Share

Bab 7

Nadine bergegas melangkah ke dekat meja kompor dimana mertuanya berdiri di tempat yang sama.

Beruntung api belum merambat ke atas wajan penggorengan hingga tak terjadi kebakaran. Hanya saja makanan yang sedang dimasak menjadi berwarna hitam dan gosong. Sudah pasti tak bisa di konsumsi, lalu Nadine mengambil lap dan membuang makanan gosong itu ke tong sampah.

"Bagus ya, buang-buang makanan seenaknya. Kamu pikir makanan itu hasil mungut? Itu aku beli loh pake uang bukan pake daon!" geram Saras.

"Maaf, Bu. Tadi aku gak sengaja bikin makanannya gosong, aku ngangkat telepon dari bapak sebentar, lupa matiin kompor." Nadine tertunduk.

"Dasar ceroboh! Ambil lagi makanan itu, cepat!" titah Saras membentak.

"Tapi, Bu. Makanannya udah gak layak makan, buat apa diambil lagi," ucap Nadine.

"Buat makan malam kamu karena sudah buang-buang makanan. Pokoknya malam ini gak ada makan malam buat kamu! Kalau mau makan, pungut tuh dari tong sampah. Lebih cocok untuk gembel seperti kamu," bentak Saras.

Kemudian wanita itu memanggil Mbak Nur. Meminta pembantunya menyiapkan makan malam.

"Mbak Nur! Cepat siapkan makan malamnya!" seru Saras lalu menoleh pada Nadine yang masih mematung berdiri dihadapannya.

"Ngapain masih berdiri di sini? Pergi sana! Nafsu makan aku bisa hilang lihat muka kamu itu!" Sarkasnya.

Buru-buru Nadine meninggalkan ruang makan. Sudut mata sudah mengeluarkan tetesan bening yang sulit dia tahan, mendapatkan caci maki dari sang mertua membuat sakit hatinya.

Di ruangan lain tak sengaja dia berpapasan dengan Prasetyo, ayah dari Sadam.

"Kamu kenapa?" tanya Prasetyo yang saat ini hendak menuju ruang makan.

"Gak apa-apa, Yah!" jawab Nadine mengusap kasar sudut matanya.

"Kita makan malam, ajak Sadam turun," titah Prasetyo.

"Iya, saya naik ke atas dulu, mau panggil Sadam," ucap Nadine lalu melangkah naik ke lantai atas.

Prasetyo menatap nanar punggung menantunya. Dia menangkap kesedihan terpancar dari wajah Nadine. Sepertinya menantunya itu habis kena marah lagi oleh Saras istrinya.

Sampai di kamar, Nadine membuka pintu. Saat yang bersamaan Sadam hendak keluar dari kamar tersebut. Hingga keduanya saling bertabrakan.

"Kalau jalan pake mata!" sungut Sadam tatapannya menusuk.

"Maaf, Mas, aku buru-buru tadi. Mas di tunggu di ruang makan sama ibu dan ayah," ucap Nadine lalu masuk ke dalam.

Sadam menoleh ke belakang melihat istrinya yang malah masuk bukannya turun sama-sama ke ruang makan.

"Kamu ngapain masuk? Bukannya mau makan malam?" tanya Sadam dengan nada ketus.

"Pas masak tadi aku gak sengaja bikin makanannya gosong karena terima telepon dari bapak. Karena itu ibumu gak bolehin aku makan malam kecuali makanan gosong yang udah aku buang ke tempat sampah. Gak mungkin aku makan makanan yang udah kotor sekalipun aku orang miskin, lebih baik aku gak makan sama sekali," ucap Nadine matanya berkaca-kaca.

"Gak usah dengerin apa kata ibuku. Ayo makan, nanti kamu bisa sakit!" Sadam kembali masuk dan menarik tangan Nadine agar turun bersamanya.

"Mas!" Nadine menatap suaminya.

Tatapan mereka saling bertemu. Sadam reflek melepas pegangan tangannya.

"Kamu masih mengkhawatirkan kesehatanku? Artinya masih ada cinta dalam hati kamu," ucap Nadine.

Sadam menghela nafas kasar. "Jangan salah paham! Aku begitu bukan berarti peduli sama kamu. Tapi kalau kamu sakit, aku yang akan repot, ngerti?" 

Nadine terus menatap lekat pria dihadapannya, menyelami mata bening itu seakan mencari-cari cinta yang terpancar diantara sorot kebencian yang akhir-akhir ini sering Nadine lihat lewat pancaran matanya.

Ditatap demikian membuat Sadam memalingkan wajahnya. Bohong jika Sadam bilang tidak mencintai lagi Nadine. Namun Sadam terus menyangkal perasaan itu dan menutupinya dengan kebencian dan amarah.

"Aku tau kamu masih mencintai aku, karena itu aku masih bertahan di sini, di rumah ini. Sekalipun aku harus tersakiti, terhina dan terjatuh berkali-kali oleh sikap kamu dan keluargamu. Aku akan tetap bertahan selama cinta kamu masih ada untukku," tegas Nadine.

"Banyak ngomong kamu ini! Ayo makan!" Sadam menarik lengan istrinya, meski dengan kasar Sadam memperlakukan Nadine. Namun hati wanita itu cukup merasa senang karena yang dia lihat, Sadam masih menyimpan cinta padanya. Hanya saja kekecewaan membuat pria itu berubah. Nadine anggap ini hanya sebuah ujian dalam rumah tangga, yang siapapun akan mengalaminya. Hanya tinggal bagaimana Nadine kuat menghadapi semua ujian itu, bertahan selama masih ada cinta dihati suaminya.

Sampai di ruang makan, nampak Saras melotot melihat Sadam membawa Nadine ke sana.

"Untuk apa kamu bawa wanita itu ke sini? Ibu sedang menghukumnya karena sudah membuang-buang makanan, apa dia tidak bilang?" tukas Saras.

"Dia bilang. Tapi aku gak mau repot kalau misalnya dia sakit. Kita juga yang repot kan, Bu?" Sadam menyeret kursi dan duduk.

Ragu-ragu Nadine pun duduk di sebelah suaminya.

"Kalau dia sakit kembalikan saja pada kedua orang tuanya. Susah amat!" celetuk Saras.

"Sebenarnya Ibu ini kenapa marah-marah terus sama Nadine, dia salah apa sama kamu? Kamu suruh kerja dia nurut, suruh ini itu dia mau dan gak pernah protes apalagi melawan." Prasetyo tampak membela menantunya.

"Ayah mau tau apa mau aku? Aku mau dia pulang ke rumahnya dan bercerai dari Sadam. Ayah gak tau saja kalau Sadam udah ketipu sama perempuan ini, Sadam hanya menikahi barang bekas! Tau kamu?" kesal Saras kemudian menggebrak meja hingga menimbulkan bunyi nyaring yang berasal dari piring dan sendok yang ada di atas meja itu.

Saras berlalu dari ruangan tersebut tanpa menyelesaikan makan malamnya.

"Bu, makanan kamu belum habis!" sahut Prasetyo.

"Udah gak nafsu! Enek aku lihat muka dia di rumah ini!" desis Saras melangkah pergi dari sana.

Prasetyo kini menoleh pada Sadam dan Nadine secara bergantian. Kata-kata Saras barusan terasa mengganjal di hatinya. Apa maksud istrinya menyebut Nadine sebagai barang bekas? Berbagai pikiran menggelembung dalam benak pria berusia 60 tahun itu.

Nadine sendiri tertunduk tak berani mengangkat wajahnya. Genangan air mata sudah memenuhi kelopak matanya.

Sesekali menetes dan langsung dia usap dengan kasar. 

"Cepat makan!" Sadam membentak istrinya, membuat wanita itu tersentak.

"Sadam, bukan begitu cara kamu memperlakukan istri. Tak baik kamu kasar sama wanita," tegur Prasetyo.

"Istri yang bagaimana dulu yang harus aku perlakukan dengan baik. Kalau yang macam dia memang sudah sepantasnya mendapatkan sikap kasar dariku." Sadam melawan ucapan ayahnya.

"Kamu kenapa menikahinya kalau hanya untuk kamu sakiti seperti itu? Ibumu marah bukannya kamu bela, malah ikut-ikutan marah sama dia. Suami macam apa kamu ini?" kesal Prasetyo.

"Awalnya aku ingin menikahi wanita ini karena cinta, tapi setelah tau jika wanita ini tak lebih dari sampah yang tak sengaja aku pungut dan aku bawa ke rumah, aku baru sadar jika dia tak pantas aku jadikan seorang istri. Seperti yang ibu bilang tadi, apa Ayah gak dengar?" tukas Sadam sambil menatap ke arah istrinya dengan tatapan menghina.

Mata mereka beradu, Nadine melihat ekspresi kebencian dan penghinaan dari suaminya. Bahkan tak segan-segan mempermalukan Nadine di hadapan ayahnya sendiri.

"Sadam. Ayah mau bicara sama kamu di taman setelah kamu makan nanti. Ayah tunggu kamu di sana." Prasetyo tampak tak berselera makan lagi. Dia beranjak dari sana.

"Kenapa tidak bicara di sini saja?" tanya Sadam.

"Aku ingin bicara empat mata." Prasetyo melanjutkan langkahnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status