Charlene melangkah memasuki ruang kunjungan. Ia harus menyembunyikan wajahnya yang kesal di hadapan orang yang mengunjunginya.
"Kau harus menginap satu malam di penjara," kata Lee tadi malam, sebelum mengakhiri pembicaraan mereka secara sepihak.Jika bukan karena Lee berjanji akan mencabut tuntutannya, tentu Charlene tidak akan mau bersusah payah menyembunyikan rasa jengkelnya pada pria itu.Charlene berjalan ke sisi seberang. Lee mengangkat kepalanya untuk melihat gadis yang sejak tadi malam terus mengusik pikirannya. Lingkaran hitam samar di bawah mata Charlene, cukup untuk menunjukkan bahwa gadis itu tidak tidur dengan nyenyak semalam.Atau bahkan mungkin gadis itu sama sekali tidak bisa tidur? Agh! Kenapa Lee harus peduli dengan hal itu? Bukankah mereka impas karena Charlene juga membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak—meskipun Charlene tidak tahu apa-apa?"Duduklah," titah Lee sembari menggerakkan dagunya ke arah kursi di seberang tempat duduknya.Dengan malas, Charlene menarik kursi di depannya, kemudian mengempaskan bokongnya di sana."Kapan aku bisa bebas?" tanya Charlene tanpa basa-basi."Sepertinya kau sangat tidak betah berada di sini," ejek Lee.Ingin sekali Charlene mencakar wajah sombong pria itu. Hanya saja, Charlene tidak tega merusak pahatan Tuhan yang begitu sempurna.
"Tidak sedetik pun," jawab Charlene singkat.Rasanya memang sangat buruk karena selama ini Charlene tidak pernah bersinggungan dengan hukum. Hidupnya begitu damai dan penuh berkat meskipun ia hanya berasal dari keluarga sederhana. Orang-orang di sekelilingnya memperlakukan dia dengan baik, karena ia sendiri juga merupakan gadis yang manis, tidak pernah berulah.Hingga akhirnya ia bertemu Lee semalam. Pria itu memperlakukan Charlene dengan buruk, serta berhasil mengeluarkan sisi lain dalam diri Charlene. Demi Tuhan, Charlene belum pernah lepas kendali seperti tadi malam."Jadi kapan aku akan bebas?" ulang Charlene tidak sabar. Ia menatap netra Lee yang tampak berkilat."Tawaranku tidak gratis, Nona Flynn," balas Lee.Lee kemudian mendorong map plastik berwarna biru tua yang ada di atas meja, ke arah Charlene.Charlene menurunkan pandangan menatap benda tersebut."Apa ini?""Bacalah," titah Lee.Charlene tidak melepaskan pandangan dari Lee dan dengan ragu membuka map yang ada di hadapannya. Ia membacanya sekilas."Memangnya siapa yang ingin menjadi asisten Anda?" sindir Charlene."Tentu saja kau," sahut Lee yakin, mengabaikan maksud Charlene yang sedang menyindirnya.Charlene menggeleng diiringi dengan dengusan. "Heuh ..., maaf, aku tidak tertarik." Ia menutup map dan mendorongnya kembali ke arah Lee.Ia tidak menyukai pria itu. Mustahil bisa bekerja pada orang yang tidak ia sukai."Pikirkan baik-baik," bujuk Lee."Sudah.""Well, tampaknya kau lebih senang berada di sel daripada bekerja denganku."Sekonyong-konyong Lee menyadari bahwa Charlene begitu tidak menyukainya. Charlene membuang mukanya ke arah lain. Lee yang sedang duduk bersandar, kemudian mendorong tubuhnya ke arah Charlene."Aku akan mengambil alih Best Novel yang sebelumnya diambil URead Novel," ujar Lee yang kini berhasil membuat Charlene menatap kembali ke arahnya."Untuk apa? Aku tidak peduli Best Novel berada di tangan siapa. Yang aku inginkan hanyalah mendapatkan hak kami sesuai dengan kontrak yang telah disepakati.""Tidak masalah. Aku akan membayar semua bonus dan pembagian penjualan novel penulis sesuai kontrak."Charlene memindai wajah Lee. Pria itu terlihat begitu angkuh dengan kepercayaan diri yang dimilikinya. Senyum kemenangan sudah ia deklarasikan terlebih dahulu di wajahnya, padahal Charlene belum memberinya jawaban.Satu hal lagi, senyum itu membuat Lee semakin mempesona dan luar biasa tampan!Oh, sial!Charlene merutuki dirinya. Bisa-bisanya ia terus terpesona pada pria sombong itu. Otaknya mungkin sedang rusak."Aku juga akan membentuk manajemen baru."Feeling Charlene mengatakan kalau itu adalah tawaran terakhir Lee. Jika ia menolak, maka kesempatan itu tidak akan ia dapatkan lagi. Dibanding mendekam di penjara, rasanya memang jauh lebih baik bekerja dengan Lee."Kenapa Anda memintaku menjadi asisten Anda?" lontar Charlene.Sebab, kalau dipikir-pikir, rasanya agak aneh. Lee tentu bisa mendapatkan asisten dengan mudah. Jadi, kenapa dia memilih Charlene?"Apa aku akan bekerja tanpa bayaran?" Mata Charlene memicing curiga.Tawa lepas meluncur keluar dari bibir Lee. Charlene menatapnya dengan kening berkerut karena ia merasa tidak ada yang lucu dengan pertanyaan yang ia ajukan. Ia tidak tahu apakah humor orang kaya berbeda dengan humor rakyat jelata.Namun, tawa itu dengan cepat Lee tarik kembali. Wajahnya mendingin."Tanpa bayaran? Aku bahkan bisa membeli harga dirimu, Nona Flynn."Charlene punya penyakit darah rendah, tetapi karena Lee, darah rendahnya kini bermutasi jadi darah tinggi."Aku menjual tulisanku, bukan harga diriku, Tuan Montana," sanggah Charlene."Kalau begitu, kau akan melakukannya sekarang karena penawaran dariku."Lee tahu posisi Charlene lemah, sehingga Charlene tidak akan mungkin menolak tawarannya. Senyum samar nan angkuh di wajah pria itu, membuat Charlene mengepalkan kedua tangannya."Aku anggap itu sebagai jawaban kalau aku dibayar." Charlene menyerah. Ia sendiri bahkan tidak percaya jika kalimat itu bisa meluncur keluar dari bibirnya."Lebih dari sepantasnya." Lee mempertahankan senyum angkuhnya.Kecurigaan Charlene semakin menjadi. Mana ada orang yang berhati mulia seperti itu? Mencabut tuntutan, kemudian memberikan pekerjaan dengan gaji besar untuk orang yang awalnya ia tuntut!Ia melirik ke arah map yang ada di depan Lee."Boleh aku baca lagi kontraknya?" tanya Charlene. Pengalaman mengajarkan pada Charlene agar ia tidak gegabah dalam menandatangani kontrak. Cukup dengan Best Novel dan URead Novel."Silakan," jawab Lee dengan ekspresi datar.Tanpa menunggu lama, Charlene segera meraih map plastik tersebut. Ia membukanya, membaca satu per satu poin yang tercetak dalam kertas perjanjian. Ia tidak menemukan hal apa pun yang mencurigakan."Aku harus tinggal di penthouse Anda?" Charlene merasa sedikit keberatan. Jika seharusnya ia hidup sampai usia 80 tahun, maka tinggal seatap dengan Lee akan membuat masa hidupnya berkurang 10 tahun."Tentu saja. Kau harus melayani semua kebutuhanku. Jika tengah malam mendadak aku membutuhkanmu untuk mengemasi pakaianku, maka kau harus ada saat itu juga. Aku tidak suka menunggu, Nona Flynn."Yeah, tertera dengan jelas di dalam kontrak bahwa pekerjaannya tidak mengenal waktu alias 24 jam sehari, tujuh hari dalam seminggu, 365 hari dalam setahun. Tanpa cuti. Well, tampaknya kecurigaan Charlene tidak beralasan karena Lee sama sekali tidak bermurah hati.Selain gaji yang besar, tidak ada poin apa pun yang tampaknya menguntungkan Charlene. O, tidak, ia melewatkan satu hal yang membuatnya tidak bisa menolak tawaran tersebut. Bonus yang besar jika ia bisa menyenangkan hati atasannya itu.Rasanya Charlene ingin tertawa terbahak-bahak membaca poin tersebut. Bagaimana caranya ia membuat atasannya itu senang, jika mereka tidak akur? Ia ingin mengeliminasi bonus itu dari pikirannya.Namun, tidak ada salahnya jika ia mencoba. Demi rumahnya. Ya! Dengan bonus itu, ia bisa membayar utangnya sehingga rumah itu akan tetap menjadi miliknya.
"Bagaimana? Aku tidak punya banyak waktu," desak Lee. Ia pura-pura mengecek waktu melalui jam tangannya.Charlene mendengus sembari bergumam kecil, "Heuh ... sungguh tidak sabaran.""Aku mendengarnya, Nona Flynn."Charlene terkesiap dan refleks menutup mulutnya dengan tangan. Argghhh! Seharusnya ia lebih hati-hati mempergunakan mulutnya. Bagaimana jika Lee mendadak berubah pikiran akibat ucapannya barusan?"A-aku punya syarat tambahan!" seru Charlene."Syarat?" Lee menunjukkan ekspresi penasaran. Baru kali ini ada calon karyawan yang berani mengajukan syarat padanya.Charlene mengangguk tegas. "Iya.""Sebutkan."***
<span;>***Axel memarkirkan mobilnya tidak begitu jauh dari pintu utama Universe Hotel and Apartments. Ia tidak bisa berhenti di depan pintu utama karena ada sebuah mobil yang lebih dulu bertengger di sana. "Kau yakin tidak perlu aku temani ke atas?" tanya Axel pada Charlene setelah keduanya turun dari mobil. Charlene menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri." Keduanya saling melempar senyuman hangat. Pemandangan itu terpindai oleh pemilik mobil di depan, melalui pantulan kaca spion di luar mobil. Ekspresinya yang terlihat tenang, tampak kontras dengan sorot matanya yang dingin. Pria itu bergegas turun tanpa menyuruh asistennya untuk membukakan pintu mobil. Sebenarnya, sewaktu tiba tadi, seperti biasa sang asisten hendak turun untuk membukakan pintu mobil baginya. Namun, pria itu mencegah sang asisten melakukan hal itu setelah tanpa sengaja melihat Charlene di belakang. "Suruh Nona Flynn ke atas sekarang juga," titah pria yang tak lain adalah Lee, pada Marvin. Dari nada bicara Lee,
Charlene sedang membuka situs mesin pencari online, mencari beberapa informasi sebagai bahan tulisan untuk novelnya. Ia memutuskan untuk mengetik di dapur bersih—setelah menyusun semua barang-barangnya yang ia kirim lewat ekspedisi ke penthouse—demi menghindari Lee. Tadinya Charlene berharap Lee membawa teman kencan pulang ke penthouse, sehingga Lee tidak akan membutuhkannya. Namun, Berta mengatakan bahwa Lee tidak pernah terlihat membawa teman wanita pulang. Charlene menghela napas pelan di atas salah satu stool bar yang ada di depan kitchen island. Ia duduk menghadap ke arah kitchen set di dinding hanya dengan penerangan satu lampu. Selebihnya, ruangan yang menyatu dengan ruang santai yang luas itu, tampak gelap. Hanya bercahayakan sinar bulan dan lampu-lampu yang menyala dari bangunan-bangunan luar. Hampir dua jam Charlene mengetik, ketika mendadak ia merasakan hawa dingin menerpanya. Seluruh bulu kuduknya meremang. Gadis itu lantas mengusap tengkuknya. Ia pikir mungkin otot-otot
Suara cecapan yang menggema dalam ruangan dapur itu, terdengar saling bersahutan. Ciuman itu sudah berlangsung beberapa menit. Awalnya, Charlene mengatakan pada dirinya bahwa ia hanya penasaran. Ia hanya ingin mencoba membalas ciuman Lee sedikit saja. Bahwa ia tidak akan terpengaruh oleh ciuman pria itu. Namun, ia salah. Bibirnya seakan menolak untuk berpisah dari bibir Lee. Dari detik, berganti menjadi menit. Hanya ketika pasokan udara menipis, keduanya melepaskan belitan lingual mereka. Keduanya meraup udara selama beberapa detik, kemudian kembali menyatukan bibir mereka. Lee mengangkat tubuh Charlene ke atas kitchen island tanpa melepaskan tautan bibir mereka. Satu tangannya menekan kepala gadis itu untuk memperdalam ciumannya. Sementara tangan yang lain bergerilya di punggung Charlene. Tidak puas hanya menyentuh bagian luar, tangan Lee pun mulai menyusup ke dalam baju yang Charlene kenakan. Charlene tersentak ketika merasakan tangan Lee menyentuh kulitnya. "Hmmhh ...," lenguh
"Akkkh!" erang Charlene ketika rasa sakit yang sangat dahsyat menyerangnya. Keras dan dingin. Apakah orang kaya memang menyukai tempat tidur yang seperti ini? Atau tempat tidur ini adalah salah satu inovasi paling mutakhir dari produk yang dibuat oleh perusahaan Lee? Belum sempat ia mengajukan pertanyaan itu, kini kembali terdengar suara ponsel berdering. Anehnya, nada deringnya berbeda dengan yang tadi. Bunyinya sangat keras dan ... Charlene pun refleks membuka kedua matanya. Mendadak ia menyadari bahwa Lee tidak berdiri di hadapannya. Charlene pun mengabaikan sejenak bunyi telepon yang terus berdering. "Ke mana dia?" gumam Charlene. Kriiinggg ...! Kriiinggg ...! Dering ponsel yang keras itu kembali mengagetkan Charlene. Belum hilang rasa kagetnya, ia kemudian dibuat heran karena ternyata dirinya tengah tertidur di atas lantai, bukan di tempat tidur Lee. Deg! Charlene pun berusaha mengumpulkan semua petunjuk yang ada. Ia menajamkan indra pendengarannya di tengah-tengah deringa
Charlene bingung melihat Lee yang tampak kesakitan. Selanjutnya ia mendapati Lee sedang menahan pergelangan tangannya yang sedang mengikat dasi pria itu. "Akkkh!" Sontak Charlene menjengit kaget dan melepaskan tangannya dari dasi Lee. Ia tidak sadar jika menarik dasi itu terlalu kuat hingga mencekik leher bosnya. Ini gara-gara dirinya melamun memikirkan apa yang sebenarnya terjadi tadi malam. Charlene pun memandang ngeri ke arah sang atasan. Terlihat Lee melonggarkan ikatan dasi pada lehernya. "Apa kau ingin membunuhku?" tuding Lee. "Tidak! Tidak!" Charlene melambaikan tangannya dengan cepat. "Aku benar-benar tidak sengaja, Tuan." Lee lantas menghadiahkan sebuah tatapan sinis pada Charlene. "Aku bahkan belum menghukummu atas keterlambatan tadi," pungkas Lee. "Ta-tadi itu 'kan bukan kesalahanku. Anda yang terlambat membukakan pintu. Seharusnya aku yang menghukum Anda," gerutu Charlene tidak mau kalah. Lee menipiskan pandangan dan menghujamkannya ke arah Charlene. Pria itu merasa
Waktu sudah menunjukkan pukul 7 pagi setelah mereka menyelesaikan sarapan. Sebenarnya Lee masih punya cukup waktu untuk sampai ke kantor jika tidak mengalami kemacetan di jalan. Namun, Lee tidak ingin mengambil resiko tersebut. "Ini," Lee menyerahkan tas kerjanya pada Charlene. "Kenapa?" Charlene terlihat bingung dengan ucapan Lee. "Tugasmu sebagai asistenku. Salah satunya adalah membawakan tasku." "O ...!" Charlene segera mengambil alih tas tersebut dari tangan Lee. Ia lantas mengikuti langkah Lee menuju lorong yang mengarah ke lift. Lee menyempatkan diri untuk menyapa Monkey dan memberi makan ikan-ikannya. Selanjutnya mereka memasuki ruangan lift dan ternyata Marvin sudah stand by di sana, menahan lift untuk sang atasan. "Semuanya sudah siap?" tanya Lee kala mereka telah berada di dalam lift. "Sudah." Marvin kemudian mengarahkan tangan ke tombol sensor lantai teratas. "Eh, kenapa ke atas? Bukannya ke bawah?" komentar Charlene di saat lift menutup dan mulai bergerak ke atas.
"Becky, jangan terlalu terus terang kalau bicara. Lihatlah, kau membuatnya takut," ujar pria yang baru saja muncul dengan kedua gelas di tangannya. Ia menyerahkan satu gelas untuk Charlene. "Untukmu, Nona Manis." Ia mengedipkan sebelah matanya ke arah Charlene. Charlene menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. "O iya, kenalkan, aku Ronald Anderson, manager marketing. Panggil saja Ronald atau Ronnie." Ronald mengulurkan tangannya yang disambut oleh Charlene."Sebaiknya kau jangan macam-macam, Ronald. Dia itu wanitanya bos," sergah Ava dari bagian staff keuangan, yang saat ini berdiri di sisi kiri Charlene. Ronald menempatkan dirinya di samping Rebecca yang berdiri di seberang Ava, sedangkan di samping Ava, ada Beatrice dan Victor yang sama-sama berasal dari bagian HRD. "Sainganmu terlalu berat." Victor terkekeh yang diikuti dengan tawa dari teman-temannya. "Ck! Kalian ini sungguh meremehkan pesonaku. Lagi pula bos 'kan tidak menyukai wanita," balas Ronald sembari mengusap bagi
Charlene memasuki ruangan kerja Lee dengan langkah tersendat-sendat, setelah Lee membukakan pintu untuknya dengan remote. Kakinya jelas masih terasa berdenyut, walau sedikit membaik. Ia memperhatikan Lee yang tampak sedang sibuk di balik meja kerjanya. Charlene kemudian berhenti di depan meja Lee. Untuk beberapa saat, gadis itu sama sekali tidak mengatakan apa pun, sehingga Lee akhirnya mengangkat pandangannya ke arah Charlene. "Ada apa?" tanya Lee. Charlene membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tetapi tidak bisa. "Aku tidak punya waktu untuk bermain-main, Nona Flynn." Lee melanjutkan pekerjaannya karena diburu waktu. "Anda ... mempekerjakanku sebagai asisten Anda. Tetapi Anda tidak memberitahuku, pekerjaan apa saja yang harus aku lakukan di kantor," jelas Charlene. Lee melirik Charlene melalui ekor matanya, lalu kembali memeriksa pekerjaannya di layar laptop. "Kau bisa melakukan apa saja, termasuk membersihkan kaca jendela, meja, dan lantai." Charlene melongo tidak percay