Pagi datang lagi, seperti biasanya Clara sudah terbangun sekitar pukul lima pagi. Ia belum sempat mandi apalagi berganti pakaian karena pakaian ganti semua ada di kamar atas. Clara hanua merapikan diri dengan menyisir rambut lalu menjapitnya.
Semalam Clara hanya tidur sendiri. Kata Mela, dia yang akan tidur bersama Jou beberapa hari ini. Ternyata semua itu atas perintah Nyonya Lily.
"Pagi semuanya!" sapa Clara pada para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan.
Mereka nampak antusias menjawab sapaan dari Clara.
"Pagi, Nona." Begitu jawab mereka bersamaan.
"Ada yang bisa aku bantu?" Clara berjalan mendekati meja konter dapur yang terlijat ada beberapa sayuran mentah.
Ke tiga pelayan itu saling pandang sejenak.
Tania pulang sekitar pukul lima sore. Seharian dia di sini, lebih banyak mengagumi keadaan rumah dari pada mengobrol atau sekedar bertanya bagaimana keadan Clara selama tinggal di sini. Yang Tania temui sambil tersenyum-senyum tentunya Baby Jou. Kalau dengan Clara, ya … tidak ada yang istimewa selain obrolan yang tidak terlalu penting. "Ibu bahkan sama sekali tidak menanyai bagaimana kabarku," dengus Clara. Clara menggerutu sambil coret-coret kertas putih. Ia biasanya mengisi kesuntukan dengan menggambar sesuatu. Misalnya gaun atau model baju yang sedang trend. "Apakah ibu tidak peduli bagaimana keadaanki di sini?" lanjut Clara lagi. Ia meletakkan pensilnya di atas kertas lalu bersandar pada kursi. Ia meraup wajahnya dan membuang napas seolah ingin melepas segala penat yang ada.
Noah terus saja memikirkan kalimat sang ibu yang menohok. Meski pernikahan ini sungguh tidak ia sukai, tapi semua ini juga bermula dari kesalahannya sendiri. Sampai pagi menjelang, Lily masih betah menemani Clara tidur. Clara menangis semalaman karena ulah Noah tentunya. Cukup lama Lily menenangkan Clara sampai akhirnya semalam bisa tidur. "Kau bangun, Sayang?" celetuk Lily ketika Clara menggeliatkan badan. Lily sendiri saat ini sebenarnya baru saja terbangun, tapi sudah terduduk di tepi ranjang sambil sesekali menguap. "Maaf, Bu. Aku jadi merepotkanmu," kata Clara sambil meraup wajah. Lily tersenyum sambil mengusap lengan Clara. Meski kedekatan dengan Noah masih begitu jauh dan entah ada harapan dekat atau
Noah sudah turun sambil menjinjing tas kerjanya. Begitu masuk, semua karyawan yang berpapasan segera menunduk sopan dan menyapa. "Kupikir kau tidak hadir," kata Angela begitu sudah menyusul Noah masuk ke dalam ruangan kerja. Sebagai sahabat sekaligus sekertaris Noah, Angela bisa dengan leluasa berbicara tanpa rasa sungkan. "Memang kenapa aku harus tidak hadir?" sungut Noah. "Jangan katakan tentang bulan madu." Noah terlihat mendengus saat terduduk di kursi kerjanya. Angela juga ikut duduk. "Sudahlah, berhenti muram begitu. Semua bisa begibi juga karena ulahmu sendiri kan?" Lagi-lagi Noah merasa disudutkan. Tidak di rumah tidak di kantor, sepertinya selalu disalahkan. Noah yang cukup kesal, menatap Angela de
Sekitar pukul tiga sore, hujan turun dengan begitu derasnya. Jika hari-hari lalu hanya hujan gerimis, kali ini membludak lebih deras diikuti suara petir yang terkadang membuat dada berdegup terkejut. Noah sudah selesai mandi. Di dalam kamarnya, dia mulai merasa khawatir karena Clara tidak kunjung pulang. Sudah satu jam dari waktu Bibi Tere dan Jou pulang tadi. Harusnya Noah tidak peduli. Harusnya masa bodoh saja. Namun, rasa was-was di hatinya membuatnya panik akan keberadaan Clara. Belum lagi di luar sana hujan deras. "Kemana dia?" gumam Noah saat langkah kakinya sampai di pintu kaca menuju balkon. Noah mendorong pintu tersebut dan berjalan keluar sambil memeluk tubuhnya sendiri menahan hawa dingin di luar sini. Cipratan hujan yang tertiup angin, semakin menambah hawa dingin. Kabut tebal juga n
"Lebih cepat, Pak!" teriak Noah yang kini duduk bersama Clara di jok belakang. Melihat darah itu membuat Noah semakin bergidik ngeri. Beberapa kali bahkan Noah mengetutkan wajah dan medesis. "Cepat, Pak!" teriak Noah sekali lagi. "I-iya, Tuan," jawab Pak Rey tergagap. "Aku baik-baik saja. Sungguh." Clara ikut bicara. "Diam kau!" Hardik Noah membuat Clara menciut diam. "Tapi …" "Diamlah!" Noah masih saja membentak. "Cepat dong, Pak. Masa dari tadi tidak ada rumah sakit!" "Eh!" Mendadak Clara menjerit kecil. "Tidak usah. Kenapa jadi rumah sakit." "Sudah kubilang, kau diam saja
Begitu lelahnya dan rasa dingin masij menusuk, Clara sampai terlelap di atas kasur dalam posisi tengkurap melintang di atas ranjang. Noah yang baru saja selesai mandi melangkahkan kaki mendekat. Noah kini hanya mengenakan jubah handuk tanpa apapun di baliknya. Sementara satu tangan, sedang menggosok-gosok rambutnya yang basah menggunakan handuk. Sampai di dekat ranjang, Noah sedikit membungkukkan badan dan memiringkan kepala. Noah kemudian duduk di tepi ranjang sampil mengulurkan satu tangan. Wajah Clara yang tertutup helaian rambut, Noah singkirkan perlahan hingga wajah cantik dengan mata tertutup itu terlihat. "Wajahmu lebih sejuk dipandang," kata Noah. "Apa aku harus menuruti kata ibuku?" Kini, Noah mulai membelai pucuk kepala Clara dengan lembut.
Sekitar pukul enam pagi, yang terbangun lebih dulu adalah Noah. Entah karena kedinginan atau merasa nyaman, Clara masih begitu nyenyak tidur dalam pelukan Noah. Dalam posisi tidur miring dan kepala Clara berada di lengan Noah, diam-diam Noah mulai mengamati wajah cantik milik Clara. Noah sibakkan rambut poni itu, hingga seluruh wajah nampak jelas. "Aku akan coba," kata Noah. "Setidaknya aku tidak mau disebut wanita kejam." "Emmh!" Clara melengkuh membuat Noah segera pura-pura tertidur lagi. Clara hampir saja menggeliat seenaknya dan menguap, tapi begitu sadar posisinya ia urungkan niat tersebut. Clara kini mengatupkan dua bibirnya dan tenang sesaat. "Jam berapa ini?" batin Clara. Matahari di luar sana meman
Luka di tangan Clara sudah mulai mereda setelah di kompres es beberapa kali. Rasa perih dan panas juga perlahan menghilang. Gara-gara kejadian ini, Noah sampai harus kesiangan berangkat ke kantor. "Maaf, membuatmu kesiangan," kata Clara sambil membantu Noah mengancing kemeja. Noah tidak menjawab selain berdehem kecil. Jujur saja situasi ini membuat Clara kembali merasa gugup. Embusan napas Noah, bisa Clara rasakan menyapu wajah dengan lembut. Aroma mint bahkan bisa Clara cium dan ingin rasanya mata ini terpecam meniknati wanginya. Sudah sejak Noah berniat menuruti keinginan sang ibu untuk coba menerima Clara, memang suasana canggung mulai tidak ada. Di sini, sudah terasa seolah seperti kehidupan sepasang suami istri pada umumnya. Tiba saat di mana Cla