“Kalau gitu, aku setuju," ucapnya sembari mengangguk.
Hal ini membuat Arkan terkejut.
"Semudah itu?" tanyanya–memastikan.
"Om tahu kan kalau aku dibuang oleh keluargaku sendiri. Lalu, Om bersedia membiayai kuliahku dan memberikan tempat tinggal. Kurasa itu tak masalah."
Arkan sontak memalingkan wajahnya.
"Uang memang bisa menyelesaikan segalanya," batinnya tak percaya dengan tingkah polos Naura.
Diperhatikannya perempuan itu yang tampak mengetik sesuatu di ponselnya.
Tak lupa, Naura seperti sedang membubuhkan tanda tangan di sana.
"Ini, tolong ditandatangani, sebagai bukti sah kesepakatan kita," ucapnya mendadak.
Arkan mengambil ponsel Naura.
Sesaat ia membaca sebuah kerja sama yang sepertinya tidak ada memberatkannya.
Senyum miring tampak di wajah pria tampan itu. "Oke, aku setuju."
***
Setelah itu, Arkan berniat mengantarkannya.
Namun, Naura menolak. Dia ingin mentraktir Lala malam ini.Jadi, dia meminta Arkan mengantarkan Naura ke pusat perbelanjaan. Untungnya, “kekasih palsunya” itu setuju.
Cukup lama, dia memilih makanan yang disukai, hingga empat kantong belanja dipegangnya!
Hanya saja … begitu, tiba di apartemen Lala, Naura tersentak kala mendengar suara desahan di kamar temannya itu.
“Ah…. Lagi….”
“Te–rus,” desah temannya itu semakin terdengar jelas karena pintunya dibiarkan terluka.
"Astaga, dia benar-benar kelewatan," gerutu Naura kemudian berbalik.
"Naura, kamu udah datang?" ucap Lala menoleh dari balik punggung pria yang ada di atasnya.
Dengan malu, Naura memalingkan wajahnya dari pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat.
"Harusnya kamu menutup pintunya."
Brak!
Dengan cepat, Naura menutup pintu kamar Lala.
Ia mencoba makan dengan tenang, tapi suara desahan begitu nyaring di telinganya.
Membayangkan saja sudah membuat bulu kuduknya meremang seketika.
"Apa aku dan Om juga gitu, ya?” takutnya.
Sungguh, dia merutuki diri yang tidak bisa mengingat hal apapun.
Ceklek!
Suara pintu terbuka menyadarkan Naura dari lamunannya.
Terlihat pria yang menggagahi Lala keluar lebih dulu, berjalan ke pintu keluar.
"Kamu makan apa?" tanya Lala padanya.
Naura menggeser makanannya, membuka kotak makanan yang lain. "Makanlah, pasti capek banget olah raga di sore hari," sindir Naura. "Oh ya, ke mana dia pergi?"
"Pulanglah! Untung, kamu datang. Kalau enggak, pasti dia bablas tiga ronde dengan bayaran yang murah."
Mata Naura membelalak. "Bukannya kalau dibayar itu cuma sekali pakai?"
Lala menyendok makanan ke mulutnya. "Tergantung kesepakatan, sih. Cuma dia ngasih bayaran sedikit.”
“Kamu yakin mau kerja seperti aku?" tanya Lala khawatir.
Naura terdiam. Sebelumnya, dia tak pernah berpikir akan terlibat di pekerjaan ini.
Namun setelah berbagai masalah yang menimpanya, rasanya dia jadi berpikir ulang.
Terlebih, dia sendiri bahkan sudah menandatangani kesepakatan jadi kekasih palsu Arkan.
Bukankah itu sama kotornya?
"Mungkin aku akan melakukan hal yang sama,” ucap Naura asal, “Nyari kerja susah, putus kuliah, kabur dari rumah, sepertinya enggak ada alasan untuk bertahan hidup."
Lala menyendok makanan untuk Naura. "Kamu memang yang paling ngerti posisiku."
Setelah selesai menguyah, Naura pun terdiam.
"Begini La, mungkin besok atau lusa aku mau pindah ke apartemen."
"Kenapa? Apa kamu sudah punya uang?” bingung Lala berpikir, lalu berbicara, “Ah aku baru ingat, apa si tua bangka itu memberikanmu banyak uang?"
Naura berpikir sejenak lalu berkata, "Orang tuaku mengeluarkan aku dari kampus."
"Kamu serius? Mereka sampai ngelakuin itu demi anak sulungnya?"
Naura mengangguk. "Sepertinya, aku benalu di keluargaku sendiri. Tapi, di balik kesedihanku, Tuhan mengirimkan seseorang untuk menolongku."
"Siapa?"
Sudut bibir Naura terangkat ketika ia mengingat kesepakatan konyol mereka berdua. "Arkan akan membiayai kuliahku sampai selesai!"
"Serius? Aku enggak salah dengar, nih? Seorang Arkan akan membiayai kuliahmu?”
“Apa dia juga yang menyuruhmu pindah ke apartemen?" tanya Lala curiga.
Naura mengangguk.
Melihat itu, Lala membelalak. "Astaga…. Kamu punya sugar Daddy!"
"Sugar Daddy? Membayangkan saja sudah membuatku geli," ucap Naura.
"Tenang saja, La. Arkan sepertinya benar-benar ingin membantuku karena dia membaca semua pesan yang dikirim Adelia dan Ibu. Mungkin, dia merasa kasian sama aku."
Mendengar asumsi lugu sang sahabat, Lala sontak memberikan pelukan untuknya.
Hanya saja, suara ponsel Naura yang berdering–menghentikan suasana haru dua perempuan itu.
"Halo?" sapa Naura tanpa melihat nama di layar ponselnya.
"Bisakah kamu keluar. Aku ada di depan apartemen Lala."
"Untuk apa?" bingung Naura kala menyadari Arkan-lah yang menelponnya.
"Orang tuaku ingin bertemu denganmu."
Deg!
"Secepat itu?" panik Naura.
Baru saja mereka resmi jadi pacar palsu, kini orang tua Arkan ingin menemuinya?
"Ya. Aku tunggu sepuluh menit. Tolong segera turun."
Setelah mematikan panggilannya, Naura pun bergegas ke kamarnya untuk mengganti pakaian.
Lala yang penasaran pun mengikuti Naura.
"Apa tadi Arkan yang menelpon? Ke mana kalian akan pergi?" tanyanya.
"Nge-date. Aku harus memanfaatkan sugar Daddy dengan baik," ucap asal Naura.
"Wah, aku iri. Baru terjun udah dapet sugar Daddy."
Naura hanya menggelengkan kepala.
Dia segera memoleskan make up di wajahnya.
Tak lupa, memilih gaun yang sederhana, tapi terlihat elegan saat ia gunakan.
Setelahnya, Naura berjalan seanggun mungkin saat berjalan ke mobil Arkan.
"Maaf menunggu lama," ujar Naura lalu duduk di samping Arkan.
Pria yang sedang memainkan hpnya itu terkejut.
Dia sontak menoleh pada Naura yang tampak berbeda dari beberapa waktu lalu ia temui.
"Cantik," ucap Arkan tanpa sadar.
Dia bahkan sampai tak berkedip sama sekali!Hal ini jelas membuat Naura bersemu merah. 'Apa-apaan ini? Kenapa aku merasa berdebar dengan Om Arkan!'
"Om?" panggil Naura mulai tak nyaman.Hanya saja, pandangan Arkan masih tak lepas dari Naura. Ia kagum melihat Naura yang berpakaian sederhana, tetapi memiliki aura yang begitu mengagumkan. "Om!" ucapnya lebih kencang.Menahan rasa malu, Naura pun bertanya, "Bagaimana sifat Ibu Om?" Arkan sontak sadar. Dia pun berdehem lalu berkata, "Cerewat dan galak. Dia enggak suka wanita yang kampungan dan berkomentar asal. Dia juga gak terlalu suka wanita cantik dengan dandanan menor." Naura mengangguk. Melihat ketenangannya, Arkan kini yang bingung. "Sepertinya kamu terlihat begitu tenang?" "Hm ... Sifatnya seperti ibuku, aku bisa menanganinya. Aku yakin Ibu Om akan suka sama aku karena aku enggak cantik." Arkan tersenyum. Dia tak menyangka jika wanita yang ada di sampingnya itu terlalu polos. Untungnya tak lama, mobil mereka pun sampai di halaman rumah megah yang baru Naura lihat seumur hidupnya. "Di dalam kamu enggak perlu bicara, cukup aku saja," peringat Arkan begitu keluar dari mo
"Iya, aku sangat puas. Lagipula, aku sudah bilang jangan menjodohkan aku dengan wanita-wanita manja seperti itu." Arkan berkata dengan santai. Dia tak bermaksud kurang ajar pada sang ibu. Hanya saja, Sinta memang sulit menerima keputusannya dan selalu mau ikut campur. Bahkan, Arkan dapat melihat sang ibu kini mencebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Naura. “Malam, Tante,” ucap Naura memberinya salam. Melihat kepolosan Naura, wanita itu segera memalingkan wajahnya. "Menyebalkan!" gerutunya pelan, lalu pergi. Tentunya, itu masih bisa didengar oleh Naura. Namun, gadis itu tak ambil pusing. Toh, ia memang ia tak perlu mendekatkan diri dengan Sinta karena ia hanya di kontrak menjadi kekasih palsu Arkan. "Argh ... kenapa dia tak berbicara soal uang," desis Naura.*** "Maaf atas sifat Ibuku," ujar pria itu kala keduanya sudah di mobil. Naura sontak menoleh dan tersenyum. "Enggak masalah, aku terbiasa diabaikan dan dianggap enggak ada." “Ini mah kecil,” ucapnya lagi. Arkan menga
Pagi-pagi sekali, Naura terkejut sekaligus merasakan berat di perutnya. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sebuah tangan yang melingkar tepat di atas perutnya! Bola matanya mengikuti arah tangan dan tepat disamping bahunya ia melihat wajah pria yang ia kenal. "Argh ...!" Naura refleks menjerit sekaligus mendorong tubuh Arkan dari atas ranjang. Terdengar suara debuman. "Apa yang kamu lakukan!" teriak Arkan berdiri di tepi ranjang. "Ke-kenapa Om ada di sini?" tanya Naura gugup. "Ini kamarku, kenapa kamu ada di sini?" Arkan malah balik bertanya. Seketika Naura menutup matanya ketika melihat Arkan hanya menggunakan bokser. "Argh ... mataku ternodai." Arkan mengerutkan dahinya mendengar ucapan Naura. "Om ditutup dulu, nanti kalau ada yang lihat dikira lagi ngapain." Arkan menunduk. Dia memang terbiasa mengenakan bokser jika tidur dan itu hal biasa bagi Arkan. "Ini apartemen, enggak ada orang yang bisa masuk sembarangan kecuali kamu. Cepat mandi buatkan aku sarapan!" Tanp
Kini Arkan memarkirkan mobilnya di parkiran kampus.Namun, Naura masih diam di kursinya tanpa membuka sabuk pengaman seperti yang Arkan lakukan."Kenapa kamu diam saja. Ayo, keluar!""Tunggu!" Naura memegang tangan Arkan yang hendak keluar dari mobilnya. "Aku takut, kalau aku keluar sama Om nanti mahasiswa yang lain menggosipkan aku yang enggak-enggak," sambungnya.Arkan menghela napasnya. "Kamu tinggal bilang kalau aku pacar kamu."Dengan kasar Naura memukul lengan Arkan begitu kencang. "Pacar, nanti mereka pikir sugar baby-nya Om.""Ya sudah, kamu tinggal bilang aku ini Om-mu." Naura mengangkat tangannya seperti ingin memukul Arkan, namun segera di tahan oleh Arkan. "Maksudku kamu tinggal bilang aku Om dari Ibu atau Ayahmu, gampang kan," sambungnya.Naura mengangguk, ia baru kepikiran dengan alasan yang logis baik di mata guru serta teman di kampusnya.Ia pun keluar dari mobil bersama Arkan. Hampir semua siswa yang kenal dengan Naura terus menatap ke arahnya.Namun, bukan Naura
Sementara itu, aroma masakan Naura mulai menyeruak ke seisi ruangan.Perempuan cantik itu segera mengambil sendok lalu mencicipi masakannya sendiri.Meski rasanya agak aneh di lidah Naura, tetapi dia tetap tenang.Dicobanya untuk menambahkan lagi sedikit garam dan bumbu penyedap."Gimana rasanya atau memang seperti ini rasanya?" tanya Naura pada dirinya sendiri.Ia mematikan kompor lalu melihat kembali video memasak."Sudah sesuai resepnya harusnya si enak," gumamnya.Tak lama Naura mendengar seseorang membuka pintu apartemen. Ia yakin jika Arkan pulang dari kantornya. Naura pun bergegas menuangkan masakannya ke dalam piring lalu menyajikannya ke atas meja. "Om sudah pulang, mau makan dulu?"Arkan menoleh ke arah masakan yang sudah tersedia di meja."Aku mau mandi. Saat aku selesai mandi, dapur sudah harus bersih enggak berantakan seperti itu, mengerti!" "Iya."Brak!Naura terperanjat sembari mengusap dada. "Argh, dia begitu menyebalkan. Enggak bisa apa nutup pintu pelan-pelan!"N
Suara alarm sama sekali tak membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur.Padahal ia menyalakan alarm perlima menit sekali ketika sudah jam enam pagi. Hingga akhirnya suara Arkan lah yang menjadi alarm baginya."Hei, bangun. Ini udah siang Naura ...!"Seketika Naura terbangun dan mendapati Arkan berdiri di depan wajahnya dengan membawa air yang siap di lempar ke wajahnya."Ap-apa yang sedang Om lakukan?"Arkan berdecak, ia menurunkan lagi tangannya melihat Naura bangun. Padahal dia sudah bersiap menyiramkan air ke wajahnya jika tak kunjung bangun."Cepat bangun, buatkan sarapan!" Setelah mengatakan itu Arkan menarik tangan Naura lalu memberikan air yang sebelumnya ia bawa. "Cuci wajahmu!"Naura yang nyawanya belum semua terkumpul hanya memegangi bak kecil pemberian Arkan. Perlahan Naura beranjak dari ranjang lalu pergi ke kamar mandi yang berada di seberang lemari pakaiannya. Selesai mencuci wajahnya, Naura bergegas ke dapur saat ia mencium aroma masakan yang begitu nikmat menurutny
Naura merasakan kebas ditangannya setelah menampar wajah Adelia hingga ia mengaduh kesakitan. "Tutup mulutmu. Kamu enggak berhak menghakimi hidup orang lain apa lagi kamu enggak pernah berada di posisi dia." Adelia mengusap pipinya yang terasa sakit lalu menatap Naura dengan tajam. "Beraninya kamu menamparku!" "Jelas aku berani karena aku enggak salah. Lagi pula untuk apa kamu datang ke sini, hah. Ingin mencari tahu kenapa aku bisa kembali kuliah di sini?" "Kuliah, jadi benar Naura kembali kuliah," batin Adelia. "Yang benar saja. Aku ke sini hanya ingin mengatakan kepadamu jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di rumah setelah aku pergi ke Amerika."Naura berdecak lalu berkata, "Kamu enggak usah khawatir. Aku enggak akan pernah menginjakkan kakiku lagi di sana. Baik ada kamu atau pun enggak ada." "Baguslah, ini lihat." Adelia memberikan kertas dan langsung di ambil oleh Naura. Betapa terkejutnya Naura melihat kartu keluarga yang sudah tidak ada namanya lagi. "Coba lihat, Pap
Naura begitu terkejut melihat Arkan yang memberinya tatapan sinis."A-aku bary pulang dari kampus," kilah Naura.Jelas Arkan tidak percaya begitu saja. Apa lagi dia tahu jadwal pulang Naura dari kampus."Bukannya kamu pulang jam dua, kenapa sampai ke apartemen jam lima sore?""Itu ... karena aku ada kerja kelompok dirumah teman.""Teman yang mana?"Naura melipat bibirnya, bukankan ini keterlaluan. Mengapa dia harus tau apa yang Naura lakukan."Ak—""Cukup, buatin aku makanan karena aku sudah lapar."Naura melempar tasnya ke atas ranjang lalu keluar dari kamar mengikuti Arkan. "Kamu mau masak apa?" tanya Arkan bersandar di lemari pendingin.Naura berpikir sejenak, ia mencari menu dengan bahan yang tidak terlalu banyak serta mudah baginya."Nasi goreng."Arkan terperangah, ia tak percaya Naura akan memasak nasi goreng untuk makan malam mereka."Enggak, aku enggak mau nasi goreng. Aku mau ayam lada hitam dan capcay."Naura sadar betul jika pria yang ada di dekatnya itu sedang mengujinya