"Bukan aneh, itu nyata," terang Chandra. Kiara pun tersenyum mengejek mendengar jawaban Chandra. Tetapi, mendadak perasaanya semakin tidak karuan karenanya. Entah penyebabnya adalah ucapan Chandra atau bagaimana, Kiara sendiri tidak bisa menyimpulkan dengan pasti. Hingga terasa ada tangan yang mulai melingkar di pinggangnya. Tentu saja itu tangan Chandra hingga membuat Kiara merasa sangat nyaman. Nyaman? Entahlah. Semakin lama semakin sulit untuk menyimpulkan sendiri tentang apa yang sebenarnya dia rasakan saat-saat sedekat ini dengan Chandra.Kiara baru merasakan kehangatan pelukan ini. "Kamu nggak kangen sama, Mas," bisik Chandra. Kiara pun hanya bisa menelan ludah pahit sambil melepaskan diri. Berusaha untuk menjauh agar perasaan aneh itu tidak terus menguasai dirinya. Ini mengerikan dan sulit rasanya untuk mengkondisikan keadaan yang seharusnya baik-baik saja seperti dulunya. "Kiara, masak dulu ya, Mas," kata Kiara. "Nanti saja," Chandra pun langsung saja menahan Kia
"Mas, laper," rengek Kiara. Sejak tadi Kiara tidak makan apapun, ditambah lagi Chandra yang tak mengijinkan dirinya untuk memasak. Akhirnya hanya duduk sambil berdebat dan membuat perutnya semakin lapar. Seharusnya sudah siap memasak jika saja Chandra tak mengijinkannya. "Kiara masak dulu ya," kata Kiara lagi. "Nggak usah, kita pesan saja," Chandra pun menahan Kiara agar tak pergi. "Ya udah, pesan sekarang. Udah lapar banget," kata Kiara lagi. "Iya," Chandra pun segera memesan makanan dari restoran yang menurutnya sangat lezat. Tanpa perlu memasak karena memasak hanya membuang-buang energi dan waktu untuk Kiara yang membutuhkan waktu untuk beristirahat. Agar apa? Agar tenaga tidak terkuras dan semakin kelelahan dan membuat Chandra harus menunggu lagi. Tidak. Hingga saat makanan datang Kiara pun segera memindahkan pada piring dan keduanya makan bersama. "Tidur yuk," ajak Chandra. "Tidur? Baru selesai makan, Mas!" Kiara pun menunjuk sisa makanan yang masih ter
"Mas, mau ke rumah Dimas. Kamu mau ikut?" tanya Chandra yang berdiri tak jauh dari Kiara yang tengah duduk di sofa sambil bermain ponsel. "Ikut," jawab Kiara. "Kamu tidak capek?" "Capek, tapi bosen di rumah terus," jelas Kiara. "Baiklah kalau begitu, ayo kita pergi. Dan, besok orong tua mu kembali," kata Chandra Seketika itu bibir Kiara pun tersenyum mendengar ucapan Chandra yang begitu membahagiakan bagi seorang Kiara. Rasa rindunya terhadap kedua orang tuanya begitu besar. Beberapa hari ini tak bertemu sungguh membuatnya menyimpan kerinduan yang mendalam. Apa lagi ini adalah kali pertama berjauhan, bahkan dengan keadaan ibunya yang tak baik-baik saja. Tidak ada komunikasi sama sekali. Sungguh sangat menyedihkan. Akan tetapi tak lama berselang bibir Kiara yang sebelumnya tersenyum lebar berubah menjadi murung. Perasaan bahagianya berubah menjadi perasaan was-was. Apakah mungkin kedua orang tuanya masih mau bertemu dengan dirinya? Apakah mungkin kebencian itu
"Hay," sapa Dinda saat melihat wajah Kiara. Kiara yang baru saja melangkahkan kakinya di ruang tamu pun membalas senyuman Dinda. "Hay, kamu apa kabar," Kiara pun seketika itu menghambur memeluk Dinda. Ada kerinduan yang tersimpan setelah beberapa hari ini tidak bertemu. "Hay," seru Moza dengan refleks saat melihat Dinda dan Kiara tengah berpelukan.Bahkan hampir saja Moza melompat-lompat kegirangan jika saja tidak Kiara tidak menunjukkan bagian perut buncitnya. "Kamu tambah gembul ya," ujar Kiara. "Hehe," Moza pun tersenyum malu dan akhirnya ketiganya pun berpelukan dengan erat. Sedangkan Dimas dan Chandra segera pergi ke ruang kerja. Sehingga keduanya akan berbicara di sana untuk urusan pekerjaan. Membiarkan ketiga bocah itu tengah bertemu untuk melepas kerinduan.Bercerita tentang banyak hal yang mungkin menurut mereka sangat bermakna tapi tidak bagi orang lain. "Udah ketahuan perempuan atau laki-laki?" tanya Kiara sambil memegang perut buncit Moza. "Kata dokte
"Ahahahhaha." Ketiganya lagi-lagi tertawa lepas karena apa yang mereka pikirkan sendiri dan sepertinya isinya semuanya sama. Isi otak bocah itu telah di cuci miring oleh suami mereka yang dewasa dan benar-benar membuat ketiganya akhirnya menjadi dewasa dengan begitu cepat. "Ya, begitu ya, pengantin baru," celetuk Moza. "Kamu kayak nggak pernah," balas Kiara. "Aku ya, begitulah," balas Moza sambil tersenyum pada akhirnya ketiganya pun tertawa terbahak-bahak lagi. "Ahahahhaha....." Tidak pernah terpikirkan oleh ketiganya akan sampai pada titik ini, titik di mana mereka akan bercerita tentang banyak hal. Hal yang berbau dewasa. Sebelum sarjana. Tapi gelar istri telah diberikan oleh masing-masing pria yang mereka nikahi dengan paksa! "Apa lagi, Dinda," kini Kiara pun tersenyum ke arah Dinda. "Aku kenapa?" tanya Dinda penasaran. "Kamu yang duluan dewasa di antara kami!" ujar Kiara. "Iya bener!" Moza juga membenarkan apa yang dikatakan oleh Kiara. "Aku terpaksa
"Mas, dengar ada yang ketagihan sama malam pertama," kata Chandra. Kiara yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah pun menoleh pada Chandra. Kini keduanya sudah kembali ke rumah dan baru saja sampai malah mendengar pertanyaan konyol. "Kenapa? Mas, bertanya jawab!" kata Chandra sebab Kiara hanya diam saja. "Apanya?" tanya Kiara yang merasa tidak yakin akan apa yang dia dengar barusan. "Katanya ada yang ketagihan sama malam pertama," Chandra pun mengulangi pertanyaannya. Bibir Kiara pun seketika tersenyum miring, "Siapa bilang? Nggak jelas!" gerutu Kiara menepis anggapan Chandra. Chandra pun segera mengikuti langkah kaki Kiara yang kini telah masuk ke dalam kamar. Tampak Kiara tengah mencari pakaian ternyaman yang akan dia gunakan di dalam rumah untuk tidur. "Kamu dan teman-teman mu," kata Chandra. "Apaan sih? Nggak usah aneh-aneh!" omel Kiara. Chandra tersenyum mendengar jawaban Kiara karena telinganya sebelumnya jelas mendengar apa yang tengah dibi
"Ibu mu sudah sampai di rumah, pergilah ke sana," kata Chandra. Kiara pun terkejut mendengarnya. Ibu? Ayah? Keduanya sudah kembali ke rumah? Rasanya ini sangat mengejutkan meskipun sebelumnya juga Chandra mengatakan bahwa orang tuanya akan kembali di hari ini. Tapi saat ini jauh lebih membahagiakan dirinya. Artinya dia bisa bertemu kedua orang yang sangat dia sayangi itu. "Kenapa diam?" Chandra bingung melihat Kiara yang hanya diam tanpa mengatakan ataupun bertanya hal kepadanya. "Kia cuman terkejut aja, tapi syukurlah kalau begitu Kia bisa bertemu mereka lagi," jelas Kiara yang kini tampak begitu bahagia. "Katanya keadaan Ibu mu sudah sangat baik, hanya tinggal pemulihan saja," terang Chandra. "Benarkah?" "Iya, pergilah ke sana, kamu merindukan mereka bukan?" Kiara pun mengangguk pelan dengan raut wajah yang kini jelas sangat berubah dari sebelumnya. "Ada apa?" tanya Chandra lagi yang penasaran akan raut wajah Kiara yang mendadak berubah dalam waktu yang
Kiara pun mulai melangkahkan kakinya menuju pintu rumah sederhana tempatnya di besarkan. Dulu rumah itu hanya rumah kontrakan, kini tidak lagi karena Chandra telah membelinya. Akan tetapi Chandra tak mengijinkan Kiara untuk mengatakan pada kedua orang tuanya. Mungkin karena Chandra tak ingin kedua orang tua Kiara nantinya memilih untuk pergi dari rumah itu. Sebab, tak ingin ada kaitan dengan Chandra. Namun, saat sudah sampai di ambang pintu mendadak Kiara menghentikan langkah kakinya. Tampaknya Kiara semakin merasa resah untuk terus melangkah masuk. Ada perasaan was-was yang semakin menjadi-jadi membayangi nantinya Diana akan mengusirnya seperti dulu lagi. Tapi saat itu tiba-tiba saja Diana pun muncul karena hendak keluar. Membuat Kiara dan Diana pun saling menatap satu sama lainnya. Diana terdiam begitu juga dengan Kiara. "Bu, ayo berjemur," kata Farhan yang muncul di belakang Diana. Tapi mata Farhan pun kini mulai mengarah pada arah yang ditatap oleh Diana. Kiara berdir