Share

Bab 5. Pindah ke Penthouse

Axel memarkirkan mobilnya tidak begitu jauh dari pintu utama Universe Hotel and Apartments. Ia tidak bisa berhenti di depan pintu utama karena ada sebuah mobil yang lebih dulu bertengger di sana.

"Kau yakin tidak perlu aku temani ke atas?" tanya Axel pada Charlene setelah keduanya turun dari mobil.

Charlene menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa sendiri."

Keduanya saling melempar senyuman hangat. Pemandangan itu terpindai oleh pemilik mobil di depan, melalui pantulan kaca spion di luar mobil. Ekspresinya yang  terlihat tenang, tampak kontras dengan sorot matanya yang dingin.

Pria itu bergegas turun tanpa menyuruh asistennya untuk membukakan pintu mobil. Sebenarnya, sewaktu tiba tadi, seperti biasa sang asisten hendak turun untuk membukakan pintu mobil baginya. Namun, pria itu mencegah sang asisten melakukan hal itu setelah tanpa sengaja melihat Charlene di belakang.

"Suruh Nona Flynn ke atas sekarang juga," titah pria yang tak lain adalah Lee, pada Marvin.

Dari nada bicara Lee, Marvin sangat paham kalau perintah itu harus segera dilaksanakan. Bagaimanapun situasinya!

"Baik, Tuan."

Marvin pun bergegas menghampiri Charlene dan Axel.

"Nona Flynn," interupsi Marvin, membuat Axel yang hampir mencium Charlene, jadi batal.

Pasangan kekasih itu kini mengalihkan tatapan ke arah Marvin.

"Tuan Johnson," sapa Marvin yang mengenal Axel sewaktu berada di kantor polisi tempo hari.

Marvin kemudian beralih kepada Charlene.

"Maaf, saya mengganggu, Nona. Tetapi Tuan Montana meminta Anda untuk segera ke penthouse," jelas Marvin.

Pada saat itulah, Charlene menyadari bahwa Lee adalah pemilik mobil mewah yang terparkir di depan pintu utama. Keduanya beradu tatapan untuk sesaat sebelum dengan sikap tak acuh, Lee melenggang masuk ke dalam gedung.

Charlene dan Axel mengekori langkah Lee melalui netra mereka, hingga CEO UC itu menghilang ke dalam gedung.

"Nona, sebaiknya Anda segera ikut dengan saya," usul Marvin.

Marvin tahu bahwa Charlene tidak memiliki waktu yang lama untuk berpikir. Mereka harus segera menyusul Lee sebelum pria itu memasuki lift.

"Maaf jika saya lancang, tetapi saya hanya tidak ingin Anda terkena masalah."

Charlene dan Axel saling melempar tatapan. Menilai dari ucapan dan juga ekspresi Marvin, Axel bisa merasakan kekhawatiran pria itu. Sepertinya Lee Montana memang pria yang tidak memiliki belas kasihan.

"Masuklah," imbuh Axel.

Charlene mengangguk.

"Sampai jumpa," pamit Charlene pada Axel.

Ia dan Marvin berlari kecil dan berhasil menyusul Lee sesaat setelah pria itu memasuki ruangan mewah berisi empat buah lift. Marvin dengan cepat berhasil mengatur kembali napasnya.

Sementara Charlene, masih berusaha mengumpulkan udara.

Di dalam ruangan itu, rupanya terdapat beberapa orang berseragam pelayan yang juga sedang menunggu lift. Begitu melihat Lee, mereka mengangguk hormat.

Ting! Lift bertuliskan nomor 1, tempat mereka menunggu, kini terbuka.

Lee melangkah masuk disusul Marvin dan Charlene.

"Eh, tunggu, kenapa mereka tidak ikut masuk? Bukankah lift ini masih sangat lapang?" celetuk Charlene.

Tidak ada jawaban. Marvin melirik ke arah bosnya. Ia ingin menjelaskan, tetapi tidak berani.

Ting!

Pintu lift terbuka, menampilkan sebuah ruangan yang dibatasi oleh dinding dan pintu kaca. Ruangan itu juga hanya berisi lift saja, seperti di lantai bawah.

Lee menarik langkah ke arah pintu, memindai retinanya pada sensor yang ada di samping pintu. Sensor yang sekilas tak kasat mata, karena tulisan di dinding kaca tersebut berwarna putih. Namun, begitu Lee mendekat, bagian dindingnya mengeluarkan refleksi retina Lee dalam bentuk hologram.

Pintu kemudian terbuka. Charlene yang melihat hal itu, langsung melongo.

"Wah, keren sekali! Seperti di film mata-mata."

Lee melirik ke arahnya sedingin biasa dan Charlene pun hanya bisa mencebikkan bibirnya. Mereka lantas melewati lorong yang cukup lebar yang juga dipisahkan oleh dinding kaca. Pada sisi kanan lorong, terdapat pintu kaca menuju area outdoor dengan tanah yang lapang.

Sedangkan pada sisi kiri lorong, terdapat pintu kaca yang terbuka, menampilkan pemandangan kolam ikan koi. Lee berbelok ke sana dan mengambil makanan ikan dari rak penyimpanan yang terletak tidak jauh dari kolam. Berbeda dengan Marvin yang menunggu di pintu, Charlene justru terus mengikuti Lee.

"Monkey!" panggil Lee kala sudah berdiri di depan kolam.

Charlene sontak berjengit kaget mendengar ucapan Lee.

"Apa?! Di mana monkey-nya?!" Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Raut wajahnya menunjukkan kecemasan. Bagaimana jika si monkey mendadak melompat ke arahnya? Bisa dipastikan ia langsung pingsan!

"Tuan! Di-di mana monkey yang Anda maksud?!" desak Charlene karena ia sama sekali tidak mendengar suara khas hewan itu.

Lee menoleh ke arah Charlene, sebelum pandangannya turun ke lengannya. Tangan gadis itu tengah menarik setelan jas hasil jahitan desainer kenamaan yang ia kenakan. Charlene menyengir lebar dan segera melepaskan tangannya dari pria itu.

Masih segar dalam ingatannya di mana Lee tampak begitu marah saat ia menyentuh pria itu pada pertemuan pertama mereka. Namun, anehnya kali ini pria itu tidak terlihat terlalu menakutkan. Pria itu hanya mengembuskan napas berat dengan jengkel.

"Kau lihat ikan yang berwarna kuning itu?" Lee menunjuk dengan dagunya.

Charlene lalu menjulurkan kepala ke arah kolam. Tampak sekumpulan ikan koi sedang berenang ke sana ke mari dan ada satu yang terlihat mencolok karena merupakan satu-satunya ikan yang berwarna kuning. Charlene kemudian mengangguk.

"Namanya Monkey," beritahu Lee.

Charlene sontak mengangkat pandangannya ke arah Lee dengan mata melebar. Namun, Lee segera berlalu meninggalkannya setelah melemparkan segenggam makanan ikan ke dalam kolam.

"Ck! Apa dia sudah gila? Menamai ikan koi dengan nama Monkey?" Charlene bermonolog.

Ia lantas bergegas menyusul Lee.

"Kenapa Anda menamai ikan itu dengan nama Monkey?" selidik Charlene ketika mereka memasuki sebuah ruangan yang begitu luas.

Ia kembali terpana melihat penthouse itu. Terdapat dua set sofa di sana dan juga area bar. Tangga melingkar, lampu kristal gantung, sampai piano. Seluruh dinding-dinding ruangan yang terbuat dari kaca, sehingga Charlene bisa melihat pemandangan khas perkotaan yang penuh dengan bangunan-bangunan.

"Bukan aku yang memberinya nama, tetapi almarhum kakekku. Ikan itu adalah ikan kesayangan kakekku," beber Lee yang kemudian terkejut mendapati dirinya menjelaskan hal itu pada Charlene.

Ia melintasi ruangan dan saat itu seorang pelayan juga melintas tidak jauh dari hadapannya.

"Nyonya Cullen," panggil Lee.

Wanita yang usianya lebih tua dari orang tua Lee itu, bergegas menghampiri bosnya.

"Ada apa, Tuan?"

Lee kemudian memperkenalkan Charlene pada sang kepala pelayan yang bernama Berta Cullen.

"Mulai hari ini, Nona Flynn yang akan menggantikanmu untuk mengurus semua keperluanku," imbuh Lee.

Berta mengangguk dengan senyuman yang tampak tulus dan ramah.

"Jadi, tolong kau beritahu Nona Flynn, apa saja yang harus ia lakukan."

"Baik, Tuan."

Lee mengangguk kemudian berlalu menuju ruang kerjanya bersama Marvin meninggalkan Charlene bersama Berta.

"Well, sebaiknya kita mulai saja penthouse tour-nya," usul Berta tanpa ingin membuang-buang waktu.

"Tentu, Nyonya Cullen," balas Charlene sembari tersenyum.

Berta kemudian membawa Charlene mengelilingi penthouse. Ia menjelaskan pada Charlene apa saja tugas-tugas yang harus dilakukan gadis itu. Selain itu, ia juga memberitahu Charlene mengenai apa yang disukai dan tidak disukai oleh bos mereka, serta kebiasaan pria itu.

Hingga akhirnya, mereka tiba di kamar Lee.

"Bagian walk in closet ini digunakan untuk menyimpan pakaian-pakaian yang sudah tidak Tuan pakai lagi dan akan Tuan sumbangkan," jelas Berta. "Jadi kau bisa menyiapkan pakaian mana pun, kecuali yang ada di lemari ini."

Charlene mengangguk.

"Ayo, sekarang kita ke kamarmu," ajak Berta.

Charlene mengikuti langkah Berta. Namun, mata gadis itu melebar kala Nyonya Cullen membawanya ke sebuah kamar yang tepat berada di samping kamar Lee.

"Ngg ... aku harus tidur di sebelah kamar Tuan?" tanya Charlene.

"Iya, kenapa?" balas Berta dengan heran.

Charlene tampak bimbang.

"Tuan Muda ingin semuanya praktis. Jika di malam hari Tuan membutuhkan bantuanmu, dia tidak perlu menunggu lama agar kau tiba di kamarnya. Sebab, pelayan datang pada pukul 4 pagi dan pulang pukul 5 sore."

"Apa?!" Charlene merasa terganggu dengan informasi yang baru saja Berta berikan. "Mak-maksud Anda, hanya ada aku dan Tuan yang ada di sini kalau malam?"

"Tentu saja."

Charlene membuka mulutnya, tetapi tidak tahu harus berkata apa. Ucapan Berta benar-benar membuat Charlene over thinking.

Lee membutuhkan BANTUAN Charlene di malam hari.  Charlene menggarisbawahi kata 'bantuan'.

"Kau baik-baik saja?" tanya Berta cemas.

Charlene menelan salivanya, kemudian menatap Berta.

"Ngg ... apa Tuan selalu pulang atau pernah membawa kekasihnya menginap?" Dari informasi yang Charlene ketahui, Lee memang belum menikah.

Berta melemparkan senyum ke arah Charlene. "Tuan selalu pulang dan tidur di penthouse, kecuali kalau Tuan sedang berpergian."

"Lalu bagaimana dengan membawa teman kencannya?" desak Charlene.

Berta kembali mengulas senyum lagi. "Kenapa kau sangat ingin tahu?" seloroh Berta.

Charlene tidak menjawab, ia hanya menggigit bibirnya menatap seisi kamar itu. Kamar itu dilengkapi dengan berbagai perabotan mewah. Ada ranjang berukuran king size serta satu set sofa. Benar-benar terlalu bagus untuk ditempati oleh seorang asisten. Namun, hanya berduaan dengan Lee di penthouse milik pria itu, tampaknya tidak terlalu bagus.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status