Share

Merasa Dijebak

‘Dia bahkan tidak melihatku’

Batin Alea sang pengantin perempuan itu melirik pria yang sudah beberapa saat yang lalu sudah mengucapkan Akad untuk menghalalkannya. Perasaannya menjadi semakin sedih karena merasa pernikahan ini hanyalah untuk kesenangan para orang tua mereka.

Dirinya bahkan belum memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya setelah lulus SMA dua tahun yang lalu. Ibunya sakit dan Alea fokus menemani pengobatan ibunya yang divonis menderita kanker serviks. Sementara Ayahnya hanyalah seorang sopir keluarga Tuan Hamid Murad, seorang pengusaha kaya raya yang hanya memiliki putra tunggal bernama Ardhan. Pria itulah kini menjadi suaminya.

“Keluarga Pak Hamid sudah memberikan banyak hal pada kita.” Terngiang suara Nadim saat Alea menolak rencana pernikahan. “Ingat saat Ibumu harus dioperasi dulu, semua biaya ditanggung Pak Hamid. Dan rumah ini juga berdiri di atas tanahnya. Masa kamu tega membuat Ayahmu ini malu, Al?”

“Ayah sama saja menjual Alea pada mereka!” Alea terisak.

“Bu Hera sangat menyukaimu, tentu Ayah tidak merasa menjualmu. Kau tidak hanya menjadi mantunya, tapi sudah dianggap anak sendiri sejak kecil.” Nadim masih mencoba memberi pengertian.

“Bagiamana kalau Kak Ardhan tidak suka, Alea? Bisa jadi kan Kak Ardhan sudah punya kekasih?”

“Bu Hera bilang Ardhan pasti tidak menolak pilihannya!” 

Alea hanya bisa pasrah mengingat keluarga mereka sudah banyak berhutang budi pada keluarga Ardhan. Memang Hera sangat menyukai Alea sejak pertama bertemu dengannya. Saat itu Alea masih duduk di sekolah dasar. Ketika ada acara keluarga Ardhan, Nadhim membawa anak dan istrinya karena mendapat undangan. Hera begitu gemas terus menggandeng Alea dan membawanya menemui banyak tamu.

Hera selalu berharap memiliki anak perempuan tapi hingga usianya menjelang senja ternyata tuhan hanya menitipkan satu anak laki-laki dalam hidupnya. Anak laki-laki yang membuat kepalanya sepanjang hari ingin pecah.

Saat Ibunya meninggal dua tahun yang lalu, Hera kembali bertemu dengannya dan begitu terkesan, putri supirnya itu ternyata sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Apalagi dia begitu menyayangi ibunya dan merelakan kuliahnya demi merawat ibunya yang sakit. Hera jatuh hati pada Alea dan mulai berpikir untuk menjodohkannya saja dengan Ardhan. Sang putra yang mulai membuatnya was-was karena belum juga memutuskan untuk menikah di usia menjelang 30 tahunan.

“Eh, pengantin kok bengong?” Kamila menyapa Alea yang sendiri kemudian tatapannya menyisir halaman mencari di mana keponakannya berada. Bagaimana mungkin dia biarkan istrinya seorang diri.

“Mana suamimu?” tanya Kamila lagi yang tidak mendapati Ardhan di antara para tamu yang tidak banyak itu. Hanya dari keluarga besar mereka.

“Suami?” Alea sedikit terkejut ada yang menanyakan itu.

“Iya, Ardhan. Di mana Ardhan suami kamu itu?” Kamila mengulang pertanyaannya.

“Oh, Kak Ardhan?” Alea ikutan menoleh dan mencari-cari seseorang. Dia bahkan tidak begitu jelas bagaimana postur Ardhan karena sudah lama tidak bertemu sebelum ini.

“Yang itu ya, Tante?” Alea menunjuk ke arah seseorang yang berdiri membelakangi mereka sedang mengobrol dengan yang lain.

“Astaghfirullah, kamu ini!” Kamila melotot.

“Kenapa tante?”

“Itu suamiku, ayah Laila sepupu iparmu!”

Alea menutup mulutnya dan matanya berkaca-kaca karena malu sudah salah tunjuk. Apalagi itu suami tante dari Ardhan.

“Maaf, Tante. Alea tidak ada maksud yang … “

Kamila tergelak melihat wajah Alea yang sedih itu. Dia menarik lengan Alea dan menepuk-nepuknya. Gadis polos ini sudah jadi istri dari keponakannya yang pemberontak itu, sungguh apakah ini menjadi keputusan yang benar? Mudah-mudahan Kakaknya itu sudah mempertimbangkan dengan baik.

“Haha, sudahlah. Kamu pasti lelah, tante antar ke kamarmu, ya?” Kamila tertawa dan berpikir Alea pasti sedang gugup di hari pernikahannya dan tidak fokus dengan banyak hal.

Hera melihat Kamila menggandeng Alea masuk ke dalam. Bibirnya yang sejak tadi tersenyum pada para tamunya seketika tertarik dan mengerucut. Di mana anak kurang ajar itu? Kenapa istrinya dibiarkan sendiri saja?

Tangannya menarik kebayanya sedikit ke atas agar kakinya yang berjalan tergesa tidak terserimpet kain kebayanya, menyusuri lorong rumahnya menuju ke suatu tempat. Dan tebakannya benar, dia justru melihat Ardhan sedang merokok di halaman belakang sambil masih memainkan ponselnya. 

“Ardhan!” teriak Hera yang sudah berkacak pinggang itu.

“Ya ampun, Ma. Udah cantik begitu kenapa masih harus berteriak-teriak?”

“Pengantin baru bukannya temani istri malah ngrokok di sini! Mau kena paru-paru kamu?”

“Ya enggaklah, Ma?”

“Mau jadi impoten?”

“Astaghfirullah… Mama mau kalau Ardhan jadi impoten?”

“Lha habis ngrokok mlulu, udah tahu iklan rokok bunyinya horror semua. Jantung, paru-paru, impoten, apalagi itu…”

“Iya, iya, Ma. Udah aku matikan rokoknya!”

Ardhan membuang putung rokoknya dan bangkit. Dia sepertinya harus pergi dari hadapan mamanya agar tidak membuatnya tiba-tiba mengadakan konser seriosa dadakan.

“Mama mau ngomong serius!” Hera menghadang langkah kaki Ardhan.

“Mama juga sih, ngapain tiba-tiba nikahin Ardhan kayak begini?” gumam Ardhan mengungkapkan perasaan kecewanya pada keputusan mamanya itu setelah keduanya sudah duduk bersama.

“Alea gadis yang baik.”

“Ada banyak gadis baik di dunia ini, apa Mama mau nikahin mereka semua denganku?” sahut Ardhan.

“Dengar dulu!”

Hera membuat Ardhan tidak menyela ucapannya. Hera menatapnya dengan harapan putranya itu bisa sedikit memahami apa yang ada dalam pikirannya. Tapi tetap saja di pandangan Ardhan hanya ada rasa kecewa. Hera jadi sedih.

“Mama punya alasan sendiri menikahkanmu dengan Alea. Papamu juga tidak masalah. Jadi tolonglah untuk saat ini jangan memikirkan dirimu sendiri.” Hera memohon untuk dimengerti.

“Alasan apa sih, Ma? Kalau hanya karena usia Ardhan yang sudah 30 tahun itu bukanlah hal besar. Jaman sekarang tidak ada patokan usia dalam menikah. Ardhan hanya minta waktu sebentar lagi.”

“Tidak ada patokan maksudmu apa? Mau sampai tua begini?” suara Hera menaik lagi.

“Mama terburu-buru kenapa sih? Kasihan kan anak itu kalau mama juga memaksanya? Masa mudanya tiba-tiba harus hilang karena sebuah hubungan pernikahan. Tentu Pak Nadhim gak menolak waktu Mama minta putrinya menikah dengan Ardhan, dan aku yakin Pak nadhim juga terpaksa melakukannya!”

“Dia bukan anak-anak lagi, usianya sudah hampir 21 tahun!” Hera mengingatkan.

Ardhan menghela napas. “Bukan itu poinnya, Ma!”

“Dan Pak Nadhim tidak terpaksa menikahkan putrinya”

“Sudah!” suara itu terdengar dari arah samping mereka.

“Pa?” Hera melihat suaminya mendekat.

“Konyol sekali masih berdebat tentang hal itu, kau sudah menikah, dan bagaimanapun juga Alea adalah istrimu sekarang!”

“Kalian ini sengaja menjebakku dalam pernikahan ini!”

Ardhan bangkit dengan marah dan berlalu meninggalkan mereka.

“Ardhan!” panggil Hera namun putranya itu pergi bahkan tidak menoleh.

“Biarkan dia menenangkan diri dulu, jangan diganggu!” Hamid menahan lengan Hera yang hendak mengikuti Ardhan pergi.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status