memeluk tubuh perempuan itu dengan perasaan kalut.

“Zeva, tenang. Aksa ada di sini,” ucapnya berusaha menenangkan.

Sesaat setelah pelukan itu terjadi, tubuh Zeva akhirnya berhenti gemetar. Namun, sekarang tangisnya yang semakin menjadi.

Di tengah tangisan itu, “Aksa, sakit sekali,” ucapnya mengadu pada seseorang yang kini masih erat memeluknya.

Seolah paham dengan kalimat tersebut, Aksa mengangguk mengiyakan dan kembali mengeratkan dekapannya. Sesekali jemari Aksa ia usapkan di kepala Zeva untuk memberikan rasa nyaman yang lain.

“Jangan khawatir, Zeva aman dengan Aksa,”

Kondisi Zeva berangsur-angsur menjadi lebih tenang dari sebelumnya, meskipun tangis dari rasa sakit yang ia rasakan masih belum hilang. Trauma itu pasti akan tetap tertinggal hingga dasar ingatannya.

Masih dengan kondisi Aksa memeluk Zeva, kini perempuan itu sudah benar-benar terdiam dan sangat tenang.

Zeva kemudian berniat membalikkan tubunya untuk melihat wajah laki-laki tersebut. Mengerti dengan apa yang Zeva ingin lakukan, Aksa melepas pelukannya dan menunggu Zeva selesai memposisikan tubuh.

Setelah mereka saling menghadap, Aksa memulai pemandangan itu dengan senyuman hangat. Berharap bahwa senyuman yang ia berikan akan tersalur pada perempuan di hadapannya.

“Aksa, terima kasih,” kata Zeva susah payah menahan luka batin yang tak kunjung mereda.

Aksa mengangguk paham. Tangan kanannya kini mengusap pipi Zeva dengan lembut.

“Maaf karena aku datang terlambat,” sesalnya.

Zeva menggeleng kecil. “Maaf aku sudah banyak merepotkan.”

“Kemarilah,” dengan lembut Aksa meminta Zeva untuk menerima pelukannya sebagai bentuk kasih yang ingin Aksa tunjukkan.

Zeva tersenyum kecil bisa merasakan pelukan itu lagi.

“Setelah ini, berjanjilah untuk tidak lagi kembali padanya,” pinta Aksa mencegah hal buruk lain yang bisa terjadi pada Zeva.

Ia mengerti betul bagaimana seorang laki-laki yang telah tega melakukan itu pada seorang perempuan. Kalau pun Deren datang untuk memohon maaf dan meminta Zeva kembali, Aksa tidak akan membiarkan hal itu tejadi begitu saja.

***

Deren berjalan dengan langkah ragu-ragu. Pikirannya seperti dikecohkan oleh banyak hal yang mengganggu dari semalam. Langkahnya terus ia bawa hingga tepat di depan pintu kaca yang berada di pojok ruang utama.

Tanpa berpikir panjang, tangan pria tersebut akhirnya digerakkan untuk membuka pintu.

Setelah pintu terbuka, ia melihat Aksa tengah sibuk dengan beberapa berkas-berkas.

“Di mana kau menyembunyikan istriku?”

Aksa terkekeh tanpa melihat ke arah pria tersebut. “Istri kau bilang? Siapa yang kau maksud?” bingungnya pura-pura tidak tahu.

Deren merasa geram atas perlakuan yang ia terima. Akan tetapi, kali ini ia tidak dapat berlaku lebih, karena Aksa adalah atasannya. Bagaimana pun juga, ia harus meredakan emosi dan mengurungkan niat untuk berkelahi jika ia tetap menginginkan pekerjaannya.

“Di mana Zeva?” Deren bertanya sekali lagi terkait lolasi keberadaan istrinya sekarang.

“Mana mungkin aku tahu.” Aksa masih memilih untuk tidak peduli dengan laki-laki busuk itu.

“Aksa, aku tahu kau mebawa pergi Zeva semalam,”

“Bagaimana kau bisa yakin dengan hal itu?” Aksa terus menolak untuk membuka mulut.

Amarah Deren sudah semakin terpancing. Jika ia terus berada di situ, maka keributan akan semakin sulit untuk ditahan.

“Aku akan membawa istriku berobat. Jadi katakan saja di mana ia berada,”

Sekali lagi Deren menyebut kata istri, membuat Aksa tertawa kencang.

“Untuk apa kau peduli dengan istrimu? Bukankah selama ini kau tidak pernah menganggap keberadaannya?”

Aksa tidak akan membiarkan Deren mengusik ketenangan Zeva untuk kesekian kali. Apa pun akan ia lakukan untuk menjauhkan Deren dari Zeva.

Di sisi lain, Deren sudah benar-benar tak kuasa menahan amarahnya. “Baiklah, akan aku cari sendiri di mana dia.”

“Kau sungguh tak berguna!” sambungnya lirih sembari berbalik arah meninggalkan ruang tersebut.

Aksa hanya tersenyum kecil penuh kemenangan.

***

Sepulang kerja, Aksa langsung bergegas menghampiri apartemen baru yang ia sewakan untuk tempat tinggal Zeva.

Di sepanjang jalan ia terus memikirkan wajah cantik dan lucu yang dimiliki perempuan tersebut. Tak jarang Aksa tersenyum sendirian hanya karena mengingat keriangan yang sempat Zeva tunjukkan padanya.

Tak lama kemudian, lift apartemen sudah berhenti di lantai tiga.

Saat pintu terbuka, Aksa melihat Zeva dengan wajah pucat tengah duduk di pinggir kasur dan terdiam lesu.

Aksa melepas sepatunya dan berjalan pelan sembari membuka sebotol air minum. Ia segera meneguk air minum itu ketika posisiya sudah duduk di sebelah Zeva. Namun, pertanyaan yang Zeva sampaikan membuat Aksa hampir tersedak.

“Apakah Deren tidak menanyakan keberadaanku?” Zeva bertanya dengan tatapan kosong ke arah depan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status