"Lebih cepat, Pak!" teriak Noah yang kini duduk bersama Clara di jok belakang.
Melihat darah itu membuat Noah semakin bergidik ngeri. Beberapa kali bahkan Noah mengetutkan wajah dan medesis.
"Cepat, Pak!" teriak Noah sekali lagi.
"I-iya, Tuan," jawab Pak Rey tergagap.
"Aku baik-baik saja. Sungguh." Clara ikut bicara.
"Diam kau!" Hardik Noah membuat Clara menciut diam.
"Tapi …"
"Diamlah!" Noah masih saja membentak. "Cepat dong, Pak. Masa dari tadi tidak ada rumah sakit!"
"Eh!" Mendadak Clara menjerit kecil. "Tidak usah. Kenapa jadi rumah sakit."
"Sudah kubilang, kau diam saja
Begitu lelahnya dan rasa dingin masij menusuk, Clara sampai terlelap di atas kasur dalam posisi tengkurap melintang di atas ranjang. Noah yang baru saja selesai mandi melangkahkan kaki mendekat. Noah kini hanya mengenakan jubah handuk tanpa apapun di baliknya. Sementara satu tangan, sedang menggosok-gosok rambutnya yang basah menggunakan handuk. Sampai di dekat ranjang, Noah sedikit membungkukkan badan dan memiringkan kepala. Noah kemudian duduk di tepi ranjang sampil mengulurkan satu tangan. Wajah Clara yang tertutup helaian rambut, Noah singkirkan perlahan hingga wajah cantik dengan mata tertutup itu terlihat. "Wajahmu lebih sejuk dipandang," kata Noah. "Apa aku harus menuruti kata ibuku?" Kini, Noah mulai membelai pucuk kepala Clara dengan lembut.
Sekitar pukul enam pagi, yang terbangun lebih dulu adalah Noah. Entah karena kedinginan atau merasa nyaman, Clara masih begitu nyenyak tidur dalam pelukan Noah. Dalam posisi tidur miring dan kepala Clara berada di lengan Noah, diam-diam Noah mulai mengamati wajah cantik milik Clara. Noah sibakkan rambut poni itu, hingga seluruh wajah nampak jelas. "Aku akan coba," kata Noah. "Setidaknya aku tidak mau disebut wanita kejam." "Emmh!" Clara melengkuh membuat Noah segera pura-pura tertidur lagi. Clara hampir saja menggeliat seenaknya dan menguap, tapi begitu sadar posisinya ia urungkan niat tersebut. Clara kini mengatupkan dua bibirnya dan tenang sesaat. "Jam berapa ini?" batin Clara. Matahari di luar sana meman
Luka di tangan Clara sudah mulai mereda setelah di kompres es beberapa kali. Rasa perih dan panas juga perlahan menghilang. Gara-gara kejadian ini, Noah sampai harus kesiangan berangkat ke kantor. "Maaf, membuatmu kesiangan," kata Clara sambil membantu Noah mengancing kemeja. Noah tidak menjawab selain berdehem kecil. Jujur saja situasi ini membuat Clara kembali merasa gugup. Embusan napas Noah, bisa Clara rasakan menyapu wajah dengan lembut. Aroma mint bahkan bisa Clara cium dan ingin rasanya mata ini terpecam meniknati wanginya. Sudah sejak Noah berniat menuruti keinginan sang ibu untuk coba menerima Clara, memang suasana canggung mulai tidak ada. Di sini, sudah terasa seolah seperti kehidupan sepasang suami istri pada umumnya. Tiba saat di mana Cla
Clara menunggu Megan di resoran di mana tempat Megan bekerja. Ini masih pukul sepuluh, jadi Clara gunakan untuk browsing cari informasi mengenai pekerjaan. Sambil di temani segelas jus apel, Clara begitu fokus menatap layar ponselnya. "Harusnya kau jangan biarkan putri keduamu itu menikah dengannya." "Benar itu. Toh kalaupun tidak menikah, masih ada hak dengan Jou. Jadi Chloe akan memiliki menantu kaya." Meski begitu fokus, Clara bisa mendengar percakapan ibu-ibu yang duduk di bangku belakangnya. Clara terdiam dan meletakkan ponselnya untuk memastikan siapa yang sedang mereka bicarakan. "Aku juga saat ini memang memiliki menantu kaya," sahut Tania. "Benar juga ya." "Entahlah! Aku tidak peduli."
"Kau dari mana?" tanya Bill seraya mengamati tampilan sang istri. "Kenapa baru pulang?"Tania meletakkan tas jinjingnya di atas meja lalu duduk di sofa. "Tentu saja aku baru bertemu teman-temanku," ujar Tania.Mendengar jawaban itu, Bill lantas membuang napas kasar. Bill berdiri sambil berkacak pinggang menatap tajam pada sang istri."Keuangan kita sedang menurun, harusnya kau bantu aku bukannya malah kelayapan tiap hari."Tidak mau disalahkan, Tania berdiri. "Tugas istri bukan mencari uang suamiku. Kalau kita sedang ada masalah dengan keuangan, cobalah kau minta bantuan pada besan kita."Bill terdiam lalu jatuh terduduk seolah sedang berpikir. Awal ketika Noah menikah dengan Clara, keluar Noah memang nampak kaya raya. Namun, akhir-akhir ini mendadak ada berita miring yang mengatakan kalau mereka bangkrut."Bukankah mereka bangkrut?" tanya Bill.Tania berdecak kemudian duduk bergeser lebih dekat dengan sang suami. "Suamiku, itu kan ha
Masih menikmati air hangat yang menguap, Noah menyandarkan kepala pada bantalan busa di bibir bak mandi. Kedua matanya terpejam dengan kepala tengah membayangkan sesuatu."Aku berniat menghancurkannya dulu," kata Noah. "Aku masih sakit hati tentang Chloe yang beraninya pergi meninggalkanku. Tapi … dengan menghancurkan Clara apakah cara yang benar?"Noah terus memikirkan Clara. Sejenak, Noah menenggelamkan kepalanya beberapa detik. Begitu terangkat, Noah duduk tegak sambil menyugar rambut ke belakang dengan kedua tangan."Tapi akhir-akhir ini aku merasa nyaman dengannya. Aku seperti tidak merasa kesepian lagi."Noah berdiri lalu meraih handuk dan melingkarkannya di pinggang. Sudah hampir satu jam Noah berendam di kamar mandi. Bibirnya yang seksi bahkan terlihat mulai membiru, dan jari-jemarinya nampak kusut.Keluar dari kamar mandi, Noah tidak menemukan Clara di sana. Clara yang bilangnya hendak membuatkan susu hangat belum juga muncul.
Clara menyiapkan pakaian sesuai dengan permintaan Noah. Ia membuka semua kancing kemeja lalu meletakkan di tempat biasanya. Setelah selesai menyiapkan keperluan sang suami, Clara bergegas bersiap-siap. Hari ini dia akan mendatangi perusahaan yang kemarin dikasih tahu oleh Megan. Sekitar setengah jam, Clara sudah terlihat anggun dengan celana panjang berbahan katun dan kemeja putih dengan bagian lengan ia lipat ke luar. Clara menoleh ke arah jam dinding. Di sana sudah menunjukkan pukul setengah tuju. Sudah waktunya Clara untuk membangunkan Noah. "Noah," panggil Clara sembari mengguncang lengan Noah. Tidak ada respon, Clara mengguncang tubuh Noah lebih kencang. "Noah, bangun! Sudah siang." "Emmh!" Noah hanya
Saat perjalanan pulang ke rumah, wajah Clara nampak begitu bahagia. Bukan hanya bahagia karena bertemu dengan kawan lama, tapi juga karena berhasil mendapatkan pekerjaan. Clara tidak menyangka kalau akan mendapat pekerjaan yang tidak jauh berbeda dari bidangnya. Meskipun nanti hanya bertugas mengatur kostum, tapi ini pasti sangatlah menyenangkan. Sepanjang perjalanan, bibir Clara terus menyungging senyum. Ketika di tengah perjalanan, Clara tidak sengaja melihat ibunya lagi. Ia sedang berdiri di depan sebuah salon sendirian. Pada umumnya, seorang anak pasti akan menghampiri ibunya. Namun, Clara begitu enggan untuk ke sana. Setelah mendengar percakapan ibunya bersama kawan-kaman kemarin, Clara masih belum mau bertemu sang ibu. "Ibu harusnya tahu, sebagai seorang anak pastilah aku sangat merindukan