Share

Bab 7

"Sudah, ambil saja. Toh suatu saat nanti kau akan membayarnya. Meski pun, aku tidak yakin Prince akan ingat tentang uang ini. Black card-nya ada 3," ujar Jordan sambil sedikit berbisik di akhir kalimat.

Niana membulatkan matanya menatap tak percaya pada Jordan. Pantas saja Prince tidak suka mendengar nominal uang di bawah 10 juta.

"Bisakah aku meminta alamat rumah atau nomor handphone Prince? Nanti jika uangnya sudah terkumpul lagi, aku ingin menghubunginya untuk membayar hutang ini," ucap Niana membuat Jordan sedikit berpikir.

Awalnya, Jordan ingin memberikan nomor ponselnya pada Niana, karena privasi Prince cukup ketat. Tidak ada yang berani menyebarkan alamat rumah atau pun nomor ponsel milik pria itu ke sembarang orang.

Namun, Jordan kembali berpikir, ia tidak ingin adanya salah paham dengan Lyly karena berani menyimpan nomor gadis asing lain. Dan akhirnya, Jordan menemukan keputusan yang tepat.

"Sayang, tolong berikan nomor ponselmu pada Niana. Nanti, Niana biar menghubungimu saja jika ingin menepati janjinya," ujar Jordan pada sang kekasih.

Seolah mengerti apa yang dipikirkan oleh Jordan, Lyly segera menulis nomor ponselnya di secarik kertas lantas memberikannya pada Niana.

"Maaf ya, aku sangat pencumburu, jadi aku tidak mengizinkan Jordan memberikan nomor ponselnya padamu. Dan Prince, privasinya sangat ketat. Jadi, kamu bisa menghubungiku saja," jelas Lyly membuat Niana tersenyum paham.

"Oh ya, sekarang aku sudah menjadi temanmu, Niana! Jadi, jangan sungkan-sungkan untuk meminta bantuan kepadaku jika kamu membutuhkan sesuatu," ucap Lyly seraya tersenyum manis. Lyly si gadis cerewet baik hati, bertemu Niana si gadis lembut yang sangat baik, adalah kombinasi yang pas untuk membangun sebuah pertemanan.

Niana mengangguk, kini ia bergegas keluar dari ruangan ini bersama Jordan dan Lyly.

Sebelumnya Jordan mau pun Lyly sudah menawarkan diri untuk mengantarkan Niana ke tempat tinggalnya. Namun, Niana memilih untuk pergi menggunakan taksi saja. Toh, dirinya juga belum memiliki tempat tinggal sekarang.

"Bye bye Niana!!!" seru Lyly ketika taksi yang dinaiki oleh Niana perlahan bergerak.

Niana tersenyum senang di dalam taksi itu, dirinya tidak menyangka akan bertemu dengan orang sebaik mereka.

***

Setelah cukup lama mencari tempat tinggal yang sesuai, akhirnya Niana berhasil menemukan apartemen yang sesuai dengan kebutuhannya saat ini.

Apartemen ini jauh dari kata mewah, namun masih cukup layak untuk ditempati. Biaya sewanya pun cukup rendah jika dibandingkan dengan apartemen lainnya di kota ini.

Deskripsi apartemen tempat tinggal baru Niana cukup singkat. Di mana, hanya ada 1 kamar tidur, ruang tengah, dapur, dan kamar mandi. Letaknya di lantai 10, dan katanya, lift di apartemen ini kadang-kadang mati, jadi, mau tidak mau harus melewati tangga. Yaa begitulah, sesuai dengan harga.

Setelah memastikan huniannya aman dan layak, Niana bergegas menuju supermarket. Ia butuh beberapa bahan makanan, belum lagi ia harus membeli ponsel, dan perlengkapan lainnya.

Meskipun uang dari Prince cukup banyak untuk orang yang hampir menjadi gelandangan, hal iti tidak membuat Niana menghamburkan uangnya secara cuma-cuma, dalam artian ia tetap menghemat agar memiliki uang cadangan jika benar-benar dalam keadaan mendesak.

Hampir menyita waktu 2 jam Niana berada di luar, akhirnya gadis itu kembali ke apartemen dengan membawa beberapa kantung belanjaan. Tanpa menunggu lebih lama lagi, Niana segera merapikan semuanya. Beruntung apartemen yang disewanya adalah apartemen furnised walau sederhana. Jadi, ia hanya perlu membeli segelintir barang saja yang memang benar-benar dibutuhkan.

***

Di lain tempat, ada pria tampan nan gagah tengah berenang menikmati angin malam yang menerpa tubuh indahnya. Pria itu seperti sengaja memamerkan pada bintang di langit betapa sempurnanya dia dengan rambut tebal basah sempurna, dan menyisir rambut indah itu ke belakang.

Ia terduduk di tepi kolam, menatap air yang masih bergelombang karena gerakannya.

Dari pantulan itu ia bisa melihat wajah seseorang. Meski cicak pun tahu jika pantulan itu adalah pantulan wajahnya sendiri, berbeda dengannya yang membayangkan sosok lain.

Mata biru itu, sangat indah, sangat sangat indah.

"Cih, yang terpenting aku sudah bertanggung jawab merawatnya sampai sembuh. Toh jika uang yang dibawanya tidak dikembalikan sesuai janji, aku tidak peduli," ucapnya yang entah pada siapa.

50 juta? Nominal tersebut tidak menyentuh setitik debu pun harta yang ia miliki. Seratus kali ia memberi nominal yang sama, sama sekali tidak membuatnya menderita kanker. Kantor kering, seperti kau yang sedang membaca saat ini.

Prince lantas berdiri, berjalan perlahan menuju tempat di mana bathrobe berada dan segera mengenakan benda itu.

Daripada melamun memikirkan yang tidak pasti, lebih baik kembali ke kamar untuk segera istirahat.

***

Hari selanjutnya, adalah hari di mana Niana siap memulai kehidupan baru. Kini, kaki kecilnya tengah menyusuri trotoar dengan sesekali melirik kanan kiri untuk melihat keadaan sekitar.

Banyak Kantor Perusahaan, Bank, Cafe, Restoran, dan lain sebagainya di sini. Niana dengan penuh percaya diri masuk ke sana ke sini untuk menawarkan diri menjadi pekerja.

Namun, sudah 5 tempat dirinya datangi, tidak ada satu pun yang berniat menerima dirinya sebagai pekerja.

Satu hal yang Niana sesali sebelum kabur dari rumah, yaitu tidak membawa beberapa surat penting yang bisa ia gunakan untuk syarat bekerja.

Kini, Niana hanya bisa terduduk di salah satu kursi di pinggir jalan. Tubuhnya sudah sangat lelah, belum lagi obat-obatan yang sebelumnya harus dikonsumsi kini tidak dihiraukan lagi.

Niana memandangi ujung sepatunya dengan tatapan sendu, tubuhnya sudah sangat lelah. Wajahnya pun kini sudah tampak pucat.

Sebotol air mineral terulur di hadapan wajahnya, spontan Niana mengedarkan arah pandang pada seseorang yang kini tengah menyodorkan sebotol air mineral.

"Untuk saya?" tanya Niana memastikan, jika itu memang hanya untuknya.

Wanita yang tak lagi muda itu mengangguk seraya tersenyum. Niana dengan senang hati menerimanya sambil mengucapkan terima kasih. Tuhan tahu saja jika dirinya sedang kehausan sekarang.

"Masih belum ada yang menerimamu, nak?" tanya wanita itu membuat Niana semakin kebingungan. Apakah wanita ini bertanya tentang dirinya yang belum menerima pekerjaan?

"Ibu tahu saya sedang mencari pekerjaan?" tanya Niana, menatap tak percaya pada wanita yang seperti cenayang ini.

Wanita itu mengangguk lalu tersenyum kecil, lantas kembali melanjutkan ucapannya.

"Saya tidak sengaja melihat kamu memasuki Cafe-Cafe itu, bukan seperti orang yang hendak menikmati waktu santai," ujarnya lagi.

"Yaa, seperti yang Ibu ketahui, saya sedang mencari pekerjaan untuk menyambung hidup," balas Niana dengan tatapan lurus ke depan. Kini, dirinya seperti anak ayam tanpa induk yang dilepas sebelum waktunya bisa mencari makan sendiri.

"Apakah kamu akan menerima bantuan saya? Kebetulan, rekan kerja saya akan mengundurkan diri 2 hari mendatang, kamu bisa mendaftarkan diri untuk menggantikannya."

Secercah harapan terpancar di kedua mata indah Niana.

"Pekerjaan apa itu, Bu? Saya bersedia bekerja apa saja asal bukan yang berbahaya," ujar Niana penuh semangat, melupakan rasa lelahnya.

Wanita yang belum diketahui siapa namanya itu tersenyum tipis, sedikit tak enak menawarkan pekerjaan ini.

"Hanya menjadi pengurus taman saja, pekerjaannya cukup ringan, namun gajinya menurut saya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Saya kira kamu akan menerimanya," jawab wanita itu.

Mata Niana tambah berbinar cerah mendengarnya.

"Benarkah? Ah, aku akan melamar di sana saja kalau begitu. Dan, apa ada kesempatan untuk saya belajar mengenai pekerjaan saya tersebut? Saya tidak berpengalaman tentang mengurus tanaman," ucap Niana tanpa melepaskan binar di wajahnya.

Wanita itu segera mengulurkan tangan kanannya, seraya mengucapkan nama. "Tina, itu nama saya," ujar ibu Tina membuat Niana segera menerima uluran tangan itu.

"Aku Niana," balasnya.

"Baiklah, Niana, ini alamat rumahnya dan ini kartu milik saya. Kamu bisa masuk ke sana jika memiliki akses," ujar Tina sambil memberikan secarik kertas berisi alamat dan kartu nama miliknya.

Niana dengan senang hati menerimanya.

"Besok masih ada waktu untuk bertemu pekerja sebelumnya, nanti kamu bisa belajar dengan beliau," jelas Tina sekali lagi sebelum akhirnya berpamitan pergi.

Kini Niana kembali sendiri, menatap penuh bahagia dua benda yang ada di tangannya.

Semangat, Niana!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status