Share

Bab 4 : Visum

BRAK

Satu suara disusul dengan bunyi keras membuat Ayuda yang baru saja memejamkan mata terbangun. Ia mendengar suara ribut lantas bangkit dari atas kasur. Ayuda mendekat, tapi tanpa sengaja kakinya menginjak sisa pecahan vas bunga, dia pun meringis dan kakinya nampak mengeluarkan darah.

“Brengsek! berani-beraninya kalian menyekap putriku!”

Mendengar suara itu, wajah kuyu Ayuda berubah. Ada binar harapan di matanya mendengar suara garang pria yang sangat memanjakannya. Dengan sisa tenaga, Ayuda menggedor pintu sambil berteriak.

“Papa, apa itu Papa? Papa tolong!”

Tak lama setelah dia berteriak, suara ribut-ribut itu terdengar semakin dekat, hingga Ayuda mundur ke belakang karena melihat bayangan beberapa orang dari celah bawah pintu.  Air mata gadis itu berlinang membasahi pipi, tapi seketika dia hapus karena tidak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Ya, begitulah Ayuda, tidak ingin menunjukkan sisi rapuhnya sebagai seorang wanita.

“Ayuda!” teriak Affandi setelah pintu didobrak paksa oleh para pengawal yang dia bawa. Pria itu terkejut melihat putrinya sangat berantakan hingga meminta Hari melepas jas untuk dikenakan pada Ayuda.

Bukannya langsung memeluk atau menceritakan apa yang terjadi ke sang papa, Ayuda malah mendekat ke pria yang kemarin melempar clutch mahalnya saat dia diculik. Pria yang nampak kepayahan karena terkena pukulan dari orang-orang Affandi itu, menatap iba Ayuda yang berjalan ke arahnya.

“Di mana kamu menyimpan tas tanganku? dasar bedebah sialan!” amuk Ayuda. Ia melayangkan tamparan ke pipi pria itu.

Beberapa menit kemudian, Ayuda nampak berjalan memegang Clutch di tangan menuju mobil yang sudah disiapkan Aldi. Tingkahnya membuat Affandi geleng-geleng kepala, dia bahkan bisa melihat dengan jelas bahwa Ayuda sedang menahan rasa sakit, gadis itu berjalan terpincang-pincang akibat menginjak serpihan vas tadi.

Selama perjalanan pergi dari sana, Ayuda memilih untuk diam menatap keluar jendela, sedangkan Affandi yang duduk di sebelahnya sama sekali tidak mengeluarkan suara, hingga Hari memberanikan diri bertanya-

“Nona, apa Anda mau pergi ke rumah sakit?”

Ayuda diam seribu bahasa, hingga beberapa menit kemudian dia menoleh menatap Hari yang duduk di depan Affandi. “Aku mau visum,” ucapnya dengan sorot mata tajam.

“Visum?” Affandi terkejut, dia pindai wajah putrinya lalu beralih ke kaki. “Mungkinkah karena luka itu Ayuda ingin melakukan visum,” begitu pikirnya.

Namun, setelah sampai rumah sakit Ayuda malah terlibat pertengkaran dengan petugas di bagian pendaftaran karena keinginannya melakukan visum ditolak mentah-mentah.

“Mohon Maaf, Anda harus menujukkan surat dari kepolisian, karena jika tidak menyertakan maka permintaan Anda tidak akan diproses oleh dokter. Dokter tidak bisa membuat laporan visum jika tidak memiliki surat dari pihak kepolisian untuk dilakukan visum,” ucap perawat itu menjelaskan.

Sementara putrinya sedang sibuk berdebat, Affandi buru-buru menghubungi Rosi, seorang wanita kenalannya yang berprofesi sebagai dokter. Ia bingung karena Ayuda meminta visum dan marah-marah saat dijelaskan.

Rosi pun menjawab dengan tenang, hingga meminta Affandi memberikan ponsel itu kepada putrinya agar dia bisa berbicara. Awalnya Ayuda menolak, sampai Affandi sedikit memaksa.

“Ayuda, hei … ini Rosi. Aku teman papamu. Maaf ya, apa ada masalah? kenapa kamu bersikeras meminta visum?”

Suara Rosi terdengar sangat lembut dan keibuaan, membuat amarah Ayuda tiba-tiba saja sedikit teredam. Gadis itu menarik napas lalu mengembuskannya kasar. Ia memang terbawa emosi sampai bertindak bodoh meminta visum tanpa lapor polisi, dia memang tidak tahu menahu soal prosedur yang benar. Dari pada semakin malu Ayuda pun meminta bertemu dengan Rosi dan bergegas pergi dari rumah sakit itu.

_

_

“Diperkosa?”

Suara Affandi menggelegar, pria itu bahkan tidak bisa menyembunyikan luapan emosi saat dia, Ayuda juga Rosi bertemu di rumah sakit tempat Rosi bekerja.

“Katakan siapa yang melakukan itu padamu?” bentak Affandi yang terlanjur naik pitam hingga tak sadar bahwa putrinya adalah korban.

“Aku tidak tahu, orang-orangnya menyeretku ke dalam mobil dan membawaku ke villa itu,” jawab Ayuda dengan tatapan tertuju pada meja kerja Rosi. “Tapi, aku tahu siapa namanya, pria itu bernama Jiwa,” imbuh Ayuda.

Affandi bersungut-sungut, dia keluar dari ruangan Rosi lalu berteriak memanggil Hari dan Aldi. Dua pria bawahannya itu pun mendekat. Melihat kemarahan di wajah pria itu, mereka pun yakin sesuatu yang buruk pasti terjadi.

“Cari tahu siapa pemilik villa tempat Ayuda disekap, berikan informasinya padaku secepatnya, aku tidak bisa menunggu sampai besok,” amuk Affandi.

Sementara itu, Ayuda masih terdiam di depan Rosi. Ia benar-benar berniat menghacurkan pria bernama Jiwa itu karena sudah merenggut paksa kehormatannya.

“Apa kamu kenal siapa pria itu?” tanya Rosi, di saat yang bersamaan Affandi kembali masuk ke dalam ruangannya.

“Aku hanya dengar dia bernama Jiwa, dan anehnya dia memanggilku dengan nama Arra,” ucap Ayuda dengan pandangan mata masih tertuju pada meja.

Affandi yang mendengar ucapan putrinya pun menelan saliva, dia mendekat ke arah kursi Ayuda, dan gadis itu menoleh dengan sorot mata tajam seolah ingin memakinya.

“Papa, apa mungkin dugaanku benar. Apa mungkin aku memiliki saudara kembar di sini?”

Pertanyaan Ayuda membuat Affandi tergagap, pria keras dan tegas itu bahkan tidak bisa langsung menjawab pertanyaan sang putri. Melihat gelagat mencurigakan dari papanya, Ayuda malah semakin terpacu untuk mencecar Affandi.

“Aku ingat pernah menemukan dua gelang yang sama saat sekolah dasar, dan saat itu Papa bilang semuanya adalah milikku, Papa juga tidak pernah mengizinkan aku tahu siapa ibu kandungku, dan selalu mengatakan bahwa dia sudah hidup bahagia, ibu melupakan kita,” kata Ayuda mengungkapkan apa yang ada di pikirannya. “Tapi sekarang aku berpikir, mungkin Papa merampasku darinya.”

“Ayuda, sebenarnya itu …. “ Affandi bingung, sedangkan sorot mata Ayuda semakin tajam menatap.

“Katakan padaku Pa! tidak mungkin ‘kan mereka salah orang lalu menculikku? Apa lagi pria bernamaa Jiwa itu berkata kalau dia sudah membeliku, tandanya dia sudah pernah bertemu dengan gadis yang dipanggil dengan nama Arra itu. Bagaimana dia bisa salah mengenali?”

“Ayuda, Papa bingung dengan situasi ini, tapi jika harus jujur .... " Affandi menjeda kata, matanya sejenak terpejam lalu terbuka kembali. "Kamu memang memiliki saudara kembar."

Comments (8)
goodnovel comment avatar
Devi Pramita
kok kejam kali papa nya sampai ngebiarin anak nya jual diri kalau emang ayuda punya kembaran
goodnovel comment avatar
Sari 💚
astaga, salah orang toh. pantas aja tadi wangi bilangnya Arra itu gadis desa, hadeh
goodnovel comment avatar
Alyatus Sani
Pantes Salah sasaran...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status