Day 3 before Earwen's birthday.Edmund menatap langit-langit kamar miliknya, waktu menunjukkan pukul dua belas malam dan ia masih sibuk bergulat dengan pikirannya. Netranya melirik kearah sofa yang berisikan Earwen yang tengah dibawah alam sadarnya. Entah apa yang membuatnya seperti ini, Edmund sampai tidak tidur hanya memikirkan gadis itu yang baru beberapa bulan memasuki kehidupannya. Ia menghela nafas panjang, dan bangkit dari posisinya menghampiri gadis yang tengah tertidur di sofa itu. Edmund menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajahnya. Bulu mata lentik, hidung sedikit mancung dan bibir sedikit tebal berwarna plum.Sleeping beauty, yang menggambarkan gadis didepan Edmund saat ini. Ia menangkup pelan pipi Earwen yang sedikit berwarna merah, rasa hangat menjulur di telapak tangannya. Ia mulai sedikit memajukan kepalanya untuk sekedar menempelkan bibirnya, merasakan rasa dari bibir milik sang sleeping beauty itu. Manis, tidak berubah sama sekali, ini bukan kali pertamanya ia me
One day before Earwen's birthday.Suasana kerajaan di pagi hari ini penuh keributan, dari para pelayan yang berbondong-bondong membawa makanan untuk di hidangkan di paviliun utama dan para pengawal yang sibuk menjaga tempat. Sebelum pintu gerbang utama dibuka di pukul delapan pagi. Meskipun Edmund hanya mengundang rakyatnya saja, bahkan ia tidak mengundang kedua orang tua Earwen. Entahlah, Edmund benar-benar tidak ingin kedua mertuanya itu datang. "Yang mulia, jam sudah menunjukkan pukul 8," ucap Jack."Buka gerbang utama," perintah Edmund.Jack mengangguk dan memerintah kepala pengawal untuk membukanya. Pintu gerbang utama terbuka dan menampakkan sosok rakyatnya dengan wajah gembira seraya menenteng bingkis kado, mungkin untuk Earwen, pikirnya.Edmund berjalan masuk kedalam paviliunnya. Ditengah-tengah perjalanannya Edmund berpapasan dengan sosok wanita yang nyaris sempurna dengan balutan gaun putih yang sangat mewah dan liontin itu, liontin yang dipilihnya kala itu."Yang mulia, se
Suara dentingan garpu dan semilir angin malam yang masuk dari pintu kaca yang sedikit terbuka menambahkan kesan untuk dinner kerajaan ini. Selepas dari acara tadi Belinda merencanakan untuk melakukan dinner bersama, sekaligus merayakan kembalinya Anne dari perbatasan."Anne, wiski fermentasi kesukaanmu," ucap Belinda seraya menuangkannya ke gelas milik AnneSungguh membosankan! Earwen menatap malas steak miliknya, ia memotong-motongnya tanpa berniat memasukkannya ke dalam mulut. Mood-nya sungguh sedang tidak baik. Apalagi melihat Anne yang diperlakukan manis di depannya langsung. "Earwen apa kau ingin wiski? Ini enak loh," tawar Belinda."Betul Earwen, wiski ini akan sangat cocok dengan suasana malam seperti ini," lanjut Anne.Earwen tersenyum kikuk, dirinya tidak ingin mabuk lagi, takut akan menyusahkan Edmund seperti sebelum-sebelumnya. "Terimakasih, saya sedang tidak ingin minum," tolaknya halus.Anne mendesah kecewa. "Saya berharap kau mencicipinya walau hanya sedikit." Edmund me
"Steve, ada apa?" lirih Earwen Tuhan memberi Earwen sebuah kekuatan yang luar biasa. Pantas saja, ia rela melepaskannya untuk menjadi manusia agar mendampingi Earwen. Walupun Steve membuat kesalahan, pasti akan selalu memaafkannya karena dirinya adalah satu-satunya malaikat kepercayaan miliknya."This is amazing Earwen, you–" Steve menggantungkan ucapnya."Apa?" tanya Earwen penasaran."Tuhan sungguh baik kepadamu, bahkan malaikat sepertiku saja tidak memiliki power sekuat dirimu, kau bisa mengendalikan Esterlens Earwen," ucap Steve antusias.Earwen menatap Steve tidak percaya. Mengendalikan Esterlens? Dirinya? Mana mungkin!Earwen tertawa renyah ditengah-tengah rasa sakitnya. "Hentikan loluconmu Steve!" desis Earwen.Ia meringis kala punggungnya terasa panas. "Ahh! Panas!" jerit Earwen kesakitan. Bulir-bulir keringat dipelipis Earwen air matanya juga ikut menetes, Steve hanya menatap iba Earwen yang sedang menggerang kesakitan. Ia tidak bisa melakukan apapun karena 15% kekuatan lang
Steve mengulurkan tangannya kearah Earwen dan disambut oleh sang empu. Ia berjalan maju ke depan, tatapannya bertemu dengan manik tajam milik Raja Hillary tersebut. "Suatu penghormatan bagi saya dapat bertemu anda," ucap Steve seraya membungkuk hormat.Belinda menarik Earwen ke belakang punggungnya. "Kenapa bisa cucuku bersama kau!" tanya Belinda."Sebelumnya perkenalkan saya Steve Bentley." "Apa kau tidak apa-apa Earwen?" bisik Anne yang dibalas anggukan kecil. Namun, mata jeli milik Anne berfokus ke arah luka kecil di bibir Earwen walupun itu sudah tertutup polesan lipstik. "Biarkan Earwen saja yang menjelaskan Grandma," ujar Steve berjalan kesamping Steve."Tadi malam saya berniat meseduh segelas susu, tetapi saya justru mendengar suara Ruby yang aneh dan membuat saya pergi mengeceknya. Saat saya hendak mengecek kondisinya, Ruby justru berlari kencang ke arah gerbang belakang yang masih sedikit terbuka. Saya ikut berlari mengikuti Ruby namun, saya malah terjatuh ditengah-tengah l
BRAKK!Edmund mengangkat guci yang ada ruang kerja miliknya menggunakan sihirnya dan melemparkan guci tersebut ke sudut kanan, terdapat lima guci yang sudah menjadi kepingan tak beraturan."Yang Mulia? Tolong jangan menambah tugas saya," gertak Jack. Ia sudah muak dengan tingkah laku raja tersebut, jika boleh ia ingin resign! "Itu sudah menjadi tugas kau Jack, saya membayarmu untuk bekerja bukan menikmati fasilitas kerajaan," desis Edmund menatap tajam ke arah Jack.What the fuck! Menikmati fasilitas darimana heh! Jack bahkan harus tidur empat jam dan bangun sebelum matahari terbit. Bahkan, untuk menikmati sarapannya saja ia tidak bisa. Belum lagi tumpukan dokumen kerajaan yang harus ia tulis ulang menggunakan tinta sebelum diserahkan ke Edmund. Ingin rasanya Jack mengeluarkan unek-unek di dadanya, oh apakah ia harus mengusulkan Edmund untuk membuat kotak kritik? Agar dirinya bisa mengkritik Edmund dengan bebas. "Yang mulia jika anda memiliki masalah lebih baik anda ceritakan kepa
"Apa yang membuatmu dirugikan?" "Perjanjian nomor 3, pihak 2 harus selalu meminta izin kepada pihak 1 apabila ingin melakukan sesuatu di luar kerajaan," ucap Earwen sambil menundukkan kepalanya. Karena ia tidak ingin melihat wajah Edmund dari dekat, itu akan membuatnya gugup. "Bukankah sebelumnya kau tidak masalah? kenapa tiba-tiba mempermasalahkannya?!" bisik Edmund dan memperpendek ruang antara dirinya dan Earwen. Terpaan nafas Edmund mengarah langsung ke rambut Earwen. "Ah itu em, saya bosan di istana ya saya bosan. Jadi, saya juga berniat untuk keluar dari istana sesekali untuk menjernihkan pikiran," dalih Earwen.Edmund menundukkan kepalanya hingga sejajar dengan muka polos Earwen. "Kau bosan ya?" tanya Edmund yang dibalas anggukan kecil dari Earwen.Tatapan mata Edmund berubah menjadi dingin ia berbalik dan berjalan menuju jendela yang terdapat di ruang kerjanya. Earwen yang melihat perubahan itu menyengit heran, sikap Edmund seperti bunglon yang gampang berubah-ubah. "Sayan
"Aku capek, hosh..hosh," ucap Earwen dengan nafas yang naik turun, ladang bunga ini seperti labirin yang tidak memiliki ujung.Edmund mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, dengan lembut ia membelai dahi Earwen yang berkeringat. "Bertahan sebentar lagi, saya mendengar suara air yang mengalir." Earwen menatap langit yang kian menguning tandanya hari akan segera malam, ia dan Edmund harus cepat-cepat keluar dari ladang ini. Untung saja Edmund mempunyai insting rubah yang kuat dan dapat mendeteksi bahaya nantinya. "Baiklah ayo," ajak Earwen.Edmund merendahkan tubuhnya di depan Earwen. "Ayo naik." "Tidak-tidak anda juga pasti capek aku tidak akan membebani." "Kau lupa? Saya seorang setengah rubah, memiliki stamina yang lebih tinggi dibandingkan manusia biasa," ucap Edmund dengan tertawa. Earwen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Ya sudah kalau anda memaksa," ucap Earwen dan naik ke punggung Edmund. "Apa saya berat?" sambung Earwen saat berhasil naik ke punggung lebar su