Sudah berada di dalam kamar, Clara entah kenapa merasa lega. Di dalam sini tidak ada sosok Noah, yang ada rasa kagum pada ruang kamar yang megahnya tidak jauh berbeda dengan rumah ini.
Clara berjalan maju dengan sedikit bibir terbuka, sementara bola mata memutar menyapu setiap sudut ruangan.
"Di sinikah aku akan tidur?" gumam Clara. "Seperti di dunia dongeng."
"Sedang apa kau!"
"Eh!" Clara sontak berjinjit dan mendaratkan telapak tangan di dada saat dikejutkan dengan suara dari arah belakang.
Begitu Clara sudah menoleh, saat itu juga Ia harus membuang muka dari hadapan pria yang saat ini berdiri di hadapannya. Noah, kini tengah berdiri di depan pintu kamar mandi hanya dengan memakai handuk yang melilit di pinggangnya.
"A-aku, aku akan segera keluar!" Clara menghampur keluar dari kamar.
"Dasar wanita aneh!" dengus Noah.
Clara berlari dengan cepat menuruni tangga meski harus bersusah payah dengan gaunnya yang panjang. Untung saja gaun yang ia kenakan bukanlah gaun bak cinderella ataupun Aurora, jadi melangkah lebar pun masih bisa ia lakukan.
"Dia sungguh menyebalkan!" maki Clara sepanjang berjalan.
Sampai di lantai satu, Clara bingung harus apa dan kemana. Selain rasa gerah karena belum mandi dab ganti pakaian, Rania juga kebingungan sendiri.
"Nona," panggil Bibi Tere, salah satu pelayan pada Clara.
Clara sontak menoleh. "Iya."
"Sedang apa di sini?"
Clara nyengir sambil garuk-garuk kepala. "Aku bingung harus apa. Aku butuh pakaian ganti sekarang."
"Oh, biar saya persiapkan, Nona. Nona bisa mandi di kamar tamu. Nanti akan saya siapkan di sana."
Perlahan, bibir Clara pun tersungging senyuman. "Baiklah, di mana tempatnya?"
Bibi Tere berjalan lebih dulu, menunjukkan di mana letak kamar tamu. Sampai di depan pintu berwarna putih, Bibi Tere lantas membukanya kemudian menjulurkan tangan mempersilahkan Clara masuk.
"Terimakasih, em … Bibi … aku harus panggil siapa?" Clara nampak bingung.
"Saya Bibi Tere. Kalau butuh apa-apa bisa panggil saya."
"Oh, okelah. Baik Bibi."
Pergi meninggalkan Clara, Bibi Tere bergegas menaiki tangga menuju lantai dua. Sampai di atas, beliau mengetuk pintu kamar Noah.
"Tuan, ini Bibi. Boleh masuk?"
Sudah tidak asing lagi dengan suara yang memanggilnya, Noah pun bergegas membukakan pintu.
"Ada apa, Bibi?"
"Bibi mau ambil pakaian untuk Nona Clara," ujar Bibi Tere.
Noah terdengar berdecak lalu melengos begitu saja usai mendengar alasan Bibi Tere kenapq datang ke kamarnya. Noah berjalan ke arah ruang ganti sembari menggosok-gosok rambutnya yang basah.
"Cari saja di lemari itu …" Noah menunjuk ke ararah lemari di ruang ganti. "Ibu pasti sudah menyiapkannya di sana."
Bibi Tere mengangguk paham. Setelah mendapatkan pakaian yang dirasa akan cocok untuk Clara, Bibi Tere lantas pamit ke luar.
Sampai di lantai satu lagi, Bibi kembali masuk ke dalam kamar tamu yang di mana ada Clara di dalam sana.
"Nona," panggil Bibi Tere sambil menutup pintu.
Bibi Tere perlahan masuk sambil melihat ke sekeliling. "Apa Nona masih di kamar mandi?"
"Ya, Bibi Tere. Aku masih di sini," sahut Clara dari dalam sana.
Bibi Tere berjalan ke arah ranjang. "Bibi letakkan bajuny di atas ranjang."
"Baik, Bibi."
Siang menghilang kini perlahan mulai petang. Clara pun juga sudah memakai pakaian yang disiapkan Bibi Tere, tadi.
"Ini seleraku, bagaimana mereka tahu?" gumam Clara sambil memiringkan badan beberapa kali di depan cermin.
Clara saat ini tengah mengamati dirinya yang memakai baju dari keluarga Noah. Clara tentu tahu betul kalau ini bukanlah baju dirinya, sepertinya juga ini baju baru. Terlihat dari warnanya yang masih begitu cerah.
Tidak lama setelah Clara termenung, terdengar pintu kamar diketuk dari luar. Clara pikir itu Bibi Tere.
"Ada apa, Bi?" sahut Clara.
Ketukan itu berhenti dan perlahan pintunya terbuka. Masih tidak jauh dari hadapan cermin, Clara mengamati siapa gerangan yang ada di balik pintu tersebut.
"Bibi Lily," lirih Clara.
"Halo sayang. Boleh ibu masuk?"
"Bo-boleh, Bibi." Clara menjawab dengan gugup.
Lily tersenyum sumringah dan berjalan mendekat. Ia masih saja memandangi Clara dengan saksama.
"Bagaimana, apa baju yang aku siapkan cocok untukmu?" tanya Lily.
Clara tertunduk malu. "Cocok, Bibi. Aku sangat menyukainya."
Senyum Lily kian melebar, satu tangannya mengusap pundak Clara. "Kau tunggu di ruang makan, di sana sudah ada Jou bersama susternya."
"Jou?" Clara bergumam sambil berpikir.
Ya, Jou. Aku hampir melupakan ponakanku sendiri. Aku bisa berada di rumah ini tak lain adalah sebagai ibu pengganti untuk ponakanku sendiri. Tentunya juga sebagai suami si bengis itu.
Clara diam masih melamun sampai mengabaikan suara ibu mertuanya yang sedari tadi memanggilmya.
"Clara, hei!" Lily sampai menepuk pundak Clara supaya tersadar dari lamunan.
"Oh, maaf, Bibi. Aku melamun." Clara berkedip dan tersenyum kaku.
"Jangan panggil aku Bibi. Aku ini juga ibumu, maka panggil aku ibu," kata Lily.
"Ba-baik, Bi. Em, maksudku ibu."
Masih sambil tersenyum, Lily pamit keluar dan meminta Clara untuk segera menemui Jou.
"Lho, ibu sudah di sini?" tanya Noah yang sebelumnya sempat terkejut melihat ibunya sudah berdiri di depan pintu kamar.
Lily tidak peduli dengan pertanyaan Noah dan malah justru menendang betis Noah dengan cukup kencang.
"Aw! Apaan sih, Bu!" keluh Noah. "Sakit!"
Lily mendengkus kesal. "Kenapa kau menyuruh Clara tidur di kamar tamu?"
Noah spontan mengerutkan dahi. "Aku tidak menyuruhnya untuk tidur di sana."
"Bohong!" sembur Lily. "Kau boleh saja masih mengharapkan Chloe, tapi ingat, Clara yang sekarang jadi istrimu."
Noah berdecak. Ia paling enggan jika harus berdebat dengan sang ibu. Selain karena keinginannya selalu harus dituruti, Noah juga paling tidak tegaan jika sang ibu sudah mulai memohon.
"Ibu, aku juga harus mempersiapkan diri. Ini tidak mudah untukku. Clara memang kembar dengan Chloe, tapi bukan berarti aku tidak bisa merasakan perbedaannya."
"Kalau begitu, berusahalah!" Jawab Lily. "Ibu mau kau melupakan wanita tak berguna itu."
"Cukup, Ibu!" hardik Noah. "Jangan menyebutnya seperti itu. Biar bagaimanapun juga aku masih mencintainya."
"Ibu tidak mau mendengar apapun. Yang jelas, saat ini kau dan Clara sudah menikah. Dan ibu harap kau berusaha menerimanya."
Setelah berkata cukup panjang dengan sedikit ngotot, Lily berbalik badan meninggalkan Noah. Sementara Noah yang masih berdiri di ambang pintu, mulai mengacak rambut dan meraup wajah dengan kasar.
"Kenapa harus jadi begini!" kata Noah dengan kesal. "Aku harus segera meminta penjelasan dari Chloe!"
"Kenapa wajahmu muram begitu?" tanya Josh yang bertemu Lily di ruang tengah.
"Putramu membuatku kesal!" jawa Lily.
Josh menghela napas lalu meraih tangan sang istri dan meminta ikut duduk. "Tenanglah, tidak usah buru-buru."
Dari jarak cukup dekat-- sekitar tiga meter--Lily melengkungkan senyum saat memandangi Clara yang sedang berbincang dengan Jou. Bayi berumur satu bulan itu, sepertinya bisa langsung menerima kehadiran Clara. Terbukti dari cara Clara yang menggendong Jou tanpa menangis. "Kau sangat lucu," kata Clara yang terus menggendong sambil menimang-nimang baby Jou. Baby boy itu terus saja memandangi wajah Clara yang juga memandangnya sambil sesekali berceloteh macam-macam. "Sepertinya kau begitu suka dengan bayi," kata Lily ketika sudah berdiri di samping Clara. "Jou juga sepertinya nyaman denganmu." Clara tersipu. "Aku memang suka bayi, Bu. Dulu aku sering mengunjungi panti asuhan dan membantu ibu panti mengurus bayi." Lily menarik satu kursi yang semula berada
Pagi datang, Clara lumayan bisa tidur dengan nyenyak untuk pertama kali di rumah ini. Meski terdengar keterlaluan, karena Lily harus meninggalkan Jou bersama Clara, tapi sebenarnya ada maksud tertentu. Toh Clara sepertinya tidak keberatan dengan keberadaan Jou di sini. Tidur bersama Baby Jou juga terasa nyaman. "Apa Nona butuh bantuan?" tanya Mela yang baru saja datang ke kamar Clara. "Bantu siapkan air hangat untuk mandi dan pakaian ganti," sahut Clara. Di atas ranjang, Clara mulai melucuti pakaian Jou bergantian. Selesai dari itu dan Mela juga sudah mempersiapkan semua yang tadi Clara katakan, Jou ia fendong dan mengarahkan pada Mela. "Kau mandikan dia. Aku bangunkan tuan rumah dulu," kata Clara setelah Jou ada dalam gendongan Mela. "Baik, Nona."
Mau berniat dirahasiakan seperti apa, pernikahan tersebut pastilah banyak yang tahu. Meski mereka-mereka hanya menebak-nebak dan tidak seratus persen yakin, tapi gunjingan atau omongan orang-orang tetap ada. Ada yang membicarakan sisi baik, ada juga yang memihak sisi buruknya. Setelah ditinggal pergi oleh Noah ke kantor, Clara diam di rumah bersama suster dan Baby Jou. Awal pernikahan yang buka keinginannya tetaplah harus ia buat seolah tidak menjadi beban. "Mela," panggil Clara saat suster Jou itu tengah membuatkan susu untuk Jou. "Iya, kenapa Nona?" "Apa kau bekerja bersama keluarga Noah baru saat Jou ada?" "Tidak, Nona. Saya sudah ikut keluarga Tuan Josh sekitar enam tahun yang lalu." Clara manggut-mangg
"Ibu tahu aku menikah bahkan karena terpaksa. Bisa-bisa menyuruhku seranjang dengan wanita itu," cerocos Noah sambil melangkah masuk. Melangkah sampai ke ruang dalam, beberapa pelayan menunduk sopan. Noah terus saja berjalan angkuh seperti biasanya. Ia berjalan menaiki anak tangga. Ceklek! Bunyi pintu terbuka, membuat Clara yang sedang berada di ruang ganti mendadak gelagapan sendiri. Ia baru saja selesai memakai piama yang ibu mertuanya belikan. Piama tersebut terbuat dari bahan satin silk. Tidak terlalu terbuka karena dilengkapi jubah, hanya bagian roknya yang sedikit tinggi di atas lutut. "Haruskah aku seperti ini?" batin Clara. "Aku bahkan terlihat seperti wanita aneh." Ketika terdengar pintu sudah tertutup, kini Clara bisa mendengar suara tapak s
Pagi datang lagi, seperti biasanya Clara sudah terbangun sekitar pukul lima pagi. Ia belum sempat mandi apalagi berganti pakaian karena pakaian ganti semua ada di kamar atas. Clara hanua merapikan diri dengan menyisir rambut lalu menjapitnya. Semalam Clara hanya tidur sendiri. Kata Mela, dia yang akan tidur bersama Jou beberapa hari ini. Ternyata semua itu atas perintah Nyonya Lily. "Pagi semuanya!" sapa Clara pada para pelayan yang sedang menyiapkan sarapan. Mereka nampak antusias menjawab sapaan dari Clara. "Pagi, Nona." Begitu jawab mereka bersamaan. "Ada yang bisa aku bantu?" Clara berjalan mendekati meja konter dapur yang terlijat ada beberapa sayuran mentah. Ke tiga pelayan itu saling pandang sejenak.
Tania pulang sekitar pukul lima sore. Seharian dia di sini, lebih banyak mengagumi keadaan rumah dari pada mengobrol atau sekedar bertanya bagaimana keadan Clara selama tinggal di sini. Yang Tania temui sambil tersenyum-senyum tentunya Baby Jou. Kalau dengan Clara, ya … tidak ada yang istimewa selain obrolan yang tidak terlalu penting. "Ibu bahkan sama sekali tidak menanyai bagaimana kabarku," dengus Clara. Clara menggerutu sambil coret-coret kertas putih. Ia biasanya mengisi kesuntukan dengan menggambar sesuatu. Misalnya gaun atau model baju yang sedang trend. "Apakah ibu tidak peduli bagaimana keadaanki di sini?" lanjut Clara lagi. Ia meletakkan pensilnya di atas kertas lalu bersandar pada kursi. Ia meraup wajahnya dan membuang napas seolah ingin melepas segala penat yang ada.
Noah terus saja memikirkan kalimat sang ibu yang menohok. Meski pernikahan ini sungguh tidak ia sukai, tapi semua ini juga bermula dari kesalahannya sendiri. Sampai pagi menjelang, Lily masih betah menemani Clara tidur. Clara menangis semalaman karena ulah Noah tentunya. Cukup lama Lily menenangkan Clara sampai akhirnya semalam bisa tidur. "Kau bangun, Sayang?" celetuk Lily ketika Clara menggeliatkan badan. Lily sendiri saat ini sebenarnya baru saja terbangun, tapi sudah terduduk di tepi ranjang sambil sesekali menguap. "Maaf, Bu. Aku jadi merepotkanmu," kata Clara sambil meraup wajah. Lily tersenyum sambil mengusap lengan Clara. Meski kedekatan dengan Noah masih begitu jauh dan entah ada harapan dekat atau
Noah sudah turun sambil menjinjing tas kerjanya. Begitu masuk, semua karyawan yang berpapasan segera menunduk sopan dan menyapa. "Kupikir kau tidak hadir," kata Angela begitu sudah menyusul Noah masuk ke dalam ruangan kerja. Sebagai sahabat sekaligus sekertaris Noah, Angela bisa dengan leluasa berbicara tanpa rasa sungkan. "Memang kenapa aku harus tidak hadir?" sungut Noah. "Jangan katakan tentang bulan madu." Noah terlihat mendengus saat terduduk di kursi kerjanya. Angela juga ikut duduk. "Sudahlah, berhenti muram begitu. Semua bisa begibi juga karena ulahmu sendiri kan?" Lagi-lagi Noah merasa disudutkan. Tidak di rumah tidak di kantor, sepertinya selalu disalahkan. Noah yang cukup kesal, menatap Angela de