"Pergi!" Teriak Megan histeris.
"Megan, kamu kenapa, Sayang?" Tanya Maria panik.Dia ketakutan melihat perubahan sikap Megan. Tubuh wanita muda itu bergetar ketakutan. Dia menarik kasar rambutnya lalu menutupi wajah dan telinganya."Ada apa, Ma?"Riley setengah berlari menghampiri Mamanya setelah mendengar teriakan dari dalam kamar. Allen menyusul di belakangnya."Rey, lakukan sesuatu. Megan melukai dirinya sendiri," ujar Maria."Allen, bawa Mama keluar." Perintah Riley cepat."Ayo Tante, kita tunggu disini dulu ya. Biar Riley yang menanganinya," ajak Allen, segera membawa kursi roda Maria keluar ruangan."Megan," panggil Riley, mencoba mengambil alih kesadaran Megan."Aku mau pulang, aku mau pergi dari sini," rengek Megan. Ia meraih lengan Riley, mencari pegangan disana."Aku mau pulang, lepaskan aku.""Tidak," balas Riley tegas. "Kamu tidak akan pergi kemanapun."Megan mengangkat wajahnya, menatap pemilik suara bernada berat dan dingin itu."Kenapa? Aku berjanji, aku tidak akan menuntut apapun pada kalian.""Aku cuma ingin keluar dari tempat ini," pintanya memelas."Tidak, Megan. Ini rumahmu, kemana kamu akan pergi?"Megan melepas tangannya lalu menatap pria itu nanar."Ini bukan rumahku," bantahnya sengit."Kamu istriku, secara otomatis ini menjadi rumahmu," jelas Riley.Megan menggeleng cepat. "Tidak! Aku tidak mengenalmu," sentaknya marah.Riley mencengkram rahang Megan kuat."A-apa yang mau kamu lakukan?" Sentak Megan waspada. Ia takut melihat ekspresi gelap di wajah Riley.Riley mengetatkan cengkramannya. "Melakukan apapun yang seharusnya dilakukan seorang suami," balasnya sengit.Dia menarik tengkuk Megan dengan tangan lainnya, mengikis jarak diantara mereka. Mendaratkan kecupan di bibir yang bergetar.Tidak ada yang menutup mata, keduanya saling berperang dengan ego masing-masing. Riley memperdalam ciumannya. Membuat bibir lainnya mengeram, menahan amarah."Sialan!" Umpat Megan, melepas tautan diantara mereka. Ia berusaha keras mendorong tubuh pria yang masih memegangi tangannya dengan erat."Hmm, cobalah untuk mengubah kebiasaan mu. Aku tidak suka mendengar umpatan, apalagi dari bibir istriku."Riley menyapu permukaan bibir yang merah dan bengkak akibat perbuatannya. "Gunakan bibir ini untuk sesuatu yang lebih berguna," godanya sambil tersenyum."Apa? Kamu gila!"Megan mengangkat kepalan tangannya ke udara dan mendaratkannya ke tubuh kekar yang tak bergeming meski Megan telah mengerahkan seluruh kekuatannya."Berhenti melakukan hal bodoh, kamu hanya menyakiti dirimu sendiri," cela Riley."Brengsek!"Riley menangkap kedua tangan Megan, menahannya agar tak bergerak. "Megan, secara negara kamu adalah istriku. Jadi mulai sekarang, bersikaplah selayaknya seorang istri.""Berhentilah menyebut kata istri, aku muak mendengarnya," sergah Megan marah. Ia menatap Riley tajam, menantangnya.Riley tersenyum. "Sepertinya aku lebih suka versi kucing liar daripada wanita gila," sindirnya.Megan menarik lepas tangannya. Dia merasa alarm tanda bahaya berdering nyaring begitu melihat perubahan ekspresi di wajah Riley."Aku mau pulang," cicit Megan takut."Aku sudah bilang, ini rumahmu." Riley menghapus jejak airmata di pipi Megan lalu mengusapnya lembut. "Sudah cukup, jangan berdebat lagi.""Tapi-""Tidurlah," potong Riley sebelum Megan sempat melanjutkan protesnya. "Besok pagi kita harus ke rumah sakit. Kamu ada jadwal terapi.""Kamu mau ngapain?" Tanya Megan cepat begitu melihat pria itu membuka kancing kemejanya satu per satu."Tidur," goda Riley. Ia menarik senyum miring untuk menambah kesan serius akan ucapannya. "Aku akan tidur disini, bersama istriku ""Jangan gila! Keluar!"Megan menarik bantal, merapatkan ke tubuhnya."Kenapa kamu harus shock seperti itu? Selama seminggu kamu koma, aku selalu tidur disini, bersamamu."'Apa?!'"I-itu sebelum aku sadar. Mulai sekarang menjauh dari ku."Riley terkekeh pelan. "Tenang Meg, aku tidak akan menyentuhmu.""Aku tidur disini, jaga-jaga kalau kamu butuh sesuatu." Dia berusaha keras menahan tawa di ujung bibirnya."Awas aja kalau kamu mendekat dan menyentuhku lagi," ancam Megan. Matanya membulat, memastikan Riley tahu bahwa ancamannya serius.Riley mengeluarkan bantal dan selimut dari dalam lemari, membaringkan tubuhnya di sofa. Matanya tak lepas dari sosok yang menggeliat resah di dalam selimut. Megan menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuh.'Sial! Dia terlalu imut,' desah Riley gemas dalam hati.***"Nesa, berhentilah menangis. Kamu membuat ruangan ini banjir tisu," keluh Stephanie. Ia bergidik jijik melihat tumpukan tisu bekas pakai yang menggunung di atas sofa."Aku bingung, tidak tahu harus kemana lagi mencari Megan. Aku sudah mencari ke seluruh tempat yang pernah didatanginya, bahkan aku ke kantor polisi dan rumah sakit.""Mengapa kamu harus mencarinya?"Nesa melotot kesal. "Tentu saja aku harus mencarinya, Megan penulis utama di agensi ini."Stephanie memutar bola matanya jengah. "Kamu 'kan tahu, bos kita memang suka menghilang tiba-tiba. Bisa saja sekarang Megan sedang bersenang-senang di suatu tempat.""Benar 'kan, bos?" Seru Stephanie. Meminta dukungan Zian yang sedari tadi sibuk di balik layar laptopnya.Zian melirik sekilas lalu mengabaikan keduanya, kembali berkutat dengan pekerjaan."Tidak ada yang normal di kantor ini," gerutu Stephanie."Stephi, berikan aku file data investor untuk film bulan ini." Perintah Zian."Sebentar, aku akan mengirimkannya untukmu melalui email."Stephanie bangkit dari posisinya untuk membuka laptop dan mengirimkan file yang diminta oleh Zian."Yang paling atas adalah investor terbesar. Kemarin mereka mengirim email pemberitahuan, meminta kita melaporkan perkembangan di lokasi syuting."Zian memijat tekuknya yang tegang. Setelah Megan tiba-tiba menghilang, masalah datang secara bertubi-tubi. Mulai dari Derek—sang sutradara yang bertingkah, bajingan itu merengek seperti bayi, meminta produser menganti Megan dengan alasan tidak profesional. Dan sekarang, rumah produksi ini harus menghadapi gugatan dari beberapa investor yang merasa dirugikan atas keterlambatan proses produksi.'Sialan Megan! Kemana kamu?' umpat Zian dalam hati.*****Megan White duduk di sudut ruangan cafe Au lait, di temani laptop dan ponselnya. Ia mengenakan kaus putih berleher panjang yang dilapisi bomber biru gelap, menambah volume di tubuh kurusnya. Meg—begitu biasanya dia disapa, memilih wash jeans warna senada sebagai bawahan dan menambahkan topi putih dengan lambang NY, menekuk dalam, menutupi hampir separuh wajahnya. "Kamu ingin mereka di ganti?" Baron—sang barista datang untuk menyapa customer VIP. Megan mengernyit bingung.Baron menunjuk piring dan cangkir di atas meja. Dia yakin dua hidangan itu tidak tersentuh sejak diantarkan pramusaji dua jam yang lalu. "Oh," Megan tersenyum tipis begitu menyadari maksud Baron. "It's ok, Baron. Kamu tahu 'kan? Aku tidak suka sesuatu yang panas."Baron mengangguk paham. "Kamu ingin sesuatu yang spesial untuk lunch?"Megan berpikir sejenak. "Kurasa aku merindukan lasagna buatanmu." Matanya melebar begitu membayangkan tiap lapisan pasta ditutupi saus bechamel dengan potongan daging dan sayur.Baron t
"Ngapain kemari pagi-pagi buta?"Riley mengencangkan tali bathrobe yang dikenakannya. "Ada masalah?" Tanyanya penasaran begitu melihat kerutan di kening Allen."Sorry, Bro." Allen meletakkan amplop coklat di atas meja, mengetuk dua kali, memberi tanda agar Riley segera melihatnya. "Ini darurat."Riley mengernyitkan keningnya, meraih amplop dan membukanya. Matanya meneliti setiap kata dalam lembaran kertas yang berisi informasi pribadi Megan."Sepertinya dari awal kalian berdua berjodoh," goda Allen sambil menyesap kopinya dari bibir cangkir."Megan, penulis naskah dalam film yang kita garap bulan ini?"Jadi ini alasannya? Pantas saja, Riley tidak merasa asing, seolah pernah melihat wajah Megan di suatu tempat meski tidak dapat mengingatnya secara spesifik."Ya. Dan satu hal lagi, kita baru saja mengajukan gugatan kepada rumah produksi atas tuduhan kelalaian kerja," tambah Allen.Riley tertawa miris. "Segera cabut gugatannya. Kita bisa terkena masalah baru kalau sampai Megan tahu apa y
"Wah, akhirnya tuan putri turun juga," goda Allen begitu melihat Riley muncul di ujung tangga bersama Megan dalam gendongannya. "Kalian terlalu lama. Aku dan Tante hampir mati kelaparan," keluhnya.Wajah keduanya sama-sama merah merona, membuat Allen curiga dan semakin semangat untuk menggoda.Riley mendesis kesal, membulatkan matanya, melarang Allen menganggu wanita dalam dekapannya."Jangan pedulikan dia," bisik Riley. "Turunkan aku," balas Megan. Desahan hangat suara Riley yang sangat dekat, nyaris membuat jantung Megan melompat keluar.Riley mendudukkan Megan di kursi lalu beralih duduk disampingnya."Pagi, Megan," sapa Maria. Megan mengangguk pelan, dia masih malu mengingat reaksinya yang berlebihan pada wanita bermata teduh itu."Pa-pagi Tante.""Mama," ralat Riley.Megan menoleh untuk protes tapi tertahan oleh tangan Maria yang menepuk lembut lengannya."Mama senang kama sudah ceria lagi," ucap Maria tulus. "Kamu mau makan apa, Sayang?""Roti saja," sahut Riley mewakilkan Me
"Megan, kamu mau makan apa, Sayang?"Maria duduk disamping menantunya, mengelus rambut sebahu milik Megan dengan penuh kasih sayang. Semenjak melihat wanita muda itu, Maria memanjatkan rasa bersyukur dalam hati, akhirnya dia bisa memiliki seorang putri yang diimpikannya selama ini."Apa makanan kesukaanmu?"Megan takut-takut menatap Maria. "Apa saja Tante.""Kenapa kamu jadi canggung seperti ini?""Hmm, aku malu karena bersikap kasar pada Tante beberapa hari yang lalu," ucap Megan. Wajahnya menunduk dalam, menyesali perbuatannya."Kamu nggak perlu malu, Sayang." Tangan Maria beralih ke pipi putih. "Sudah sepatutnya kamu marah pada Mama, tapi Mama mohon, jangan menyerah.""Mama dan Riley akan selalu ada disamping mu," lanjut Maria. Mengengam erat kedua tangan Megan.Megan menatap wajah keibuan itu. Hatinya menghangat, pikirannya mengurai satu pertanyaan konyol. 'Apakah Ibuku juga seperti ini? Hangat dan nyaman.'Riley turun dari lantai atas rumahnya, matanya disambut oleh pemandangan ya
Riley memperhatikan Megan yang duduk di tepi ranjang, wanita itu tampak larut dalam lamunannya. Riley menghampirinya lalu menempelkan jari telunjuk, mengurut lepas kerutan di kening Megan. "Tidurlah. Apa yang kamu pikirkan?" Megan mengangguk patuh lalu masuk ke balik selimut, matanya tak lepas memperhatikan setiap gerakan pria yang berstatus sebagai suaminya."Hei, sampai kapan ini akan berlangsung?" Ia melemparkan pertanyaan tanpa sadar."Hei?" Ulang Riley, menaikkan alisnya cukup tinggi. Pertanda dia terganggu dengan cara Megan memanggilnya."Berhenti menggunakan kata hei atau kamu, untuk memanggil ku," ujar Riley mengingatkan."Jadi? Aku harus memanggilmu apa?"Riley diam sesaat untuk berpikir. "Suamiku?" Godanya. Dia bisa melihat jelas ekspresi keberatan di wajah Megan.Megan bergidik jijik. 'Yuck!'"Rey, kamu bisa memanggilku dengan nama itu. Seperti yang dilakukan Mama dan Allen.""Rey," gumam Megan mengeja."Dan, apa maksudmu dengan sampai kapan?""Yah, sampai kapan kamu mau m
"Rey, lokasi syuting yang mau kita kunjungi itu adalah projek film dimana Megan sebagai scriptwriter nya," ujar Allen. Ia menyerahkan berkas yang harus ditanda tangani.Tangan Riley yang tengah sibuk mengayunkan bolpoin tiba-tiba mengantung di udara. Dia segera berpaling pada Allen."Kamu yakin?" Burunya.Allen mengangguk tegas. "Produser dan sutradara menghubungi ku seminggu yang lalu, mereka minta diadakan pertemuan dengan para investor untuk membahas kelanjutan proses produksi.""Apa yang harus kita lakukan? Kemungkinan besar, Megan akan diganti agar proses produksi bisa tetap berjalan," lanjut Allen tak ingin memberi jeda."Apa kita bisa menunda lebih lama?""Aku tidak yakin, kamu tahu tabiat Derek. Pria itu terus mengeluh."Allen kembali kesal setiap kali mengingat rentetan keluhan beserta rengekan sutradara itu."Hmm, kalau begitu kita harus mengambil alih seluruh investasi."Kening Allen mengernyit takut. "Maksud kamu jadi investor tunggal?" Ia berseru tak percaya."Ya. Akan leb
'Riley Charles?'Tiga puluh menit telah berlalu sejak ia menerima telepon dari Megan. Dan kini, Baron terus mengulang nama yang sama dalam benaknya. Ia membuka kunci layar ponselnya, mengetik sebuah nama di kolom pencarian. Tak lama, ia mendapati laman yang menuliskan biodata orang yang dicarinya.'CEO RC Production?'"Hei, Baron."Zian dan Nesa muncul dari balik pintu masuk cafe. Zian segera duduk dihadapan pemilik cafe sedangkan Nesa mengikuti langkahnya dengan wajah tertunduk menatap lantai."Kata Nesa, kamu tahu apa yang terjadi pada Megan? Dimana dia?"Baron menatap kedua tamunya dengan tatapan linglung. Ia masih sibuk merangkai berbagai informasi acak yang tiba-tiba diterimanya."Kalian mau minum apa?" Baron melambaikan tangannya memanggil barista."Dua Americano," putus Zian tanpa bertanya pada Nesa.Baron melirik Nesa, meminta persetujuannya. Wanita itu hanya mengangguk malu-malu yang membuat Zian hampir tersedak, menahan tawa.Nesa melotot kesal, memperingatkan Zian agar menut
"Megan," desah Riley."Hmm?" Megan membulatkan matanya. Ia bisa melihat dengan jelas hasrat yang coba di tahan oleh pria disampingnya."Mau lagi?"Megan mengangguk ragu. Ia tidak yakin, hatinya mampu bertahan dengan godaan semanis itu. "Ya," desahnya tanpa sadar.Riley mematahkan blok kedua, mengigitnya lalu mendekatkan bibirnya untuk menjangkau bibir lainnya. Rasa manis menjadi candu begitu kedua bibir bertemu. Diawali dengan kecupan ringan dan perlahan berubah menjadi lumatan yang menuntut Megan untuk lebih membuka diri. Seolah mengajaknya untuk saling bertaut."Meg," desah Riley diantara ciumannya yang memanas.Megan tahu, itu sinyal agar Megan merenggangkan bibirnya untuk memberi celah bagi Riley untuk masuk dan menyapa sekaligus mengeksplorasi."Meg." Riley mulai kehilangan kontrol diri. Ia merengkuh pinggang wanitanya. Mengangkatnya ke atas pangkuan. Mengikis jarak diantara keduanya. Kedua tangan Riley mengapai tekuk Megan, mencegahnya untuk lari.Keduanya saling mengikat hing