Martin berjalan dengan langkah gontai, menyisiri jembatan besar yang ada di sisi apartemennya. Cahaya lampu jalan memantulkan bayangannya, saling bersinggungan dengan beberapa kendaraan yang melaju kencang. Angin malam menerpa wajah Martin yang pucat, dan pandangannya kabur akibat sisa pengaruh alkohol yang begitu mendominasi jiwanya.Setiap langkah yang dia ambil terasa amat berat. Begitu juga dengan beban yang kini dia tanggung sendirian. Dia masih begitu ingat, betapa dia kecewa karena mendapat penolakan dari Elisha beberapa waktu lalu. Dan kini dia harus kembali sakit hati atas perbuatan Sierra dan ayahnya.Martin terus melangkah tanpa tujuan pasti. Yang ada di pikirannya kini hanyalah terus berjalan, kemanapun kaki membawanya. Dia hanya ingin menenangkan otaknya dari segala kerumitan yang ada bertubi-tubi bagai peledak yang sengaja dilempar ke depan muka. Martin mengumpat keras ke arah sungai besar di bawahnya, mengutuki takdirnya sendiri.***Salome membuka paksa pintu depan rum
“Ayo berdiri,” Susah payah Elisha menarik tubuh Martin agak bangkit berdiri.“Kita mau kemana?” protes Martin masih dengan keadaan setengah sadar. Namun dia tidak melawan ketika Elisha melingkarkan lengan kanannya pada pundak Elisha.“Aku tidak akan membiarkanmu mengakhiri hidup,” tandas Elisha, sedikit meringis menyadari betapa beratnya tubuh Martin.Dengan jalan yang sedikit kelimpungan, Elisha membawa Martin dan menghentikan salah satu taksi yang kebetulan lewat. Elisha memutuskan untuk membawa Martin ke apartemennya sendiri, yang masih terletak tidak jauh dari sana.Tak berapa lama, taksi itu sampai di depan apartemen Elisha. Masih dengan kepayahan, Elisha membawa Martin untuk masuk ke dalam lobi apartemen. Namun beruntung kali ini si sopir taksi berinisiatif untuk membantu Elisha membopong Martin hingga mereka masuk ke dalam lift.“Kamu bisa istirahat di sini,” Elisha membaringkan tubuh Martin di atas ranjang miliknya.Elisha yang kelelahan setelah membawa Martin, memutuskan untu
Elisha terus menemani Martin meluapkan seluruh kesedihannya, hingga tanpa sadar Martin tertidur di pangkuan Elisha. Wanita itu membiarkan Martin terlelap, tidur melingkar di atas sofa yang tentu tak mampu menampung tinggi badan Martin. Sementara dia memilih untuk tidur di kamarnya sendiri, berharap Martin bisa segera melupakan kesedihannya saat pagi menjelang. Dan keesokan harinya, saat Elisha membuka mata Martin sudah tidak ada di sofa. Meskipun kecewa, Elisha tidak bisa melakukan apapun. Sementara itu, di tempat lain, Sierra yang tidak lagi bekerja mulai membiasakan diri untuk memasak membantu Sarah menyiapkan sarapan. Dia tidak ingin terus terlarut dalam kesedihan, dan mencoba untuk menerima kenyataan meski masih ada perasaan sedih karena kehilangan Martin.“Kamu istirahat saja, Sierra. Bukankah kamu sedang mual?” tanya Sarah.Sierra menggeleng sambil tersenyum. “Tapi aku tidak ingin merasakannya. Aku coba cari di internet, itu namanya morning sickness,”Sarah terkikik bersama Sie
“Martin … lepaskan,” rintih Sierra, sebisa mungkin mendorong mundur tubuh Martin dari tubuhnya.Semakin Sierra berontak, semakin adrenalin Martin terpacu. Dia sudah terlalu gelap mata untuk menyadari bahwa tindakannya itu salah dan bisa saja membahayakan kandungan Sierra. Jika saja Sierra masih sama seperti dia yang dulu, masih mencintai Martin tanpa menanggung beban mengandung bayi Paul, dia pasti akan menikmati ciuman Martin. Tapi segalanya telah berubah diantara mereka.“Martin!” Tiba-tiba dari arah belakang Paul datang. Pria tua itu menarik tubuh Martin sekencangnya dan dia pukul tepat di pipi kiri Martin. Tanpa pertahanan, Martin seketika ambruk ke lantai.“Si, kamu tidak apa-apa?” Paul berusaha menolong Sierra yang masih sangat ketakutan. Dia mendekap wanita itu begitu erat.Sementara Martin yang jatuh perlahan bangkit. Tubuhnya gemetar melihat sang ayah begitu mencemaskan Sierra, dan dengan tega menyingkirkannya layaknya sampah. Sedari kecil, Martin selalu merasakan penolakan
Pernikahan Paul dan Sierra tetap dilangsungkan, tepatnya seminggu setelah kejadian di apartemen Martin. Pernikahan itu digelar di sebuah vila mewah yang terletak di pinggir pantai. Mereka hanya mengundang beberapa kerabat dekat serta kolega Paul, sebisa mungkin menjaga agar pernikahan itu tetap intim demi menutup privasi. Itu semua atas permintaan Sierra yang masih belum terbiasa menjadi bagian dari dunia Paul yang kaya raya.Sebuah tenda putih besar didirikan di tengah taman vila, dihiasi dengan rangkaian bunga mawar putih dan merah di setiap sudutnya. Di bawah tenda, kursi-kursi tertata rapi dengan pita satin putih. Di dekat pantai, sebuah altar kecil disiapkan dari kayu dengan latar belakang laut biru yang berkilauan. Altar tersebut dihiasi dengan bunga-bunga tropis dan kain sutra yang berkibar lembut tertiup angin.Sierra mengenakan gaun putih dengan desain yang anggun dan elegan. Gaunnya panjang tampak mengalir, dengan detail renda di bagian tulang selangka dan lengan. Rambutnya
Sierra tidak bisa menahan denyutan sakit di dalam hatinya, meski dia sudah bersembunyi sedemikian rupa agar tidak ketahuan. Degup jantung yang dia rasakan bukanlah karena gugup bahagia, melainkan gemuruh suara hati yang hancur lebur. Tidak menyangka jika setelah banyaknya pengorbanan yang dia lakukan untuk Martin, pria itu justru melamar Elisha. Sekali lagi Martin mencoba peruntungannya untuk melamar Elisha, wanita yang tiga tahun lalu pernah menolaknya.Bohong jika Sierra tidak terpengaruh atas pemandangan di depannya yang berlangsung tiba-tiba, tanpa pernah dia tahu. Sore ini setelah jam pulang kantor, Sierra sudah memantapkan hati untuk mengutarakan perasaannya. Tapi yang terjadi, dia justru mendapat kejutan lain."El, maukah kamu menjadi istriku?" tanya Martin sekali lagi, sembari menyodorkan sekotak cincin.Sierra membungkam mulutnya. Dalam hati mengucapkan sumpah serapah, kenapa dia harus bersembunyi? Dia bisa saja menggagalkan semuanya dengan tiba-tiba menyeruak masuk. Tapi nal
Paul mengarahkan tangannya untuk memberi petunjuk pada Sierra agar mengikuti langkah kakinya. Sierra tidak bisa berkutik, selain menuruti permintaan Paul. Paul Pandia, ayah Martin sekaligus pemilik panti asuhan tempat Sierra tinggal hampir 30 tahun. Paul adalah seorang konglomerat yang kewibawaannya sudah dikenal di kalangan para pebisnis, dan itu juga diamini oleh Sierra yang pernah bekerja dua tahun dengan pria tua itu. Namun atas desakan Martin–yang baru saja diserahkan bisnis perusahaan cabang oleh Paul maka Sierra setuju untuk pindah ke perusahaan Martin, demi rasa cintanya yang teramat dalam."Kamu sudah makan malam?" tanya Paul, terus berjalan dengan langkah tegap namun tenang di depan Sierra.Sierra ingin menggeleng, tapi dia tidak akan bisa makan dengan tenang. Namun mengangguk pun juga bukan solusi yang baik, karena dia sangat kelaparan. Menangis cukup menguras habis tenaganya."Si?" panggil Paul, spontan berhenti dan menoleh ke belakang menghadap Sierra.Tampak beberapa me
Bagaimana bisa Sierra menikmati makan malamnya, jika saat ini dia berdua saja di dalam vila besar itu bersama sang konglomerat, Paul Pandia? Apalagi sebelum mengizinkan Sierra untuk makan, Paul berpesan agar wanita itu segera menyusul ke kamarnya. Jantung Sierra serasa ingin keluar dari rongganya karena tak mengira akan diperlakukan semanis ini. "Sadarlah, Si, sadar," Sierra menepuk pelan pipinya sendiri, supaya tidak berandai-andai tentang Paul. Apalagi kondisinya kini sedang patah hati setelah menyaksikan Martin dan Elisha.Setelah menyelesaikan makan malam, Sierra membereskan satu-persatu sajian di sana, bahkan tak lupa mencuci piring bekasnya makan. Dia mengerjakan semuanya dengan sangat santai sambil mengulur waktu. Dia sengaja melakukannya agar bisa menghindar dari perintah Paul yang ambigu.Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul satu pagi. Saatnya Sierra untuk beristirahat, setelah seharian bekerja dan karena besok masih hari efektif. Dia tahu dia tidak membawa baju g