Share

Hampir Ketahuan

Bab 3

"Sayang, jelaskan pada ibu kalau semua ini salah paham."

"Ibu tidak menungguku selesai bicara malah berteriak memanggil Mas Fadil," ucapku.

"Bilang saja kamu ngeles 'kan?" tuding ibu mertua.

Aku tertawa. "Bu, mereka itu salah alamat. Untung saja semua barang-barang tidak sampai mereka bawa."

"Mana mungkin salah rumah," sangkal ibu mertua.

"Mungkin saja, buktinya tadi." sahutku.

"Sudah, Bu. Semua itu salah paham, Aya tidak akan mungkin pinjam uang pada rentenir, kami punya tabungan, Bu." Mas Fadil membela, ia tahu istrinya ini tidak akan mungkin meminjam uang apalagi pada lintah darat.

"Kamu malah belain dia. Jadi suami itu jangan takut istri, kamu sengaja mau tutupi semuanya dari ibu?"

Mas Fadil terlihat menghela nafas panjang. "Bu, Aya tadi 'kan sudah jelaskan kalau memang ini salah paham. Kalaupun iya Aya pinjam uang ke rentenir, untuk apa?"

Ibu mertua mengedikkan bahunya. "Mana ibu tahu. Mungkin dia iri mau beli barang bagus seperti Elena."

Sekuat tenaga aku menahan tawa. Ibu mertua mengatakan aku iri?

Aku, Zendaya Virendra Gunawan. Tidak ada yang namanya iri dalam kamus hidupku. Aku selalu mensyukuri apa yang kumiliki.

"Ibu tahu dari siapa kalau ada rentenir datang ke sini?" tanya Mas Fadil.

"Si Tuti yang bilang."

"Mbak Tuti bilang kalau itu rentenir? Mbak Tuti dengar langsung kalau orang-orang itu menagih hutang."

"Tidak, tapi penampilannya seperti preman, sudah pasti rentenir."

Mas Fadil terlihat kembali menghela nafas, sepertinya ia menahan diri untuk tidak marah. Aku saja menantunya yang baru satu tahun hidup bersama rasanya selalu butuh obat penurun darah, apalagi suamiku yang dua puluh delapan tahun hidup bersama dengan ibunya itu.

"Ibu menyimpulkan sesuatu yang ibu saja tidak tahu faktanya seperti apa, ibu malah menuduh Aya yang tidak-tidak."

"Pusing ibu ngomong sama kalian," sewot ibu mertua lalu melenggang masuk ke rumah sambil menghentakkan kaki dengan kesal.

Jadinya malah Mas Fadil yang meminta maaf padahal jelas ia tidak salah apa-apa.

"Sudah, Mas. Tidak apa-apa, mungkin ibu hanya takut jika aku benar-benar pinjam uang pada rentenir."

Mas Fadil menggenggam tanganku. "Kalau nanti ibu bersikap tidak baik atau bicara yang menyakiti hatimu, jangan sungkan untuk mengatakannya pada Mas."

Aku mengangguk tapi tidak berjanji, jika menceritakan semua perlakuan ibu mertua sudah pasti nanti Mas Fadil dan ibu mertua tidak akan akur dan ujungnya aku yang disalahkan.

Jika tidak mengingat ia ibu dari suamiku, sudah ku gantung ia di ujung monas. Aku sebenarnya bukan orang penyabar tapi untuk menjaga rahasia aku mencoba untuk bersabar.

***

"Mas janji akan cari pekerjaan dekat-dekat sini agar tidak lagi meninggalkanmu."

"Semoga saja ada pekerjaan yang cocok denganmu di sini, Mas."

Mas Fadil mengangguk, melayangkan kecupan di kening. Rasanya tidak rela melihat ia harus pergi lagi. Kepulangannya tidak pernah bisa diprediksi, aku juga tidak banyak berharap ia akan segera pulang karena semua tergantung banyak tidaknya pekerjaan Mas Fadil di sana.

Pagi ini tidak ada drama saat sarapan karena ada Mas Fadil. Adik iparku juga sudah pulang setelah beberapa hari berada di ibu kota untuk wawancara kerja. Radit seorang sarjana, ia dibiayai oleh Mas Fadil begitupun dengan Rika.

Terlalu sibuk mengurus adik-adiknya membuat Mas Fadil bahkan lupa jika dirinya juga butuh masa depan yang cerah. Kisah hidupnya membuatku salut, ia sosok yang begitu kuat, tegar dan tidak perhitungan.

"Jangan lupa hubungi aku saat sudah sampai."

"Iya."

Menunggu di depan rumah sampai motor yang dikendarai suamiku tidak terlihat lagi.

"Aya! Cepat jemur pakaiannya, besok sore mau ibu pake arisan."

Apa susahnya menjemur sendiri. Hanya bisa menggelengkan kepala dengan tingkahnya yang memperlakukanku seolah-olah aku ini babu bukan menantu.

Elena saja disayang-sayang. Sudah siang belum bangun pun tidak dipermasalahkan tapi jika aku yang melakukan itu sudah pasti air satu ember akan mengguyur tubuhku.

"Mbak, aku pinjam sepatunya boleh. Sepatuku kena tumpahan susu. yang lain baru tadi dicuci."

"Lihat di rak sepatu, kalau tidak ada di sana cari di kolong ranjang. Mbak lupa terakhir menyimpannya di mana."

"Iya."

Melangkah menuju halaman belakang untuk menjemur. Ingin rasanya mendesak Mas Fadil agar bicara lagi pada ibu untuk meminta izin agar kami keluar dari rumah ini. Tapi suamiku terlalu lembut dan penyayang, satu kelemahannya kadang ia tidak bisa tegas.

"Mbak, di rak sepatu tidak ada. Aku izin lihat ke kamar ya?" Kepala Rika menyembul di dekat pintu.

"Iya, masuk saja. Di kolong ranjang ya."

Baju yang baru saja diambil dari ember kembali terjatuh saat aku mengingat sesuatu.

Di kamar, kolong ranjang.

Pistol!

Aku menepuk jidat lalu segera berlari masuk, aku lupa menyimpannya lagi. Kenapa bisa aku seceroboh ini.

Jantungku seperti berhenti berdetak saat Rika memegang benda hitam itu dan memperhatikannya.

"Mbak, ini punya siapa?"

Bersambung ….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status